Bagian 69 - Ketua Lama Sekte Iblis

Ren Woxing menjebol tembok.

“Aku apa?” sahut Huang Zhonggong dingin. “Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Sudah kuduga kau pasti memohon agar Ren Woxing mengajarkan Jurus Penyedot Bintang kepadamu. Hm, apakah kau sudah lupa kepada sumpah yang pernah kau ucapkan dulu?”

Pikiran Linghu Chong menjadi kacau. Ia bingung harus memperlihatkan wajah aslinya atau tetap menyamar sebagai Heibaizi. Dalam keadaan serbasalah ia pun melolos pedang di pinggangnya untuk kemudian menusuk ke arah Tubiweng.

“Kakak Kedua yang baik, kau sungguh-sungguh ingin berkelahi dengan kami, ya?” seru Tubiweng gusar. Bersama itu ia mengayunkan pena kuasnya untuk menangkis.

Tak disangka serangan Linghu Chong itu hanyalah tipuan belaka. Begitu pihak lawan hendak menangkis, secepat kilat ia pun berlari keluar. Sudah tentu Huang Zhonggong bertiga tidak tinggal diam. Serentak mereka pun mengejar.

Linghu Chong berlari sekuat tenaga. Langkah kakinya begitu cepat, tahu-tahu sudah sampai di aula depan. Terdengar Huang Zhonggong berteriak di belakangnya, “Adik Kedua, kau hendak lari ke mana?”

Linghu Chong tidak peduli. Ia tetap berlari sekencang-kencangnya. Mendadak terlihat seseorang menghadang di tengah pintu sambil berseru, “Majikan Kedua, mohon berhenti!”

Saat itu Linghu Chong sedang berlari dengan cepat sehingga tidak sempat menghentikan langkahnya. Tanpa ampun, orang itu pun tertabrak begitu keras, sampai-sampai tubuhnya terpental keluar dan terbanting beberapa meter jauhnya.

Sekilas Linghu Chong memandang ke arahnya. Ternyata orang yang baru saja ditabraknya itu adalah Ding Jian, Si Pedang Kilat Satu Kata. Mungkin keadaannya begitu parah sehingga Ding Jian terlihat tidak mampu berkutik lagi. Ini benar-benar sesuai dengan julukannya, yaitu “Satu Kata”; bukan masalah ilmu pedang tetapi masalah bentuk tubuhnya yang terlentang di tanah seperti huruf “zi”.

Linghu Chong terus berlari tanpa berhenti menuju ke sebuah jalan kecil. Huang Zhonggong bertiga hanya mengejar sampai di depan gerbang wisma lalu menghentikan langkah mereka. Danqingsheng berseru, “Kakak Kedua, Kakak Kedua, kembalilah! Semua bisa dibicarakan baik-baik antara kita, kaka-beradik ….”

Dengan terus berlari melewati jalan-jalan sepi, Linghu Chong telah sampai di hutan belukar yang sunyi. Sepertinya ia sudah cukup jauh meninggalkan Kota Hangzhou. Ia baru sadar ternyata dirinya sudah berlari sekian lama. Anehnya, meskipun berlari sekencang-kencangnya dan menempuh jarak yang begitu jauh, namun ternyata ia tidak merasa lelah, juga napasnya tidak terengah-engah. Ia merasa tenaganya saat ini begitu kuat, bahkan lebih kuat dibanding sebelum menderita luka.

Saat itu hari sudah malam dan tidak ada orang lain yang melihatnya. Segera ia melepas kedok yang menutupi kepalanya. Kemudian terdengar suara gemercik air. Karena merasa haus, segera didatanginya sumber suara air tersebut. Akhirnya ia pun sampai di tepi sebuah sungai kecil yang sepi, lalu berjongkok untuk meraup air. Di bawah sinar rembulan ia bisa melihat bayangan wajahnya tercermin di permukaan sungai. Rambutnya gondrong acak-acakan, wajah penuh godek dan kumis panjang. Sengguh sangat jelek.

Semula Linghu Chong terkejut, tapi lantas tertawa geli sendiri. Setelah terkurung beberapa bulan di dalam penjara bawah tanah sudah tentu ia tidak pernah mandi dan bercukur. Seketika ia langsung merasa sekujur badan gatal dan risih. Segera ia membuka baju dan terjun ke dalam sungai untuk mandi sepuas-puasnya. Setelah mencuci badan sampai bersih dan minum sekenyang-kenyangnya, ia kemudian bercukur menggunakan pedang. Ketika bercermin lagi ke permukaan air, wajahnya kini telah kembali seperti semula, dan tidak lagi sebagai Feng Erzhong yang berwajah sembab kekuning-kuningan.

Saat berpakaian kembali, mendadak aliran tenaga dalam dan darah pada rongga dada serta perut terasa tidak lancar. Segera ia duduk bersamadi di tepi sungai tadi untuk beberapa waktu sampai tenaga dalam pada Dantian terasa buyar dan tersalurkan melalui nadi Qi dan kedelapan pembuluh. Dantian di bawah perutnya kini menjadi seperti ruang kosong di dalam batang bambu atau seperti lembah yang kosong, dan sekujur tubuhnya terasa penuh tenaga, bebas merdeka tanpa batas.

Linghu Chong masih tidak sadar bahwa dirinya telah menguasai semacam ilmu sakti paling hebat di dunia. Hawa murni Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, ditambah dengan tenaga dalam yang disalurkan Biksu Fangsheng di Biara Shaolin, semua telah ia salurkan melalui berbagai nadi dan pembuluh, serta dapat ia gunakan seperti tenaga milik sendiri. Di dalam penjara tadi, ia juga telah menghisap seluruh tenaga dalam yang diperoleh Heibaizi seumur hidup, dan menyimpannya di dalam Dantian, lalu disebarkannya ke nadi Qi dan delapan pembuluh. Boleh dikata ia telah menghimpun berbagai tenaga dalam yang berasal dari para jago silat sehingga tidak mengherankan kalau saat ini tubuhnya terasa begitu kuat. Memang pada masa sebelumnya, ia merasa begitu menderita ketika berbagai tenaga tersebut terkumpul di dalam Dantian. Ketika tenaga dikerahkan, semuanya saling berbenturan dan membuat isi perut terasa seperti diiris-iris. Kini setelah mempelajari ilmu rahasia di dalam penjara, ia bisa menyalurkan tenaga-tenaga tersebut ke dalam berbagai nadi dan pembuluh sehingga berstu padu dan menghasilkan kekuatan.

Pemuda itu kemudian melompat dan menghunus pedang, kemudian menebas ranting pohon liu yang tumbuh di tepi sungai. Tangannya hanya sedikit mengungkit, kemudian segera menyarungkan kembali pedangnya disertai suara desiran perlahan. Begitu kakinya mendarat di tanah, ia lantas mendongak ke atas dan melihat lima lembar daun liu melayang turun di udara. Untuk kedua kalinya ia menghunus pedang dan membuat sebuah lingkaran di udara, sehingga dapat menyambut kelima lembar daun itu yang kesemuanya menancap pada ujung pedangnya.

Perlahan tangan kirinya mengambil sehelai daun pada ujung pedang tersebut. Perasaannya heran bercampur senang tak terlukiskan. Untuk sesaat ia berdiri termangu-mangu di tepi sungai. Tiba-tiba perasaan sedih muncul di dalam hatinya. “Ilmu silatku ini bagaimanapun juga tidak mungkin dapat diajarkan oleh Guru atau Ibu Guru. Akan tetapi … sebenarnya aku lebih suka seperti yang dahulu. Ilmu pedang dan tenaga dalamku biasa-biasa saja, namun hidupku bahagia di Gunung Huashan, berdampingan dengan Adik Kecil siang dan malam. Untuk apa hidup sebatang kara luntang-lantung di dunia persilatan seperti saat ini, bagai setan yang menghantui hutan belantara?”

Ia menyadari bahwa ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi, namun perasaannya justru sedih dan kesepian. Pada dasarnya ia memang suka keramaian, bergaul dengan teman-teman, juga gemar minum arak. Selama terkurung di dalam penjara bawah danau, rasanya sungguh sunyi dan menderita. Saat ini ia telah meloloskan diri namun mengapa masih kesepian juga? Berdiri termangu-mangu seorang diri di tepi sungai membuat perasaan senangnya luntur sedikit demi sedikit. Angin malam sepoi-sepoi membelai tubuhnya. Rembulan yang terlihat diam tak peduli membuat perasaan duka di hatinya bertambah dalam tiada batas.

Linghu Chong berdiri tanpa suara untuk waktu yang cukup lama. Saat itu rembulan telah berada di tengah angkasa. Berbagai pikiran tiba-tiba berkecamuk di dalam benaknya, terutama segala kejadian yang telah ia alami di dalam Wisma Meizhuang. “Kenapa sesepuh bermarga Ren itu dikurung di sana? Ah, kalau dia bukan orang yang sangat jahat, maka aku akan menolongnya untuk meloloskan diri.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia pun berjalan kembali menuju ke Wisma Meizhuang. Setelah berjalan menuruni lereng bukit dan menembus hutan, ia akhirnya sampai di wisma tersebut. Suasana di sana terdengar sunyi senyap tanpa suara apa pun. Dengan sangat enteng ia melompati pagar tembok yang mengelilingi wisma. Belasan ruangan yang berada di dalamnya terlihat sunyi dan gelap gulita, kecuali sebuah ruangan di sebelah kanan yang nampak terang oleh cahaya lentera. Perlahan-lahan ia pun melangkah mendekati jendela ruangan tersebut.

“Huang Zhonggong, apa kau tahu kesalahanmu?” tiba-tiba terdengar suara seorang tua membentak lantang. Suaranya terdengar sangat tegas.

Linghu Chong terheran-heran. Huang Zhonggong adalah majikan Wisma Meizhuang yang berkedudukan paling tinggi, namun ternyata ada orang yang berani bicara membentak-bentak seperti itu kepadanya. Dengan sangat berhati-hati Linghu Chong pun membungkuk dan mengintip melalui celah-celah jendela.

Di dalam ruangan terlihat empat orang duduk di kursi. Tiga di ataranya adalah laki-laki tua berusia lima puluh atau enam puluhan tahun, dan seorang lagi adalah wanita setengah baya. Mereka mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna kuning, mengingatkan kepada pakaian para tetua Sekte Iblis. Di hadapan mereka tampak Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng berdiri dengan tubuh membelakangi jendela sehingga raut wajah mereka tidak terlihat oleh Linghu Chong. Meskipun demikian, dari pemandangan tersebut sudah dapat disimpulkan kelompok mana yang berkedudukan lebih tinggi, mana yang lebih rendah.

Terdengar Huang Zhonggong menjawab sopan, “Hamba mengaku salah. Keempat Tetua telah jauh-jauh datang kemari, sedangkan hamba tidak mengadakan penyambutan semestinya. Hamba benar-benar berdosa, hamba benar-benar berdosa.”

“Huh, dosa macam apa pula tidak mengadakan penyambutan saja?” sahut seorang tetua bertubuh tinggi kurus dengan nada sinis. “Kau jangan berlagak bodoh lagi! Di mana Heibaizi? Mengapa dia tidak keluar menghadap kami?”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli. Ia pun berpikir, “Aku mengurung Heibaizi di dalam penjara, tapi Huang Zhonggong bertiga mengira dia sudah melarikan diri.” Setelah termenung sejenak, ia melanjutkan, “Mengapa ada sebutan ‘tetua’ dan ‘hamba’? Ah, aku tahu sekarang. Mereka semua adalah anggota Sekte Iblis.”

Huang Zhonggong menjawab, “Lapor kepada para Tetua, hamba tidak tegas dalam menegakkan disiplin. Sifat Heibaizi akhir-akhir ini telah mengalami banyak perubahan. Hari ini dia telah meninggalkan wisma.”

“Dia tidak di sini?” sahut tetua tadi menegas.

“Benar,” jawab Huang Zhonggong.

Tetua kurus itu memandang dengan sorot mata yang tajam dan berkilat-kilat, lalu berkata, “Huang Zhonggong, apakah Ketua menugasi kalian menjaga Wisma Meizhuang ini supaya kalian memetik kecapi, minum arak, melukis, dan bermain-main saja?”

Huang Zhonggong membungkuk sambil berkata, “Hamba berempat menerima titah dari Ketua untuk mengawasi seorang penjahat besar di sini.”

“Betul sekali,” kata si tetua kurus. “Lalu bagaimana keadaan penjahat besar yang kalian awasi itu?”

“Lapor pada Tetua, penjahat besar itu saat ini ada di dalam penjara bawah danau,” jawab Huang Zhonggong. “Selama dua belas tahun kami berempat tidak pernah meninggalkan Wisma Meizhuang ini, dan tidak pernah melalaikan tugas.”

“Bagus sekali, bagus sekali. Kalian tidak pernah meninggalkan wisma, tidak pernah melalaikan tugas, hah?” kata si tetua kurus. “Jika demikian, penjahat besar itu masih terkurung di dalam penjara?”

“Betul,” sahut Huang Zhonggong tegas.

Tetua kurus itu mengangkat kepalanya memandangi langit-langit rumah, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Debu yang menumpuk di langit-langit rumah itu seketika rontok bertaburan. Selang sejenak barulah ia berkata, “Sekarang bawalah penjahat besar itu kemari supaya kami dapat melihatnya.”

“Mohon maaf sebesar-besarnya kepada Tetua,” sahut Huang Zhonggong. “Ketua telah memberi perintah kepada kami, kecuali Ketua sendiri yang datang kemari untuk berkunjung, tidak peduli siapa pun juga dilarang menjenguk penjahat itu. Barangsiapa melanggar ….”

Tetua kurus tadi dengan cepat mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berdiri. Tiga orang kawannya juga serentak berdiri dengan sikap penuh hormat.

Linghu Chong berusaha mengamati dengan seksama, ternyata benda itu adalah sepotong papan kayu berwarna hitam hangus berukuran belasan senti. Pada papan kayu itu terdapat ukiran-ukiran kembang dan tulisan, namun bentuknya sangat aneh.

Seketika Huang Zhonggong bertiga lantas memberi hormat dan berkata, “Lencana Kayu Hitam milik Ketua telah tiba, bagaikan melihat Ketua yang berkunjung secara pribadi. Hamba siap menerima segala titah dengan penuh hormat.”

Si tetua kurus berkata, “Baiklah, sekarang bawa penjahat besar itu kemari.”

Huang Zhonggong terlihat ragu-ragu, kemudian berkata, “Kaki dan tangan penjahat itu terikat oleh rantai baja pilihan, tidak bisa … tidak bisa dibawa ke sini.”

“Hm, sampai saat ini kau masih berlagak bodoh,” sahut si tetua kurus. “Aku ingin bertanya, sesungguhnya bagaimana penjahat itu bisa kabur dari sini?”

“Penjahat … penjahat itu telah melarikan diri? Ah, mana … mana mungkin?” jawab Huang Zhonggong terperanjat. “Belum lama ini kami melihat dengan mata kepala sendiri orang itu masih terkurung di dalam penjara. Mana mungkin dia melarikan diri?”

Raut muka si tetua kurus berubah menjadi ramah. Ia pun berkata dengan tersenyum hangat, “Jadi kalian melihat sendiri kalau penjahat itu masih ada di dalam penjara? Kalau begitu kami yang salah telah menuduh kalian.” Perlahan-lahan ia bangkit dari kursi dan berjalan ke depan seperti hendak minta maaf. Begitu sudah berdekatan, tiba-tiba tangannya menepuk bahu Huang Zhonggong.

Tubiweng dan Danqingsheng serentak mundur dua langkah. Meskipun mereka bergerak dengan cepat, namun gerakan tangan si tetua kurus lebih cepat lagi. Tahu-tahu bahu mereka berdua juga terkena tepukan tangannya. Serangan si tetua kurus tersebut jelas tergolong serangan sembunyi-sembunyi secara mendadak. Namun karena raut wajahnya yang tampak ramah seperti ingin minta maaf, membuat jago berpengalaman seperti Huang Zhonggong tidak sempat berjaga-jaga. Tubiweng dan Danqingsheng yang berilmu lebih rendah meskipun menyadari sang kakak pertama terkena serangan, namun mereka sudah tidak memiliki kesempatan untuk menghindar.

Danqingsheng berseru lantang, “Tetua Bao, apa kesalahan kami sehingga kau menggunakan cara … sekejam ini kepada kami?” Dari suaranya dapat diketahui bahwa selain terdapat rasa sakit juga terkandung amarah yang besar.

Tetua kurus bermarga Bao itu mencibir, kemudian menjawab perlahan, “Ketua memberikan titah kepada kalian untuk mengawasi penjahat besar itu di sini. Kalau kalian membiarkan penjahat itu melarikan diri, kalian pantas mati atau tidak?”

“Jika penjahat itu benar-benar melarikan diri, sekalipun harus mati juga tidak cukup untuk menebus dosa kami,” jawab Huang Zhonggong. “Akan tetapi … akan tetapi, penjahat itu sekarang masih berada di dalam penjara. Tetua Bao begitu datang langsung menurunkan hukuman keji kepada kami, sungguh kami merasa keberatan untuk menerimanya.”

Sewaktu berbicara demikian, Huang Zhonggong sedikit memiringkan badannya sehingga Linghu Chong dari balik jendela dapat melihat pada dahinya penuh dengan butiran keringat sebesar biji kedelai yang mengucur deras. Pemuda itu pun berpikir, “Tepukan yang dilancarkan orang bermarga Bao itu sungguh hebat, bahkan jago berilmu tinggi seperti Huang Zhonggong tidak mampu mengatasinya. Tapi serangannya tadi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kalau saja bertarung secara terbuka, aku menduga Huang Zhonggong tidak akan kalah melawan dia.”

Terdengar kemudian Tetua Bao berkata, “Baiklah, kalian boleh memeriksa sendiri ke dalam penjara. Apabila penjahat itu masih berada di dalam tahanan, hm … maka aku nanti akan menyembah dan minta maaf kepada kalian, serta memunahkan pengaruh Pukulan Pasir Biru pula.”

“Baik, silakan para Tetua menunggu sebentar,” kata Huang Zhonggong. Segera ia pun melangkah keluar bersama Tubiweng dan Danqingsheng. Linghu Chong melihat ketiga bersaudara itu berjalan dengan badan gemetar, entah karena pukulan tadi atau karena terlalu gusar.

Khawatir diketahui, Linghu Chong tidak berani mengintip lebih banyak. Perlahan-lahan ia duduk di atas tanah, kemudian merenung, “Siapa sebenarnya Ketua yang tadi mereka bicarakan itu, yang telah menugasi Empat Sekawan Jiangnan mengurung penjahat besar di sini selama dua belas tahun? Seperti yang dikatakan Heibaizi tempo hari, mengenai orang yang telah ditahan selama dua belas tahun tentunya Tuan Ren. Apakah dia benar-benar sudah berhasil kabur? Kalau dia berhasil kabur dari penjara tanpa diketahui oleh Huang Zhonggong bersaudara, berarti dia memang benar-benar mahasakti. Ah, benar juga, Huang Zhonggong sepertinya memang tidak tahu. Buktinya, Heibaizi saja mengira diriku sebagai Tuan Ren.”

Ia berpikir kalau Huang Zhonggong bertiga memeriksa tahanan di dalam penjara yang ternyata sudah berubah menjadi Heibaizi, tentu akibat yang ditimbulkan akan sangat aneh dan lucu. Ia kembali bertanya-tanya dalam hati, “Tapi mengapa mereka mengurungku di dalam penjara? Apakah karena aku telah bertanding pedang melawan Tuan Ren? Mungkin mereka takut aku membocorkan keberadaan Tuang Ren sehingga aku pun dijebloskan ke dalam penjara pula. Meskipun aku tidak dibunuh, tapi perbuatan mereka melenyapkan saksi mata sudah tergolong keji. Hm, sekarang mereka bertiga terkena Pukulan Pasir Biru, rasanya tentu sangat tidak enak. Anggap saja itu sebagai pelampiasan sakit hatiku.”

Keempat tetua itu duduk diam tanpa bicara sedikit pun. Linghu Chong tidak berani bernapas keras-keras. Meskipun antara dirinya dan keempat orang tua itu terhalang oleh tembok ruangan, tapi jaraknya cuma beberapa meter saja. Asalkan bernapas sedikit berat saja pasti langsung ketahuan.

Dalam keadaan sunyi senyap itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan menyayat hati yang berkumandang dari jauh. Suara jeritan itu terdengar penuh penderitaan dan ketakutan. Di tengah malam seperti ini, mau tidak mau barangsiapa yang mendengarnya pasti akan merinding ngeri. Linghu Chong sendiri dapat mengenali itu adalah suara Heibaizi. Meskipun orang itu telah menerima pembalasan yang setimpal dari perbuatannya, namun setelah jatuh ke tangan tetua bernama Bao Dachu dan kawan-kawan tentu keadaan akan bertambah runyam. Tanpa sadar di dalam hati Linghu Chong tumbuh perasaan iba kepadanya.

Menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Huang Zhonggong dan yang lain telah kembali. Kesempatan itu segera digunakan Linghu Chong untuk mengintip lagi. Dilihatnya Tubiweng dan Danqingsheng memapah Heibaizi di kiri dan kanan. Tubuh Heibaizi tampak lemas lunglai, dengan wajah pucat pasi dan mata sayu, sungguh berbeda dengan tingkah lakunya sebelum ini yang cerdik dan pandai.

“Lapor … lapor kepada para Tetua,” kata Huang Zhonggong dengan suara gemetar. “Penjahat besar itu ternyata sudah … sudah melarikan diri. Hamba siap menerima hukuman mati di hadapan para Tetua.” Merasa nasibnya sudah tidak dapat ditolong lagi, kini suaranya justru menjadi lebih tenang, tidak gemetar seperti sebelumnya.

Bao Dachu menanggapi dengan angkuh, “Bukankah tadi kau bilang Heibaizi tidak ada di sini? Tapi mengapa sekarang dia muncul lagi? Sebenarnya ada masalah apa?”

“Tentang seluk-beluk kejadian ini sesungguhnya hamba juga merasa bingung,” ucap Huang Zhonggong. “Aih, karena mengejar hal remeh, kami melupakan sesuatu yang penting. Karena terlena dengan kegemaran membuat kami melalaikan tugas. Semua ini adalah akibat kami berempat terlalu iseng dan tergila-gila kepada musik, catur, kaligrafi, dan lukisan, membuat musuh mengetahui kelemahan kami dan mengatur tipu muslihat licik. Akhirnya, orang itu … orang itu berhasil mereka bawa kabur.”

Bao Dachu berkata, “Kami berempat telah menerima titah dari Ketua untuk menyelidiki bagaimana sampai penjahat besar itu bisa meloloskan diri. Jika kalian bercerita terus terang tanpa menyembunyikan dusta, maka … maka kami mungkin dapat menemani kalian memohon ampun kepada Ketua, memohon belas kasihan Beliau.”

Huang Zhonggong menghela napas panjang, lalu berkata, “Seandainya Ketua menaruh belas kasihan dan sudi memberi ampun, serta para Tetua menaruh iba kepada kami, tetap saja hamba malu untuk melanjutkan hidup di muka bumi. Namun seluk-beluk kejadian ini sangat rumit. Kalau hamba tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, maka mati pun hamba tidak dapat menutup mata dengan tenang.” Ia berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Tetua Bao, apakah … apakah Ketua saat ini berada di Hangzhou sini?”

Bao Dachu mengerutkan kening dan balas bertanya, “Siapa bilang Ketua berada di Hangzhou?”

“Penjahat besar itu baru saja melarikan diri sore tadi, mengapa Ketua seketika lantas tahu dan segera mengirim keempat Tetua ke Wisma Meizhuang ini?” ujar Huang Zhonggong.

“Hm, kau ini semakin lama semakin pikun saja,” ejek Bao Dachu. “Siapa bilang penjahat besar itu baru melarikan diri tadi sore?”

“Orang itu baru melarikan diri tadi sore menjelang senja,” sahut Huang Zhonggong yakin. “Kami bertiga mengira dia adalah Heibaizi. Ternyata dia telah memancing Adik Kedua sehingga terkurung dalam penjara, lalu menukar pakaiannya dengan mengenakan pakaian Adik Kedua, setelah itu menerjang keluar. Kejadian saat dia kabur tidak hanya disaksikan oleh kami bertiga, bahkan Ding Jian juga ditubruk oleh orang itu sampai tulang rusuknya banyak yang patah ….”

Bao Dachu menoleh kepada ketiga rekannya, lalu berkata sambil mengerutkan dahi, “Dia ini entah bicara omong kosong apa, mana mungkin bisa begitu?”

Tetua yang bertubuh pendek gemuk lantas berkata, “Kita menerima berita itu pada tanggal empat belas bulan lalu …” Ia berbicara sambil menghitung-hitung dengan jarinya, “Berarti hari ini sudah hari yang ketujuh belas.”

“Tidak mungkin … tidak mungkin,” seru Huang Zhonggong sambil melangkah mundur sampai punggungnya membentur dinding cukup keras. “Sore tadi kami benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri orang itu melarikan diri.” Ia kemudian melangkah ke pintu dan berteriak, “Shi Lingwei, lekas bawa Ding Jian kemari!”

“Baik, Tuan!” jawab Shi Lingwei dari kejauhan.

Bao Dachu bangkit dan berjalan mendekati Heibaizi, kemudian menarik baju bagian dadanya dan mengangkatnya sampai berdiri. Ternyata majikan kedua dari Wisma Meizhuang itu keadaannya memang lemas lunglai seakan-akan seluruh ruas tulang di badannya telah terlepas semua. Begitu Bao Dachu melepaskan cengkeramannya, tubuh Heibaizi pun jatuh terkulai di lantai, tak kuasa bangkit kembali.

Tetua yang bertubuh tinggi besar menyahut, “Benar juga, seluruh tenaganya telah habis karena … karena dihisap oleh Jurus Penyedot Bintang orang itu.” Suaranya terdengar gemetar karena ketakutan.

“Kapan kau dikerjai orang itu?” tanya Bao Dachu.

“Sore … tadi,” jawab Heibaizi dengan suara terputus-putus lemah. “Orang itu men… mencengkeram pergelangan kananku sehingga … sehingga aku tidak bisa … berkutik. Terpaksa aku … pasrah nasib.”

“Lalu bagaimana?” tanya Bao Dachu tidak mengerti.

“Aku ditarik … masuk ke dalam penjara … melalui lubang persegi … di pintu,” tutur Heibaizi. “Dia menanggalkan pakaianku … membelenggu kaki dan tanganku ... kemudian dia … menerobos keluar melalui … lubang persegi tadi.”

“Tadi sore? Apa benar tadi sore? Bagaimana bisa?” tanya Bao Dachu sambil mengerutkan dahi.

“Borgol itu terbuat dari baja pilihan, bagaimana bisa diputuskan olehnya?” tanya si tetua pendek gemuk.

“Aku … aku tidak tahu,” jawab Heibaizi.

Tubiweng menyahut, “Tadi hamba sempat memeriksa borgol-borgol itu, ternyata telah digergaji putus menggunakan semacam kawat baja yang sangat halus. Sungguh aneh, dari mana orang itu mendapatkan benda tersebut?”

Saat itu Shi Lingwei sudah datang disertai dua pelayan yang menggotong Ding Jian di atas sebuah bangku empuk dan tertutup oleh selembar selimut tipis. Bao Dachu menyingkap selimut itu dan memegang perlahan dada Ding Jian. Kontan saja Ding Jian berteriak kesakitan. Bao Dachu manggut-manggut dan memberi isyarat agar Shi Lingwei membawa Ding Jian kembali.

“Tubrukan ini benar-benar keras, jelas dilakukan oleh orang itu,” ujar Bao Dachu kemudian.

Tetua wanita setengah baya yang duduk di sebelah kiri sejak tadi tidak membuka suara, sekarang mendadak ia berkata, “Tetua Bao, jika betul orang itu baru lolos tadi sore, lantas berita yang kita terima bulan lalu mungkin hanya kabar bohong yang sengaja disebarkan oleh begundalnya untuk mengacaukan perhatian kita.”

“Tidak, tidak mungkin palsu,” sahut Bao Dachu sambil menggeleng.

“Tidak mungkin palsu?” wanita itu menegas.

Bao Dachu menjawab, “Coba pikir, Xue Xiangzhu memiliki ilmu kebal yang menyelubungi sekujur tubuhnya. Kulitnya keras dan tidak mempan oleh senjata tajam biasa. Tapi kelima jari orang itu telah menembus dadanya dan mencabut keluar jantungnya mentah-mentah. Kepandaian setinggi ini rasanya tiada duanya di muka bumi, selain orang itu tidak mungkin ….”

Selagi asyik mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba Linghu Chong merasa pundaknya ditepuk orang secara perlahan. Tepukan ini benar-benar di luar dugaan sehingga ia pun terkejut dan langsung melompat mundur tiga langkah sambil menghunus pedang. Ia menoleh dan melihat dua orang berdiri di dekat jendela.

Karena membelakangi cahaya rembulan yang remang-remang, wajah kedua orang itu tidak dapat terlihat jelas. Hanya saja, seorang di antaranya lantas melambaikan tangan sambil berkata, “Adik, mari kita masuk ke sana!”

Linghu Chong sangat senang karena itu adalah suara Xiang Wentian. Ia pun berseru dengan suara lirih, “Kakak Xiang!”

Meski suara mereka sangat pelan, tapi terdengar jelas oleh orang-orang di dalam rumah. “Siapa itu?” bentak Bao Dachu tiba-tiba.

Orang yang berdiri di samping Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar sampai mengguncang genting atap rumah. Linghu Chong merasa pusing mendengarnya, telinganya berdengung, dan darah pada rongga dada ikut bergolak.

Orang itu lantas melangkah ke depan dan mendorong dinding tembok begitu saja. Seketika terdengar suara bergemuruh, diikuti jebolnya tembok menimbulkan suatu lubang besar. Melalui lubang tersebut orang itu lantas melangkah masuk ke dalam, diikuti Xiang Wentian yang menarik tangan Linghu Chong pula.

Bao Dachu dan ketiga rekannya telah bangkit dengan senjata terhunus. Wajah mereka tampak sangat tegang. Linghu Chong penasaran ingin mengetahui siapakah dia yang sebenarnya, namun orang itu berdiri membelakanginya. Yang terlihat hanyalah perawakannya yang tinggi besar, dengan rambut hitam dan baju berwarna hitam pula.

“Ternyata … ternyata Sesepuh Ren … Sesepuh Ren yang datang,” kata Bao Dachu ragu-ragu.

Orang itu hanya mendengus tanpa menjawab. Ia terus melangkah maju, membuat Bao Dachu, Huang Zhonggong dan yang lain tanpa sadar melangkah mundur. Sesudah membalik tubuh, orang itu lantas duduk di kursi tengah, yaitu kursi yang tadi diduduki Bao Dachu.

Baru sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas wujud orang itu. Wajahnya tampan tetapi agak panjang. Mukanya terlihat putih bersih tanpa rona merah sedikit pun, benar-benar pucat pasi menakutkan seperti mayat yang baru bangkit dari kubur.

Orang itu melambaikan tangannya ke arah Xiang Wentian dan Linghu Chong, lalu berkata, “Adik Xiang dan Adik Linghu, mari duduk di sini!”

Begitu mendengar suaranya, hati Linghu Chong sangat terkejut bercampur senang. Ia pun berseru, “Hei, jadi kau … kau adalah Tuan Ren?”

“Benar sekali,” jawab orang itu sambil tersenyum. “Ilmu pedangmu sungguh cemerlang.”

Linghu Chong berkata, “Tenyata Tuan Ren sudah meloloskan diri. Padahal … padahal aku datang ingin menolong ….”

“Kau datang kemari ingin menolongku meloloskan diri?” sahut orang bermarga Ren itu. “Hahaha, Adik Xiang, saudaramu ini benar-benar pantas disebut kawan sejati.”

Xiang Wentian mempersilakan Linghu Chong duduk di sisi kanan orang itu, sedangkan ia sendiri duduk di sebelah kirinya, lalu berkata, “Adik Linghu selalu tulus dalam perbuatan. Ia benar-benar laki-laki pemberani berjiwa luhur yang sulit ditemui di zaman ini.”

Orang bermarga Ren berkata, “Adik Linghu, aku sungguh menyesal telah menyusahkanmu sampai meringkuk tiga bulan dalam penjara gelap di bawah danau. Maafkan aku, hahahaha!”

Kini Linghu Chong samar-samar dapat memahami duduk permasalahannya, namun masih belum jelas secara keseluruhan.

Orang bermarga Ren itu memandangi Linghu Chong dengan tersenyum ramah, lalu berkata, “Meskipun kau telah menderita selama dua bulan di dalam penjara karena aku, tapi kau telah berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang yang kuukir di atas dipan besi. Hehe, rasanya itu sudah cukup untuk menebus kerugianmu, bahkan lebih.”

“Ilmu sakti yang terukir di atas dipan besi itu adalah … adalah tulisan Tuan?” sahut Linghu Chong menegas keheranan.

“Kalau bukan aku yang mengukirnya, di dunia ini siapa lagi yang mahir Jurus Penyedot Bintang?” sahut orang bermarga Ren dengan tersenyum.

Xiang Wentian menukas, “Adik Linghu, di dunia ini hanya kau satu-satunya ahli waris Jurus Penyedot Bintang milik Ketua Ren. Sungguh aku ikut senang dan harus memberimu selamat.”

“Ketua Ren?” Linghu Chong menegas dengan heran.

“Ternyata sampai sekarang kau masih belum mengetahui siapa sebenarnya Ketua Ren,” kata Xiang Wentian. “Beliau adalah Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Nama lengkapnya adalah Ren Woxing. Apakah sebelumnya kau pernah mendengar nama Beliau ini?”

“Nama … Ketua Ren telah kutemukan pada ukiran di atas dipan besi itu. Hanya saja, aku tidak tahu kalau Beliau adalah … adalah ketua,” jawab Linghu Chong terbata-bata. Ia pernah mendengar bahwa Sekte Matahari dan Bulan adalah nama asli dari Sekte Iblis. Hanya anggota Sekte yang menyebutnya demikian, sedangkan pihak luar lebih suka menyebut dengan nama ejekan “Sekte Iblis”. Ia pun mengetahui nama Ketua Sekte Iblis selama ini adalah Dongfang Bubai. Lalu dari mana asalnya seorang Ren Woxing yang mengaku sebagai ketua pula?

Mendadak si tetua tinggi besar membentak, “Siapa bilang dia ketua? Setiap orang di dunia ini tahu bahwa Ketua Sekte Matahari dan Bulan adalah Ketua Dongfang. Orang bermarga Ren ini telah berkhianat kepada agama kita dan memberontak. Dia sudah lama dikeluarkan dari agama. Xiang Wentian, kau berani ikut-ikutan murtad, apa kau tidak takut menerima hukuman mati?”

Perlahan-lahan Ren Woxing berpaling ke arah si tetua tinggi besar itu, kemudian berkata, “Kau bernama Qin Weibang, bukan?”

“Benar,” jawab si tetua tinggi besar tegas.

“Saat aku masih memegang tampuk kekuasaan di agama kita, kau adalah Pemimpin Panji Hijau di wilayah Jiangsi, bukan?” tanya Ren Woxing.

“Benar,” jawab Qin Weibang.

Ren Woxing menghela napas dan berkata, “Sekarang kau telah menjadi satu di antara sepuluh tetua agama. Kenaikan pangkatmu sungguh cepat. Mengapa Dongfang Bubai begitu tinggi menilai dirimu? Apakah karena ilmu silatmu tinggi atau karena kerjamu pintar?”

Qin Weibang menjawab, “Seumur hidup aku setia kepada agama, selalu tampil ke muka menghadapi segala masalah. Selama sepuluh tahun aku banyak menumpuk jasa, sehingga aku bisa diangkat menjadi tetua,” jawab Qin Weibang.

“Hm, begitu rupanya,” ujar Ren Woxing. Tiba-tiba ia melompat maju ke depan Bao Dachu, lalu tangan kirinya menjulur dan mencengkeram tenggorokan tetua bertubuh kurus itu.

Bao Dachu sangat terkejut. Karena tidak sempat mencabut senjata, terpaksa siku kirinya diangkat untuk melindungi tenggorokan, sekaligus kaki kirinya melangkah mundur pada waktu yang bersamaan. Setelah itu tangan kanan pun bergerak cepat mencabut golok untuk ditebaskan.

Walaupun pertahanan Bao Dachu sangat rapat dan serangan balasannya ganas pula, tapi tangan kanan Ren Woxing tetap lebih cepat. Belum sempat golok Bao Dachu bergerak turun, dadanya sudah terpegang tangan lawan. Jubah di bagian itu lantas dirobek, dan Lencana Kayu Hitam tanda kebesaran Sekte pun dirampas pula oleh Ren Woxing.

Hampir pada saat yang sama terdengar suara benturan logam tiga kali. Ternyata Xiang Wentian telah menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan Qin Weibang dan kedua temannya yang mencoba menolong Bao Dachu. Saat itu Bao Dachu sendiri telah jatuh ke dalam cengkeraman Ren Woxing.

“Jurus Penyedot Bintang belum kugunakan. Apakah kau ingin mencicipi rasanya?” kata Ren Woxing dengan tersenyum.

Sebagai seorang berpengalaman, sudah tentu Bao Dachu tahu betapa tinggi ilmu Ren Woxing itu. Ia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu menyerah atau kehilangan nyawa. Maka, tanpa pikir panjang ia pun menjawab, “Ketua Ren, mulai hari ini aku bersumpah akan selalu setia kepadamu.”

“Dahulu juga kau pernah bersumpah setia kepadaku, tapi mengapa kemudian mengingkarinya?” tanya Ren Woxing.

“Mohon Ketua Ren memberi kesempatan sekali lagi kepada hamba untuk berbuat jasa dan menebus dosa,” kata Bao Dachu.

“Baiklah. Kalau begitu makanlah pil ini,” kata Ren Woxing sambil melepaskan cengkeramannya, lalu merogoh saku dan mengeluarkan sebuah botol porselen kecil. Dituangnya sebutir pil warna merah darah lantas dilemparkannya ke arah Bao Dachu.

Dengan gesit Bao Dachu menangkap pil itu. Tanpa pandang lagi ia langsung memasukkannya ke dalam mulut.

Qin Weibang terkejut melihatnya dan berkata gugup, “Hah, itu … itukah ‘Pil Otak Tiga Mayat’?”

Ren Woxing manggut-manggut dan menjawab, “Benar, ini memang Pil Otak Tiga Mayat.” Kemudian ia menuang enam butir pil merah dari dalam botol dan melemparkannya ke atas meja. Keenam butir pil itu terus-menerus bergelindingan, tapi tidak satu pun yang jatuh ke bawah meja.

“Kalian tentu sudah tahu keampuhan obatku ini, bukan?” tanya Ren Woxing.

Bao Dachu menjawab, “Setelah menelan Pil Otak Tiga Mayat, akan selalu bertekat kuat untuk tetap setia dan tunduk kepada Ketua Ren sampai akhir hayat. Kalau berani ingkar, maka belatung yang tersimpan di dalam pil akan bergerak masuk ke dalam kepala dan memakan otak. Rasanya sangat menyakitkan, serta tingkah laku menjadi liar tak bisa dikendalikan. Bahkan, menjadi anjing gila pun lebih terhormat.”

“Benar sekali ucapanmu,” kata Ren Woxing. “Kau sudah tahu betapa ampuh obatku ini, tapi mengapa masih berani menelannya?”

Bao Dachu menjawab, “Itu karena hamba sudah menyatakan tunduk dan setia kepada Ketua Ren. Betapa pun ampuhnya Pil Otak Tiga Mayat ini juga hamba tidak peduli,” ujar Bao Dachu.

“Hahaha! Bagus sekali, bagus sekali!” Ren Woxing tertawa terbahak-bahak. “Nah, siapa lagi yang mau mencicipi obat ajaibku ini?”

Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng saling pandang dengan raut muka putus asa. Mereka tahu bahwa yang dikatakan Bao Dachu bukanlah omong kosong. Qin Weibang dan para tetua lainnya juga sudah lama menjadi anggota Sekte Iblis, sehingga mereka pun kenal baik dengan pil ajaib yang mengandung belatung mengerikan itu. Pada hari-hari biasa, khasiat obat tersebut tidak bekerja. Namun apabila Hari Raya Perahu Naga tiba, maka belatung akan keluar dari dalam pil dan jika sudah masuk ke dalam otak, maka akibatnya sungguh mengerikan. Orang itu akan kesetanan, akal budinya menghilang, melanggar segala norma tanpa sadar, bahkan ayah dan ibu sendiri bisa dimakan. Di dunia ini tidak ada racun yang bisa menandinginya. Maka, setiap tahun pada hari raya tersebut, dia harus meminta obat kepada Ren Woxing untuk menahan belatung bekerja. Uniknya, setiap pil dibuat oleh tukang obat yang berbeda, sehingga obat penawar milik Dongfang Bubai tidak dapat menghentikan obat milik Ren Woxing.

Linghu Chong melarikan diri.

Bao Dachu menunjukkan Lencana Kayu Hitam.
 
Bao Dachu bersumpah setia kepada Ren Woxing.

(Bersambung)