Bagian 15 - Si Pedang Budiman


Linghu Chong menyembunyikan Yilin dan Qu Feiyan.
Usai berpikir demikian, Yu Canghai memandang ke segenap penjuru kamar dengan pandangan tajam. Ia tidak menemukan siapa pun di tempat itu selain Linghu Chong, kecuali di atas ranjang terdapat pemandangan mencurigakan. “Jangan-jangan biksuni cilik itu bersembunyi di bawah selimut,” demikian ia menyimpulkan.
“Renxiong, coba kau singkap kelambu itu! Perlihatkan kepada kami apakah di atas ranjang ada tontonan menarik!” seru Yu Canghai kemudian.
Hong Renxiong segera melaksanakan perintah sang guru. Teringat dirinya pernah dihajar oleh Linghu Chong beberapa waktu yang lalu, mau tidak mau hatinya gelisah juga saat melangkah maju sedikit demi sedikit.
“Kau ingin mati?” tegur Linghu Chong dengan mata tajam.
Hong Renxiong menelan ludah. Begitu teringat sang guru ada di belakangnya, ia pun mendapat tambahan keberanian. Perlahan-lahan tangannya melolos pedang.
Linghu Chong lantas berkata kepada Yu Canghai, “Kau mau apa?”
Yu Canghai menjawab, “Perguruan Henshan baru saja kehilangan seorang muridnya. Ada laporan bahwa dia masuk ke wisma mesum ini. Maka itu, kami datang kemari untuk mencarinya.”
“Ini urusan Serikat Pedang Lima Gunung, untuk apa orang Qingcheng ikut campur?” ujar Linghu Chong.
“Kami sedang mencari kebenaran. Terserah kau suka atau tidak, yang jelas urusan ini harus diusut sampai tuntas,” jawab Yu Canghai. “Renxiong, lanjutkan!”
“Baik, Guru!” jawab Hong Renxiong yang sudah sampai di depan ranjang. Ia lantas menyingkap kelambu menggunakan pedang. Sementara itu, Yilin dan Qu Feiyan berpelukan erat di bawah selimut. Setiap perkataan Linghu Chong dan Yu Canghai dapat terdengar jelas oleh mereka. Karena sangat ketakutan, tubuh kedua gadis itu sampai gemetaran.
Begitu Hong Renxiong menyingkap kelambu, serentak pandangan semua orang tertuju ke atas ranjang. Di balik selimut berwarna merah, mereka melihat sesosok tubuh sedang gemetar ketakutan. Wajah orang itu tertutup selimut, tapi rambutnya yang panjang terurai di atas bantal.
Yu Canghai merasa kecewa karena perempuan di samping Linghu Chong itu ternyata memiliki rambut panjang, bukan biksuni gundul seperti yang ia harapkan.
Linghu Chong berkata, “Pendeta Yu, meskipun kau seorang pendeta agama Tao, tapi kabarnya dalam Perguruan Qingcheng tidak ada larangan untuk menikah. Bahkan aku dengar, kau punya banyak istri dan anak. Tentu kau sangat senang melihat wanita telanjang. Jika demikian, mengapa kau tidak maju kemari dan membuka selimut untuk melihat pemandangan bagus? Kenapa pula kau lebih suka mencari biksuni gundul dari Henshan?”
“Keparat!” bentak Yu Canghai sambil memukul ke arah Linghu Chong.
Linghu Chong bergerak ke samping untuk menghindar. Namun karena tubuhnya masih lemah, mau tidak mau angin yang berhembus dari gerakan tangan sang ketua Qingcheng membuatnya jatuh terduduk di atas ranjang.
Perlahan-lahan Linghu Chong mencoba bangkit kembali. Namun darah segar lantas keluar dari mulutnya. Berkali-kali pemuda itu muntah darah.
Yu Canghai mempersiapkan pukulan kedua. Kali ini nyawa Linghu Chong pasti melayang jika pukulan tersebut mendarat di tubuhnya. Tak disangka, tiba-tiba dari luar jendela terdengar suara seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Secepat kilat Yu Canghai mengalihkan pukulannya ke arah jendela. Menyusul kemudian ia melompat keluar dari dalam kamar. Di bawah cahaya lilin, terlihat bayangan seorang bungkuk sedang berdiri di sudut rumah.
“Berhenti di situ!” bentaknya kepada si orang bungkuk.
Manusia bungkuk tersebut tidak lain adalah Lin Pingzhi yang sedang menyamar. Setelah berselisih dengan Yu Canghai di rumah Liu Zhengfeng, ia menyelinap keluar pada saat Qu Feiyan muncul dan membuat ulah. Sesampainya di luar, ia termenung-menung memikirkan apa yang baru saja ia alami.
“Setiap orang kini telah mengenaliku sebagai seorang bungkuk yang berani menantang Yu Canghai. Aku tidak bisa leluasa lagi berkeliaran dengan penampilan ini untuk mencari berita di mana Ayah dan Ibu berada. Jika orang-orang Qingcheng melihatku lagi, tentu mereka akan langsung membunuhku tanpa banyak bertanya. Apakah aku harus mengganti penyamaran? Aih, saat Yu Canghai mencengkeram lenganku, aku merasa tenaganya begitu besar. Kenapa di dunia ini ada orang sekuat itu? Lantas, bagaimana aku bisa menolong Ayah dan Ibu?”
Sekian lama ia merenung, tahu-tahu seseorang telah menepuk punggungnya. Begitu menoleh ternyata Mu Gaofeng, si Bungkuk dari Utara sudah berdiri di belakangnya.
“Bungkuk palsu, apa enaknya menyamar menjadi seorang bungkuk, hah?” tanya Mu Gaofeng kepadanya. “Kenapa pula kau sengaja mengaku sebagai cucuku?”
Lin Pingzhi menyadari kalau Mu Gaofeng seorang kejam dan berkepandaian tinggi. Sedikit saja manusia bungkuk itu tersinggung, tentu ia akan langsung bertindak mencabut nyawa. Teringat bahwa di dalam aula tadi si bungkuk tidak marah sewaktu dipuji sebagai seorang pahlawan pembela kebenaran, Lin Pingzhi pun berniat menggunakan cara yang sama.
Maka pemuda itu pun berkata, “Saya sudah lama mendengar bahwa Pendekar Mu, si Bungkuk dari Utara memiliki nama besar di dunia persilatan; suka membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan. Saya benar-benar mengagumi Tuan Pendekar, sehingga dengan sengaja menyamar seperti ini. Mohon Pendekar Mu sudi memaafkan.”
“Kau jangan bercanda!” bentak Mu Gaofeng sambil tertawa. “Suka membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan, omong kosong semua itu.” Ia sadar kalau Lin Pingzhi sengaja berbohong untuk sekadar memujinya. Pada umumnya manusia suka dipuji; apalagi seorang manusia tercela seperti Mu Gaofeng sudah pasti jarang mendengar pujian untuk dirinya. Tentu saja tutur kata pemuda itu membuatnya senang.
Manusia bungkuk itu lantas bertanya, “Siapa namamu yang sebenarnya?”
Lin Pingzhi menjawab, “Sebenarnya saya bermarga Lin. Secara tidak sengaja saya telah memakai marga yang sama dengan Tuan Pendekar.”
“Tidak sengaja bagaimana? Kau pasti sengaja memakai marga Mu untuk menggertak orang lain,” sahut Mu Gaofeng. “Anak muda, Yu Canghai itu seorang guru besar dalam dunia persilatan. Hanya dengan satu jari dia bisa mencabut nyawamu. Tapi kau malah berani menantangnya. Hm, keberanianmu patut untuk dihargai.”
Mendengar itu, Lin Pingzhi langsung menukas dengan nada marah, “Selama saya masih bisa bernapas, saya bersumpah akan membunuh bajingan itu dengan tangan saya sendiri.”
Mu Gaofeng menjadi heran dan bertanya, “Memangnya ada permusuhan apa antara kau dengan Yu Canghai?”
Lin Pingzhi terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa dengan kekuatan seorang diri tidak mungkin bisa membebaskan kedua orang tuanya. Maka itu, ia pun berlutut di hadapan Mu Gaofeng dan berkata, “Ayah dan ibu saya disekap oleh bangsat bermarga Yu itu. Saya memohon bantuan Tuan Pendekar untuk menegakkan keadilan memberi pertolongan.”
Mu Gaofeng menggelengkan kepala dan menjawab, “Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan apa-apa. Memangnya, siapa nama ayahmu? Kalau aku bisa menolongnya, apa pula yang akan kudapatkan?”
Belum sempat Lin Pingzhi menjawab tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berbicara dengan nada tegang. “Cepat lapor kepada Guru, bahwa seorang murid Qingcheng terbunuh oleh Tian Boguang di Wisma Kumala. Seorang murid Henshan juga pulang dalam keadaan terluka. Cepatlah!”
Mu Gaofeng tersenyum dan berkata kepada Lin Pingzhi, “Urusanmu ini bisa kita bicarakan nanti. Sepertinya ada pertunjukan menarik. Bila ingin bertambah pengalaman, ikutlah denganku.”
Lin Pingzhi berpikir urusan meminta bantuan memang bisa ditunda nanti. Maka, ia lantas menjawab, “Kemana pun Tuan Pendekar pergi, saya siap menemani.”
“Tapi dalam segala hal si bungkuk ini suka menghitung untung-rugi,” ujar Mu Gaofeng. “Jika kau hanya menyanjungku dan meminta bantuan tanpa ada imbalan yang pantas, jangan harap aku sudi turun tangan.”
Lin Pingzhi mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Nah, mereka sudah berangkat,” sahut Mu Gaofeng sambil menunjuk rombongan Biksuni Dingyi yang berangkat lebih dulu menuju Wisma Kumala. Manusia bungkuk itu lalu memegang lengan Lin Pingzhi dan membawa pemuda itu lari bagaikan terbang.
Setibanya di rumah pelacuran tersebut, Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi segera bersembunyi di belakang pohon. Mereka menyaksikan semua yang terjadi. Misalnya pertarungan antara Yu Canghai melawan Tian Boguang, sampai penggeledahan wisma yang dipimpin oleh murid-murid Liu Zhengfeng. Akhirnya, ketika melihat Yu Canghai hendak memukul Linghu Chong melalui lubang jendela kamar rahasia, Lin Pingzhi tidak tahan lagi dan berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Begitu bersuara, Lin Pingzhi menyadari kecerobohannya. Namun Yu Canghai sudah terlanjur melesat keluar dari kamar dan memburunya. Tahu-tahu pendeta pendek itu sudah menghadang di depannya sambil membentak, “Berhenti di situ!”
Jurus Tapak Penghancur Jantung yang semula dipersiapkan Yu Canghai untuk membunuh Linghu Chong kini hendak diarahkan kepada Lin Pingzhi. Namun begitu mengetahui kalau yang bersuara mengganggunya tadi adalah si pemuda bungkuk, ia pun menahan serangan tersebut. Diam-diam ia merasa segan melihat si bungkuk tua yang juga berada di situ.
“Kau lagi rupanya!” tegur Yu Canghai kepada Lin Pingzhi. Ia lantas berpaling kepada Mu Gaofeng dan menyapa, “Saudara Mu, kenapa kau menyuruh bocah ini mencari masalah denganku lagi? Apa sebenarnya yang kau inginkan?”
Mu Gaofeng tertawa dan menjawab, “Bocah ini mengaku sebagai cucuku, padahal aku sama sekali tidak mengenalnya. Dia bermarga Lin, sedangkan aku bermarga Mu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan bocah ini. Pendeta Yu, bukannya aku takut kepadamu, tapi aku sendiri sudah bosan dijadikan tameng anak muda ini tanpa bayaran yang jelas. Sebenarnya boleh saja dia menjadikan aku sebagai pelindung, asalkan ada bayaran yang pasti, misalnya emas atau perak. Si bungkuk tidak suka turun tangan secara cuma-cuma.”
Yu Canghai gembira mendengar jawaban Mu Gaofeng. “Kalau benar apa yang dikatakan Saudara Mu, rasanya aku tidak perlu segan-segan lagi,” ujarnya. Usai berkata demikian, ia lantas bersiap melayangkan pukulan ke arah Lin Pingzhi.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Yu Canghai serentak menoleh. Ternyata yang bersuara kali ini adalah Linghu Chong yang sudah berdiri di ambang jendela.
Yu Canghai merasa serbasalah. Ilmu silat Linghu Chong dan Lin Pingzhi jelas-jelas jauh di bawahnya. Sudah tentu membunuh mereka berdua adalah pekerjaan mudah. Akan tetapi, jika ia benar-benar melakukannya, maka itu berarti sesuai dengan ejekan kedua pemuda tersebut. Ini berarti predikat “memalukan” dengan sendirinya akan melekat pula pada dirinya. Namun demikian, ia juga tidak mungkin membiarkan kedua pemuda itu mengejeknya terus-menerus. Maka, dengan mulut menyeringai ia pun berkata kepada Linghu Chong, “Urusan denganmu biarlah nanti kuperhitungkan dengan gurumu.”
Kemudian ia berpaling kepada Lin Pingzhi dan berkata, “Bocah sial, kau ini sebenarnya murid siapa, hah?”
“Bangsat tua bangka!” bentak Lin Pingzhi. “Kau telah menghancurkan keluargaku dan membuat hidupku terlunta-lunta; tapi kau masih juga bertanya siapa aku ini?”
Yu Canghai menjadi heran. Ia merasa baru kali ini bertemu pemuda bungkuk itu, namun mengapa dirinya dituduh berbuat seperti itu. Meskipun demikian, di hadapan murid-murid ketiga perguruan ia merasa tidak leluasa untuk bertanya lebih lanjut. Maka, ia pun memberi perintah, “Renxiong, singkirkan bocah bungkuk ini lebih dulu; baru setelah itu tangkap Linghu Chong.”
“Baik, Guru!” sahut Hong Renxiong kemudian melompat maju. Dengan cara demikian, Yu Canghai dapat menghindarkan diri dari ejekan Linghu Chong dan Lin Pingzhi tadi.
Lin Pingzhi sendiri segera meraba pedangnya. Namun belum sempat pedang itu keluar dari sarungnya, pedang Hong Renxiong secepat kilat sudah lebih dulu mengancam di depan dadanya. Dengan perasaan gusar, pemuda yang sedang menyamar bungkuk itu berkata, “Yu Canghai, meskipun aku, Lin Pingzhi....”
Seketika Yu Canghai terkejut mendengarnya. Dengan cepat ia melepaskan pukulan jarak jauh untuk menyapu pedang Hong Renxiong sehingga meleset dari sasaran.
“Apa katamu?” tanya pendeta pendek itu menegas.
“Aku, Lin Pingzhi, meskipun menjadi hantu akan tetap mengincar nyawamu!” teriak Lin Pingzhi murka.
“Jadi... jadi, kau adalah Lin Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei, hah?” sahut Yu Canghai semakin mendekat.
Lin Pingzhi sadar bahwa dengan membuka penyamaran, maka kematian akan segera datang menjemputnya. Namun demikian ia sudah bertekad bulat menghadapi Yu Canghai habis-habisan. Maka itu, ia lantas membuang semua koyo yang menempel di wajahnya dan berkata lantang, “Benar, aku adalah Lin Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei. Aku yang telah membunuh anakmu, si kurang ajar pengganggu perempuan. Kau sendiri juga telah menghancurkan keluargaku serta menyekap ayah dan ibuku.”
Berita bahwa Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei telah menyebar luas di dunia persilatan. Pada umumnya, orang-orang tidak mengetahui dendam lama tentang kekalahan Tang Qingzi di tangan Lin Yuantu, sehingga mereka mengira satu-satunya tujuan Yu Canghai menghancurkan perusahaan tersebut adalah untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis.
Sewaktu di Rumah Minum Dewa Mabuk, Linghu Chong yang pernah mendengar berita itu telah menggunakannya untuk mengalihkan perhatian Luo Renjie dan membunuh murid Qingcheng tersebut. Mu Gaofeng sendiri juga mendengar adanya berita ini. Maka begitu melihat si bungkuk muda telah membuka penyamarannya dan mengaku sebagai Lin Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei, seketika ia merasa terkejut. Setelah melihat raut muka Yu Canghai yang terlihat berubah kaget, serta bagaimana pendeta pendek itu menggagalkan tusukan pedang Hong Renxiong demi membiarkan Lin Pingzhi tetap hidup, maka perasaan Mu Gaofeng bertambah yakin.
Maka, begitu melihat Yu Canghai meraih lengan kanan Lin Pingzhi dan bersiap menyeret pemuda itu pergi, Mu Gaofeng pun melompat maju dan menarik lengan yang lain sambil berteriak, “Nanti dulu!”
Dalam sekejap, tubuh Lin Pingzhi ditarik oleh dua kekuatan besar dari arah yang berlawanan. Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam sehingga pemuda itu merasa sakit bukan main dan hampir saja jatuh pingsan.
Melihat Mu Gaofeng ikut campur, Yu Canghai merasa urusan menjadi rumit. Jika ia menarik lebih keras, maka tubuh Lin Pingzhi akan terbelah menjadi dua. Maka, ia pun menggerakkan tangannya yang lain untuk menusukkan pedang ke arah Mu Gaofeng sambil membentak, “Lepaskan tanganmu, Saudara Mu!”
Akan tetapi, pada saat itu juga Mu Gaofeng mengeluarkan senjatanya yang berwujud golok bengkok untuk menangkis pedang Yu Canghai. Merasa penasaran, Yu Canghai melancarkan sembilan serangan sekaligus ke arah Mu Gaofeng, namun kesemuanya dapat ditangkis oleh manusia bungkuk tersebut.
“Saudara Mu, selama ini kita tidak pernah bermusuhan. Untuk apa kau membela bocah ini dan berselisih denganku?” sahut Yu Canghai.
Sambil memutar golok bengkoknya untuk menangkis setiap serangan pedang lawan, Mu Gaofeng menjawab, “Pendeta Yu, di hadapan banyak orang bocah ini telah menyembah dan memanggil kakek kepadaku. Meskipun kita tidak pernah bermusuhan, tapi aku tidak rela kalau ada orang yang menangkap bocah ini; karena itu sama artinya dengan menghinaku. Dunia sudah terlanjur mengenal bocah ini sebagai cucu si bungkuk. Maka itu, aku tidak boleh berpeluk tangan begitu saja. Kalau aku tidak bisa melindungi cucuku ini, tentu tidak akan ada lagi orang yang mau memanggilku kakek.”
Begitulah, Yu Canghai dan Mu Gaofeng sama-sama membagi kekuatan mereka. Sebelah tangan menarik tubuh Lin Pingzhi, sementara tangan yang lain saling menyerang, sambil mulut mereka bertanya jawab. Lama-lama pertarungan mereka semakin cepat. Tentu saja Lin Pingzhi yang paling menderita dibuatnya.

Mu Gaofeng dan Yu Canghai berebut Lin Pingzhi.
Yu Canghai bertambah gusar. Ia pun berseru, “Saudara Mu, bocah ini telah membunuh putra bungsuku. Mana mungkin aku bisa melupakan sakit hati ini dan tidak membalas dendam?”
Mu Gaofeng tertawa dan berkata, “Baik kalau begitu. Demi menjaga kehormatan Pendeta Yu, silakan kalau ingin membalas dendam. Mari kita bersama-sama menarik bocah ini sampai mampus! Satu... dua... tiga....” Usai berkata demikian, ia pun memperkuat tarikannya sehingga Lin Pingzhi semakin kesakitan. Beberapa tulang sendinya terasa hampir lepas.
Yu Canghai menjadi khawatir kalau pemuda itu sampai mati. Sebelum Kitab Pedang Penakluk Iblis ditemukan, ia tidak ingin membunuh Lin Pingzhi ataupun kedua orang tuanya; sedangkan urusan membalas dendam dapat ditunda lain waktu. Seketika ia pun mengendurkan pegangannya sehingga tubuh Lin Pingzhi sepenuhnya jatuh ke tangan si bungkuk.
“Terima kasih banyak,” ujar Mu Gaofeng sambil tertawa. “Pendeta Yu memang sahabat sejati. Demi si bungkuk sampai-sampai kau rela dendam kematian putramu tidak terbalas. Pendeta Yu benar-benar mengutamakan kesetiakawanan daripada urusan pribadi.”
Yu Canghai menjawab, “Terima kasih atas pujian Saudara Mu. Hanya kali ini saja aku bersedia mengalah. Lain kali, tidak ada kesempatan kedua bagimu.”
“Belum tentu,” sahut Mu Gaofeng. “Pendeta Yu seorang yang berbudi luhur dan murah hati. Tentu lain kali kau tetap mengalah kepadaku.”
Yu Canghai terlihat sangat kesal. Ia lantas memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk pergi meninggalkan Wisma Kumala.
Sementara itu, Biksuni Dingyi dan Liu Zhengfeng bersama murid-murid mereka sudah lebih dulu meninggalkan rumah pelacuran tersebut untuk mencari Yilin di tempat lain. Seketika suasana Wisma Kumala berubah sepi, seolah-olah hanya tinggal Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi berdua yang tertinggal di sana.
“Bungkuk palsu, kau ini sebenarnya berwajah tampan,” ujar Mu Gaofeng memulai pembicaraan. “Nak, kau tidak perlu memanggil kakek lagi kepadaku. Mulai saat ini kau panggil saja si bungkuk ini sebagai gurumu.”
Lin Pingzhi terlihat masih kesakitan akibat ditarik kedua orang sakti tadi. Diam-diam ia berpikir, “Ilmu silat si bungkuk ini sepuluh kali lipat di atas Ayah. Bahkan, Yu Canghai pun segan kepadanya. Jika aku ingin membalas dendam, maka jalan yang paling baik memang harus berguru kepadanya. Akan tetapi, sewaktu murid Qingcheng tadi menyerangku, ia sama sekali tidak berusaha untuk menolong. Baru setelah mendengar siapa diriku yang sebenarnya, ia pun turun tangan untuk membantu. Jelas orang ini punya maksud yang kurang baik.”
Melihat pemuda itu tampak ragu-ragu, Mu Gaofeng kembali membujuknya, “Kau sendiri telah mengetahui kehebatan ilmu silat dan nama besar Si Bungkuk dari Utara. Sampai saat ini aku belum pernah memiliki murid seorang pun. Jika kau bersedia menjadi muridku, maka semua kepandaianku akan kuturunkan kepadamu. Jangankan melawan murid-murid Qingcheng, bahkan Yu Canghai sendiri kelak dapat kau kalahkan dengan mudah. Nak, kenapa kau tidak segera berlutut dan menyembahku sebagai gurumu?”
Semakin orang itu membujuk, perasaan Lin Pingzhi semakin bertambah ragu. Diam-diam ia berpikir, “Jika orang bungkuk ini benar-benar peduli kepadaku dan ingin menjadikanku sebagai murid, mengapa tadi dia mencengkeram bahuku dan menarik keras-keras? Bahkan, ia juga mengajak Yu Canghai menarik tubuhku sampai mati. Setelah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya, Yu Canghai menginginkan diriku hidup-hidup. Jelas dia ingin mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dariku. Hm, dalam Serikat Pedang Lima Gunung banyak terdapat orang-orang sakti dan bijaksana. Bila ingin mendapatkan guru yang baik, seharusnya aku berguru kepada salah satu di antara mereka. Si bungkuk ini sangat kejam. Tidak peduli setinggi apapun ilmunya, aku tidak boleh berguru kepada orang jahat ini.”
Melihat Lin Pingzhi masih tetap ragu-ragu, Mu Gaofeng menjadi gusar. Namun demikian, bibirnya tetap menunjukkan senyum. “Bagaimana? Apakah kau menganggap kepandaian si bungkuk ini belum memenuhi syarat? Apa kau merasa diriku ini belum pantas menjadi gurumu?” seru Mu Gaofeng sambil tertawa.
Sekilas Lin Pingzhi sempat melihat wajah Mu Gaofeng yang bengis dan keji sebelum tersenyum. Seketika ia pun bergidik ngeri. Ia merasa sangat terdesak oleh manusia bungkuk tersebut. Kalau sampai menolak, bisa jadi Mu Gaofeng marah dan mebunuhnya. Maka, dengan terpaksa pemuda itu menjawab, “Kesediaan Pendekar Mu menerima saya sebagai murid merupakan keberuntungan yang sangat besar bagi saya. Akan tetapi, sejak kecil saya hanya belajar ilmu silat Keluarga Lin kami saja. Jika saya harus belajar ilmu perguruan lainnya, maka saya harus meminta izin kepada Ayah terlebih dulu. Cara seperti itu adalah suatu hal yang wajar dalam dunia persilatan.”
Mu Gaofeng manggut-manggut dan berkata, “Aturan seperti itu aku pun sudah tahu. Akan tetapi, permainanmu yang payah tadi belum bisa digolongkan sebagai ilmu silat. Pasti kepandaian ayahmu juga sangat terbatas. Kau sungguh beruntung hari ini tiba-tiba saja aku ingin menerima murid. Sebentar lagi mungkin aku sudah berubah pikiran. Jadi, sebelum terlambat segeralah menyembah dan memanggilku guru. Kelak aku sendiri yang akan minta izin kepada ayahmu. Sudah pasti ia tidak akan berani menolak.”
Lin Pingzhi yang semakin terdesak akhirnya berkata, “Pendekar Mu, saat ini ayah dan ibuku berada dalam cengkeraman orang-orang Qingcheng. Aku sungguh berharap Pendekar Mu sudi menolong mereka. Asalkan kedua orang tuaku selamat, apa pun yang Tuan Pendekar minta pasti akan kupenuhi.”
“Apa? Kurang ajar!” bentak Mu Gaofeng kehilangan kesabaran. “Kau berani main tawar-menawar denganku, hah? Dasar bocah ingusan! Berani sekali kau mengajukan syarat kepadaku. Memangnya kau anggap dirimu siapa?”
Sambil membentak demikian, Mu Gaofeng teringat bagaimana Yu Canghai tadi mengalah di depan murid-muridnya dan menunda balas dendam atas kematian putranya. Jelas ketua Perguruan Qingcheng tersebut menginginkan sesuatu yang sangat berharga dari tangan Lin Pingzhi. Tentu saja Mu Gaofeng pernah mendengar desas-desus di dunia persilatan bahwa Yu Canghai telah menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei demi untuk mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kitab itu benar-benar ada, Mu Gaofeng berpikir tentu dirinya yang akan mendapatkan benda pusaka tersebut apabila Lin Pingzhi bersedia menjadi muridnya.
Berpikir demikian, Mu Gaofeng mengulangi kembali perintahnya, “Segeralah kau berlutut menyembahku. Dengan tiga kali menyembah, kau akan langsung menjadi muridku. Tentu saja seorang guru akan ikut bertanggung jawab atas keselamatan orang tua muridnya. Apalagi yang kau risaukan?”
Lin Pingzhi kembali terkenang kepada penderitaan ayah dan ibunya. Ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu masih berada di tangan bajingan Yu Canghai. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan mereka. Asalkan dia bisa membebaskan Ayah dan Ibu, aku akan memberikan apapun yang ia minta. Meskipun orang bungkuk ini bukan manusia baik-baik, tapi kali ini aku terpaksa harus mengakuinya sebagai guru.”
Perlahan-lahan Lin Pingzhi pun berlutut untuk menyembah Mu Gaofeng. Khawatir jangan-jangan ia berubah pikiran, Mu Gaofeng pun menekan kepala pemuda itu ke bawah. Tidak tahunya, Lin Pingzhi seorang pemuda berhati keras. Semula ia berniat untuk menyembah dan memanggil guru kepada Mu Gaofeng. Akan tetapi, begitu tangan si bungkuk menekan tengkuknya, seketika ia berusaha menolak.
“Hei, lekas berlutut?” seru Mu Gaofeng gusar. Ia pun menambah tenaga untuk menekan lebih kuat.
Lin Pingzhi seorang pemuda angkuh. Bagaimanapun juga ia pernah menjadi seorang tuan muda yang setiap hari disanjung puji oleh orang-orang di sekitarnya. Kini, demi untuk menyelamatkan kedua orang tuanya, ia terpaksa merendahkan diri dengan berlutut dan menyembah seorang bungkuk berhati kejam. Akan tetapi, begitu Mu Gaofeng main paksa, seketika pemuda itu memberontak. Dengan suara keras ia berkata, “Jika kau berjanji akan menolong ayah dan ibuku, maka aku pun berjanji akan berguru kepadamu. Tapi untuk saat ini aku tidak mungkin menyembah kepadamu.”
“Apa katamu?” bentak Mu Gaofeng. “Baik, kita lihat saja. Aku ingin tahu apakah kau benar-benar tidak mungkin menyembah kepadaku?”
Setelah berkata demikian, si bungkuk menekan kepala Lin Pingzhi semakin keras. Lin Pingzhi berusaha bangkit berdiri namun kekuatan Mu Gaofeng sungguh luar biasa. Ia merasakan seolah ada batu besar seberat ribuan kilo menindih kepalanya.
Dengan kedua tangan mendorong tanah, Lin Pingzhi berusaha melawan tekanan Mu Gaofeng. Sebaliknya, Mu Gaofeng menambah kekuatan tangannya. Sambil tertawa ia berkata, “Menyembah atau tidak? Jika tenagaku kutambah lagi, tentu lehermu akan segera patah.”
Kepala Lin Pingzhi semakin mendekati tanah. Namun mulutnya tetap berteriak dengan susah payah, “Aku tidak mau... aku tidak mau....” Ia bahkan bisa mendengar suara tulang lehernya yang hampir patah.
“Coba lihat sampai di mana penolakanmu,” sahut Mu Gaofeng sambil menambah sedikit tenaga. Kepala Lin Pingzhi semakin terdorong ke bawah. Dahi pemuda itu kini hanya berjarak lima senti dari permukaan tanah.
Pada saat itulah tiba-tiba Lin Pingzhi merasa ada semacam hawa panas menjalar di punggungnya. Hawa tersebut merasuk ke dalam tubuhnya dengan lembut dan memberinya kekuatan baru. Entah mengapa, beban berat yang menindih kepalanya tidak terasa lagi. Dengan mudah ia mampu berdiri dan mendesak tekanan Mu Gaofeng.
Kejadian ini sangat membingungkan perasaan Lin Pingzhi. Sebaliknya, Mu Gaofeng sangat terkejut karena menyadari bahwa pemuda itu telah mendapat bantuan tenaga dalam yang mirip sekali dengan ilmu Kabut Lembayung Senja, milik Perguruan Huashan. Konon kabarnya, ilmu tenaga dalam tersebut terlihat samar-samar seperti kabut di angkasa, namun kekuatannya sangat dahsyat bagaikan badai yang menghancurkan.
Mu Gaofeng kembali berusaha menekan kepala Lin Pingzhi dengan tenaga yang lebih besar. Namun baru saja tangannya menyentuh kepala pemuda itu, dahi Lin Pingzhi serentak memancarkan tenaga yang menggetarkan. Seketika tangan Mu Gaofeng terasa kaku dan kesemutan, serta dadanya terasa sesak.
Dengan cepat Mu Gaofeng melangkah mundur dan berkata, “Rupanya Saudara Yue sedang bermain-main dengan si bungkuk ini. Untuk apa pula kau bersembunyi di pojok sana?”
Dari arah sudut bangunan Wisma Kumala, muncul seorang pria berpakaian sarjana dengan bibir tersenyum. Tangan kanannya tampak menggoyang-goyangkan kipas dengan gerakan anggun. Ia lantas menyapa, “Saudara Mu, sudah lama kita tidak bertemu tapi kau terlihat masih muda belia. Sungguh mengagumkan!”
Rupanya tebakan Mu Gaofeng tidak salah. Pria berpakaian sarjana itu memang benar bernama Yue Buqun, ketua Perguruan Huashan yang terkenal dengan julukan Si Pedang Budiman. Selamanya Mu Gaofeng sangat segan terhadap orang ini. Apalagi kini ia tertangkap basah sedang mendesak seorang anak muda yang berkepandaian rendah, jelas ini membuatnya serbasalah.
Namun demikian, si bungkuk berusaha menyembunyikan perasaannya dan membalas dengan ramah, “Saudara Yue, kau jangan bercanda. Justru kau ini yang terlihat semakin muda. Aku selalu berharap kau sudi menjadi guruku dan mengajarkan ilmu Santapan Yin Yang kepadaku.”
Yue Buqun menyahut, “Kau bungkuk gila! Sebagai kawan lama yang baru bertemu kembali, apa tidak ada bahan pembicaraan lain? Untuk apa aku mempelajari ilmu cabul seperti itu?”
Santapan Yin Yang adalah ilmu yang terdapat dalam kitab pengobatan kuna. Ilmu ini bertujuan untuk mendapatkan kesehatan dan awet muda dengan cara bersetubuh dengan banyak perempuan. Konon, energi yang dilepaskan oleh para perempuan dalam kegiatan tersebut diserap untuk memperkaya kesehatan si pelaku. Karena cara-cara demikian bertentangan dengan norma kesusilaan, ilmu ini dianggap masyarakat sebagai ilmu cabul.
Mu Gaofeng menjawab, “Tidak seorang pun yang percaya kalau kau tidak menguasai ilmu tersebut. Jika tidak, bagaimana mungkin kau terlihat seperti cucuku, padahal usiamu sudah lebih dari enam puluh tahun?”
Lin Pingzhi sendiri sudah melompat mundur sewaktu Mu Gaofeng melepaskan cengkeramannya. Begitu menoleh ke arah Yue Buqun, ia langsung terpesona melihat wibawa ketua Perguruan Huashan tersebut. Wajahnya terlihat bersih tanpa kerutan sedikit pun, dengan janggut tertata rapi di dagunya. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Bangsat bungkuk itu memanggilnya dengan sebutan ‘Saudara Yue’. Mungkinkah laki-laki yang berwibawa seperti dewa itu bernama Tuan Yue, ketua Perguruan Huashan yang terkenal? Aih, apa benar usianya sudah lebih dari enam puluh tahun? Padahal, sepertinya ia baru berusia empat puluh. Lao Denuo adalah murid orang ini, tapi dia terlihat jauh lebih tua.” Namun kemudian ia teringat ibunya pernah bercerita bahwa kaum persilatan yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi konon tidak hanya berumur panjang, tapi juga awet muda. Dalam hati Lin Pingzhi semakin bertambah kagum.

Yue Buqun si Pedang Budiman.
Yue Buqun tersenyum sopan dan berkata, “Saudara Mu, pemuda ini seorang anak yang berbakti. Ia juga pemberani dan berjiwa kesatria. Bakat seperti ini sulit dicari, sehingga tidak heran kalau Saudara Mu suka kepadanya. Perlu diketahui, semua kemalangan yang menimpa dirinya disebabkan oleh keberaniannya menolong Lingshan, putriku. Melihat dia menemui kesulitan, mau tidak mau aku harus segera turun tangan. Dengan memandang diriku, aku harap Saudara Mu sudi menaruh belas kasihan kepadanya.”
“Apa katamu?” sahut Mu Gaofeng terheran-heran. “Bocah ini berilmu rendah, mana mungkin ia menjadi pahlawan penolong putrimu? Ah, mungkin ceritanya harus dibalik. Mungkin yang benar, melihat bocah tampan ini, maka Keponakan Lingshan telah....”
Menyadari si bungkuk suka berkata kotor, Yue Buqun buru-buru menukas, “Sesama kaum persilatan wajar jika saling memberikan pertolongan. Menolong tidak harus dengan tenaga ataupun kekuatan. Membantu dengan ucapan juga termasuk pertolongan. Tentu saja untuk menolong orang lain tidak perlu harus berilmu tinggi. Saudara Mu, kalau kau bersikeras ingin mengambil pemuda ini sebagai murid, memang yang paling baik adalah kau harus membiarkan dia meminta persetujuan lebih dulu dari orang tuanya. Dengan demikian kedua pihak sama-sama tidak merasa dirugikan.”
Mu Gaofeng merasa bimbang melihat Yue Buqun sudah mulai mencampuri urusannya. Ia pun menjawab, “Tadinya aku memang sangat tertarik untuk menjadikan bocah ini sebagai murid. Namun kini, aku sudah tidak berhasrat lagi. Walaupun bocah ini menyembah kepadaku seribu kali, aku tetap tidak sudi menerimanya.”
Setelah berkata demikian tiba-tiba orang bungkuk itu menendang tubuh Lin Pingzhi hingga terpental sejauh beberapa meter. Tendangan ini begitu cepat dan kuat, bahkan Yue Buqun tidak sempat menghalanginya. Untungnya, Lin Pingzhi mampu bangkit kembali setelah menerima tendangan itu. Penderitaan yang bertubi-tubi telah membuat fisik dan mental pemuda ini bertambah kuat.
Yue Buqun berkata, “Saudara Mu, sebenarnya bukan aku yang bertambah muda, tetapi dirimu sendiri. Sesuatu yang tidak dapat kau miliki lantas kau buang begitu saja. Sifatmu ini benar-benar seperti anak kecil.”
Mu Gaofeng tertawa dan menjawab, “Jangan khawatir, Saudara Yue. Bagaimanapun besarnya nyaliku tetap saja tidak mungkin berani menentangmu. Sudahlah, aku pergi saja. Tidak kusangka, Perguruan Huashan yang mulia juga menaruh perhatian terhadap Kitab Pedang Penakluk Iblis.”
“Apa maksudmu?” sahut Yue Buqun sambil melompat maju. Wajahnya tampak memancarkan sinar berwarna keunguan.
Melihat itu Mu Gaofeng berpikir, “Tidak salah lagi, ini adalah ilmu Kabut Lembayung Senja. Hm, si tua Yue telah berhasil menguasainya. Kini ia tidak hanya mahir dalam ilmu pedang, tapi juga memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Sungguh bijaksana kalau aku tidak bermain-main dengannya.”
Meskipun hatinya gentar namun Mu Gaofeng tetap terlihat tenang. Sambil menyeringai ia menjawab, “Entahlah, aku sendiri tidak tahu benda seperti apa Kitab Pedang penakluk Iblis itu. Yang aku tahu, Yu Canghai tampak sangat menginginkannya. Harap Saudara Yue jangan tersinggung atas ucapanku yang lancang tadi. Selamat tinggal!”
Usai berkata demikian, Mu Gaofeng melesat pergi ditelan kegelapan malam.
Yue Buqun menghela napas dan berkata lirih, “Sayang sekali, tokoh berbakat seperti dia malah berkelakuan....” Sambil menelan kata “tidak baik” ketua Huashan ini tampak menggelengkan kepala.
Tiba-tiba Lin Pingzhi berlari maju untuk kemudian berlutut di hadapan Yue Buqun. Berkali-kali ia menyembah sambil berkata, “Mohon Guru sudi menerima saya sebagai murid. Saya siap untuk mematuhi dan melaksanakan semua tata tertib perguruan. Sedikit pun saya tidak akan berani membantah perintah Guru.”
Yue Buqun tertawa dan menjawab, “Jika aku menerima dirimu, tentu kelak aku akan diolok-olok si bungkuk, bahwa aku telah berebut murid dengannya.”
Lin Pingzhi menyahut, “Begitu melihat Guru, saya langsung merasa kagum. Keinginan ini lahir dari lubuk hati saya yang paling dalam. Sama sekali tidak ada unsur keterpaksaan.”
Yue Buqun menukas, “Menerima dirimu sebagai murid bukan masalah sulit. Hanya saja, kau belum memberi tahu ayah dan ibumu. Jangan-jangan mereka tidak mengizinkanmu.”
“Asalkan Guru menerima saya, tentu Ayah dan Ibu ikut merasa senang. Saya berani menjamin mereka berdua pasti mengizinkan. Kedua orang tua saya ada di tangan para penjahat Qingcheng. Hanya Guru yang dapat membebaskan mereka,” ujar Lin Pingzhi sambil terus memohon.
“Baiklah, lekas bangun!” jawab Yue Buqun. “Kalian semua, lekas keluar dari persembunyian!”
Beberapa orang pun bermunculan dari balik tembok. Mereka tidak lain adalah murid-murid Huashan, yaitu Lao Denuo, Liang Fa, dan sebagainya. Kesemuanya sejak tadi diperintahkan untuk bersembunyi dan hanya boleh keluar jika Mu Gaofeng sudah pergi. Bagaimanapun juga, Yue Buqun tidak ingin mempermalukan Si Bungkuk dari Utara di hadapan banyak orang.
Lao Denuo dan adik-adik seperguruannya berkata dengan nada gembira, “Kami mengucapkan selamat, Guru baru saja menerima seorang murid yang gagah berani. Sudah pasti dia akan memiliki masa depan yang cerah.”
Yue Buqun tersenyum dan berkata, “Pingzhi, mereka ini adalah kakak-kakak seperguruanmu. Tentu sebelum ini kau pernah melihat mereka. Nah, sekarang kalian bisa berkenalan secara resmi.”
Lin Pingzhi pun memberi hormat kepada murid-murid Huashan itu satu per satu. Mereka adalah Lao Denuo, murid nomor dua yang berambut putih; Liang Fa, murid nomor tiga yang bertubuh tinggi besar; Shi Daizi, murid nomor empat yang berdandan seperti kuli; Gao Genming, murid nomor lima yang suka membawa sempoa; serta Lu Dayou, murid nomor enam yang membawa seekor kera kecil. Selain itu ada pula murid ketujuh bernama Tao Jun dan murid kedelapan bernama Ying Bailuo.
Tiba-tiba Lin Pingzhi mendengar suara merdu seorang perempuan yang tidak asing baginya. Perempuan itu berdiri di belakang Yue Buqun dan berkata, “Ayah, kalau aku ini termasuk kakak atau adik?”
Sejenak Lin Pingzhi terperanjat. Ia sama sekali tidak pernah lupa kalau itu adalah suara Lingshan, si gadis burik yang dulu menyamar sebagai penjual arak bernama Wan’er. Dengan malu-malu gadis itu memandang ke arah Lin Pingzhi namun sekejap kemudian langsung berlindung kembali di balik punggung sang ayah.
Melihat wajah gadis itu, Lin Pingzhi terkejut dan berpikir, “Tadinya dia berwajah burik penuh benjolan seperti bekas penyakit cacar. Tapi kenapa sekarang dia terlihat begitu cantik?”
Di bawah cahaya rembulan, Lin Pingzhi memang tidak bisa melihat dengan jelas wajah Yue Lingshan, namun ia yakin gadis ini sangat cantik tidak seperti pertemuan sebelumnya. Pemuda itu kembali berpikir, “Aku ingat sekarang, bahwa Biksuni Dingyi pernah bertanya mengapa gadis ini menyamar dengan wajah burik. Ternyata seperti ini wajahnya yang asli.”
Terdengar Yue Buqun menjawab pertanyaan putrinya, “Meskipun ketujuh kakak seperguruanmu ini bergabung dengan Huashan sesudah dirimu, namun mereka memanggilmu ‘Adik Kecil’. Khusus untuk dirimu memang tidak dipanggil sesuai urutan masuk perguruan, melainkan berdasarkan usia. Sepertinya sudah nasibmu dipanggil ‘Adik Kecil’ sekali lagi, karena usia Pingzhi sedikit di atasmu.”
“Tidak bisa, tidak bisa!” sahut Yue Lingshan. “Dia harus memanggilku ‘kakak’. Mulai sekarang kalau Ayah menerima murid baru, entah seratus orang, entah dua ratus orang, semua harus memanggil ‘kakak’ kepadaku.”
Sambil tertawa kecil, Yue Lingshan muncul dari balik punggung sang ayah. Kini Lin Pingzhi dapat melihat dengan jelas betapa putri Yue Buqun itu memang sangat cantik dengan wajah bulat telur serta sepasang mata yang indah cemerlang.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi membungkuk dan berkata, “Kakak Yue, atas belas kasihan Guru, aku dapat diterima sebagai murid Perguruan Huashan. Siapa yang masuk perguruan lebih dulu berhak dipanggil kakak. Tentu saja dalam hal ini aku terhitung adik seperguruanmu.”
Yue Lingshan terlihat senang dan berkata kepada ayahnya, “Ayah dengar sendiri, bukan? Dia memanggilku sebagai kakak secara sukarela. Aku sama sekali tidak memaksanya.”
Yue Buqun menjawab, “Dia baru masuk perguruan sudah kau takut-takuti dengan kata ‘paksa’. Jangan-jangan dia berpikir kalau semua muridku suka main paksa. Mengerikan!”
Maka tertawalah murid-murid Huashan lainnya.

Wajah asli Yue Lingshan putri Yue Buqun.
(Bersambung)

bagian 14 ; halaman muka ; bagian 16