Bagian 44 - Tabib Sakti Pembunuh

Persiapan keberangkatan rombongan Yue Buqun.

Esok paginya Yue Buqun beserta rombongan Huashan mohon diri kepada Wang Yuanba dan kedua putranya untuk berangkat dengan menumpang kapal melalui Sungai Luo. Wang Yuanba besarta anak-cucunya mengantar sampai ke dermaga di tepi sungai. Para pembantu juga terlihat mengangkut perbekalan berupa uang perak dan menumpuknya di atas kapal sedemikian rupa. Di atas dermaga, Keluarga Wang juga menggelar acara sarapan pagi sebagai jamuan perpisahan untuk melepas rombongan tersebut.

Hanya Linghu Chong yang terlihat menyendiri. Sejak kejadian Wang Jiajun dan Wang Jiaju mematahkan lengannya, ia tidak berbicara sepatah kata pun terhadap anggota Keluarga Wang. Dalam acara perjamuan tersebut ia memilih memisahkan diri dan memandang orang-orang Keluarga Wang dengan tatapan kosong seolah mereka tidak ada.

Yue Buqun sendiri merasa pusing dengan ulah murid pertamanya itu. Ia paham benar bagaimana sifat Linghu Chong yang bandel. Ia bisa saja memaksa Linghu Chong memberi hormat kepada Keluarga Wang sebelum berpisah, dan Linghu Chong pasti melakukannya. Akan tetapi, penghormatan itu kemungkinan besar akan disusul dengan keributan dan permasalahan baru yang diciptakan Linghu Chong. Oleh sebab itu, Yue Buqun memilih untuk mengucapkan terima kasih kepada Wang Yuanba berkali-kali atas segala kebaikan sang tuan rumah selama ini supaya orang tua itu tidak terlalu menghiraukan wajah masam Linghu Chong.

Saat itu Linghu Chong sedang mengamati tumpukan hadiah di atas kapal yang sebagian besar ditujukan untuk Yue Lingshan. Satu demi satu para perempuan pelayan Keluarga Wang naik ke atas kapal untuk mengantarkan hadiah-hadiah tersebut sampai ke hadapan sang adik kecil.

“Ini ada sedikit kue dan makanan untuk Nona Yue dari Nenek Wang.”

“Ini ada sedikit pakaian dari Nyonya Wang pertama, dan sedikit perhiasan dari Nyonya Wang kedua.”

Segala pemberian dari istri Wang Yuanba, istri Wang Bofen, dan istri Wang Zhongqiang tersebut menunjukkan kalau Yue Lingshan telah dianggap menjadi anggota Keluarga Golok Emas Wang sendiri.

Yue Lingshan pun menjawab sambil bersorak dan tersenyum lebar, “Wah, aku tidak mungkin bisa menghabiskan makanan sebanyak ini! Pakaian dan perhiasan ini juga terlalu banyak untukku. Terima kasih, terima kasih.”

Di tengah kesibukan itu tiba-tiba seorang tua berpakaian kumal naik ke atas kapal dan berseru, “Tuan Muda Linghu!”

Begitu melihat kalau orang tua itu adalah Lu Zhuweng, Linghu Chong pun terkejut bercampur gembira. Buru-buru pemuda itu melangkah maju untuk menyambut kedatangan orang tua tersebut.

“Bibi menyuruhku untuk menyerahkan hadiah kecil ini kepadamu,” kata Lu Zhuweng sambil menyodorkan sebuah benda panjang yang dibungkus kain berwarna biru dengan sulaman bunga.

Linghu Chong membungkuk dan menerima bungkusan itu dengan penuh hormat.

“Atas hadiah yang berharga ini saya mengucapkan banyak terima kasih. Mohon disampaikan kepada Nenek!” Sambil berkata demikian, ia kembali membungkuk dengan penuh hormat.

Wang Jiajun dan Wang Jiaju menyaksikan pemandangan tersebut dengan saksama. Sikap Linghu Chong yang acuh tak acuh terhadap semua anggota Keluarga Golok Emas Wang tetapi sangat menghormati seorang tua berpakaian kumal, membuat kedua bersaudara itu merasa gusar. Andai saja bukan karena memandang Yue Buqun suami-istri dan segenap murid Huashan lainnya, pasti keduanya sudah menyeret Linghu Chong dan memberinya pelajaran demi mengobati sakit hati mereka.

Begitu melihat Lu Zhuweng melangkah di atas papan titian untuk turun kembali ke daratan, kedua bersaudara itu saling pandang dan rencana jahat pun terbesit di benak mereka. Keduanya sengaja menunggu di bawah papan titian untuk kemudian mendesak Lu Zhuweng menggunakan bahu mereka. Mereka yakin kakek tua itu pasti jatuh tercebur ke dalam sungai dengan sedikit saja tenaga mereka. Meskipun air sungai pada dermaga tersebut dangkal, namun itu sudah cukup untuk membuat Linghu Chong kehilangan muka.

Menyadari apa yang akan terjadi, dengan cepat Linghu Chong berseru, “Hei, awas!”

Hampir saja ia melangkah maju untuk menerjang ke arah Wang Jiajun dan Wang Jiaju namun segera teringat kalau dirinya sudah tidak memiliki tenaga dalam sama sekali. Bukannya menolong Lu Zhuweng, tapi mungkin ia sendiri yang akan kesakitan jika memaksakan diri. Andaikan bisa menerjang, tetap saja sia-sia karena kedua bersaudara itu sudah lebih dulu mendorong Lu Zhuweng dengan bahu mereka.

Sementara itu Wang Yuanba juga berteriak, “Jangan!”

Sebagai tokoh kaya dan terpandang di kota Luoyang, jelas ia berbeda pikiran dengan kedua cucunya yang masih hijau dan mudah panas itu. Jika si orang tua sampai mati karena ulah kedua cucunya, tentu pihak yang berwajib akan melakukan penyelidikan mendalam dan ini pasti menghabiskan banyak biaya dan menjadi masalah tak berujung bagi Keluarga Wang. Namun saat itu Wang Yuanba sedang bercakap-cakap dengan Yue Buqun di atas kapal sehingga teriakannya untuk menghentikan Wang Jiajun dan Wang Jiaju sudah terlambat.

Kedua bersaudara itu sudah terlanjur mendorong Lu Zhuweng dengan bahu mereka. Namun anehnya, yang terlempar ke udara justru kedua pemuda itu sendiri. Masing-masing dari mereka jatuh tercebur di kiri dan kanan papan titian. Lu Zhuweng terlihat seperti kantung udara yang mampu mendorong balik Wang Jiajun dan Wang Jiaju yang berusaha mendesaknya. Orang tua itu terlihat tetap berjalan tenang di atas papan titian dan akhirnya sampai di daratan dengan selamat. Sikapnya acuh tak acuh seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Keadaan menjadi kacau. Beberapa awak kapal segera terjun ke sungai untuk menyeret Wang Jiajun dan Wang Jiaju naik ke atas. Saat itu baru permulaan musim semi. Hanya sebagian salju di sungai yang mencair sehingga air pun terasa sangat dingin. Apalagi kedua anak muda itu tidak bisa berenang dan sudah telanjur minum air sungai sampai beberapa teguk. Tampak mereka menggigil kedinginan dengan wajah merah padam menahan malu luar biasa.

Wang Yuanba yang sangat terkejut buru-buru memeriksa keadaan kedua cucunya. Ia pun tertegun karena lengan kedua cucunya itu terkilir dan semua tulang lengan mereka terlepas dari sendi di bagian bahu, sama seperti apa yang dialami Linghu Chong tempo hari. Wang Jiajun dan Wang Jiaju hanya bisa memaki-maki dengan kata-kata kotor sambil menyeringai kesakitan.

Melihat nasib kedua putranya, Wang Zhongqiang segera melompat dari kapal ke dermaga untuk menghadang di jalur yang akan dilewati Lu Zhuweng. Namun Lu Zhuweng tetap saja berjalan ke depan dengan langkah tenang dan kepala menunduk.

“Orang sakti dari mana ini berani coba-coba pamer kepandaian di Luoyang? Apa kau datang kemari hanya untuk mencari masalah dengan Keluarga Wang?” bentak Wang Zhongqiang.

Tapi Lu Zhuweng tetap saja berjalan ke depan seolah tidak mendengar bentakan itu. Selangkah demi selangkah ia semakin mendekati tempat Wang Zhongqiang berdiri. Setiap orang dapat melihat jarak antara mereka berdua semakin dekat.

Begitu jarak antara keduanya tinggal selangkah, Wang Zhongqiang segera mengulurkan kedua tangan untuk mencengkeram bahu Lu Zhuweng sambil berteriak, “Cukup sudah!”

Namun baru saja jarinya hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba badannya yang tinggi besar itu terlempar ke udara sampai beberapa meter jauhnya. Di tengah teriakan banyak orang, Wang Zhongqiang sempat berputar satu kali di udara, kemudian mendarat dengan kedua kakinya di atas tanah.

Pada umumnya, apabila dua orang saling berbenturan dengan kecepatan tinggi, bisa jadi salah satu dari mereka akan terlempar ke udara. Namun kejadian kali ini sungguh berbeda. Wang Zhongqiang yang berdiri tegak dengan tubuh tinggi besar tiba-tiba saja terlempar ke udara saat ditabrak Lu Zhuweng yang bertubuh kurus dan berjalan dengan langkah perlahan. Bahkan ahli silat papan atas seperti Wang Yuanba dan Yue Buqun sempat terheran-heran menyaksikan kejadian ini.

Sementara itu orang-orang yang tidak paham ilmu silat tampak bertepuk tangan dan bersorak memuji Wang Zhongqiang yang dapat mendarat dengan sempurna setelah berputar satu kali di udara. Mereka mengira Wang Zhongqiang telah menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk melakukan pendaratan.

Wang Yuanba masih tertegun menyadari kemampuan Lu Zhuweng melepas tulang lengan kedua cucunya dengan sangat mudah dan dalam waktu sekejap pula. Memang ia sendiri bisa mematahkan lengan musuh dalam waktu singkat, namun tidak bisa seperti apa yang dilakukan si orang tua kumal itu yang melakukannya dengan cara sangat halus seolah tanpa tenaga. Kini begitu melihat orang tua itu melemparkan Wang Zhongqiang ke udara, perasaannya sama sekali tidak terkejut tetapi berubah menjadi takut dan ngeri. Bagaimana tidak? Ia mengetahui dengan baik kehebatan putra keduanya itu yang tidak hanya mahir dalam memainkan golok cepat ataupun golok lambat, namun juga mahir dalam pertarungan tangan kosong. Tenaga dalam Wang Zhongqiang juga terbilang cukup tinggi, bahkan hampir setara dengan tingkatan yang ia capai pada usia matang. Namun anehnya, hanya dalam satu jurus saja putranya yang bertubuh tinggi besar itu sudah terlempar ke udara menghadapi si orang tua kumal. Sungguh pemandangan yang jarang terjadi.

Melihat putranya bersiap untuk menyerang kembali, Wang Yuanba segera mencegah dengan memanggilnya, “Zhongqiang, kemari!”

Wang Zhongqiang memutar tubuh dan melompat ke papan dermaga dengan enteng. “Tua bangka itu kemungkinan besar bisa ilmu sihir!” katanya sambil meludah kesal.

“Bagaimana keadaanmu? Tidak terluka?” tanya Wang Yuanba dengan suara berbisik.

Wang Zhongqiang menggeleng. Wang Yuanba sengaja tidak mempersoalkan masalah ini lebih lanjut. Ia menyadari kalau kemampuannya masih berada di bawah si orang tua kumal. Andaikan ia meminta bantuan Yue Buqun untuk maju bersama mengeroyok lawan, tentu kemenangan seperti ini bukan kemenangan yang gemilang. Maka jalan keluar terbaik adalah menahan diri dan menganggap kejadian itu tidak pernah ada. Si orang tua kumal telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan tidak melukai Wang Zhongqiang, bahkan melemparkan tubuh putranya itu sedemikian rupa sehingga bisa mendarat dengan baik sehingga Keluarga Wang tidak sampai kehilangan muka.

Wang Yuanba melihat si orang tua kumal sudah pergi semakin jauh. Ia pun berpikir, “Kakek itu jelas-jelas kawan Linghu Chong. Karena kedua cucuku telah mematahkan lengan Linghu Chong, kini ia membalas dengan mematahkan lengan kedua cucuku. Selama ini aku menjadi pemuka dunia persilatan di kota Luoyang ini. Mungkinkah pada hari tua aku harus dipermalukan habis-habisan seperti ini?”

Sementara itu Wang Bofen sudah memperbaiki lengan kedua keponakannya yang terkilir tadi sehingga kembali ke ruasnya. Kedua anak muda yang basah kuyup itu kemudian diantar pulang lebih dulu dengan menggunakan tandu.

“Adik Yue, siapa sebenarnya orang tua tadi?” tanya Wang Yuanba kepada Yue Buqun. “Sepertinya mataku yang tua ini sudah mulai kabur sehingga tidak mengenali orang sakti seperti dia.”

Yue Buqun pun berpaling ke arah Linghu Chong dan bertanya, “Chong’er, siapa dia?”

“Dia itulah yang bernama Lu Zhuweng, tukang bambu dari timur kota,” jawab Linghu Chong.

Wang Yuanba dan Yue Buqun bersama mengeluarkan suara, “Oooh!”

Bisa dimaklumi, meskipun tempo hari mereka datang bersama rombongan ke hutan bambu di timur kota, namun hanya Jurutulis Yi yang masuk ke dalam untuk menemui Lu Zhuweng. Saat itu mereka sama sekali tidak mengetahui seperti apa wajah Lu Zhuweng, melainkan hanya mendengar suaranya saja. Itulah sebabnya mereka tidak tahu menahu dengan siapa Wang Zhongqiang tadi berhadapan.

“Barang apa yang ia berikan padamu?” tanya Yue Buqun sambil menunjuk bungkusan panjang tadi.

“Saya sendiri belum tahu,” jawab Linghu Chong sambil membuka bungkusan itu. Maka terlihatlah isi di dalamnya ternyata sebuah kecapi berukuran agak kecil. Kecapi tersebut terlihat sudah berusia tua dan lama tidak terpakai, namun berkesan antik. Pada ujung kecapi terdapat tulisan kuna berbunyi: “Yan Yu”. Selain itu ada pula sebuah kitab kecil yang pada sampulnya bertuliskan “Lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin”. Seketika Linghu Chong terharu dan merasa bersyukur. Matanya pun berkaca-kaca karena sangat gembira.

“Ada apa?” tanya Yue Buqun sambil memandang tajam.

“Nenek itu selain memberikan sebuah kecapi padaku, juga menyertakan sebuah kitab notasi lagunya pula,” jawab Linghu Chong.

Ia kemudian membalik-balik isi buku kecil itu. Pada setiap halaman berisi tulisan yang sangat indah dengan huruf kecil tersusun rapi. Isinya tidak hanya notasi musik kecapi, tetapi juga pelajaran yang disertai petunjuk-petunjuk yang sangat jelas. Pelajaran tersebut juga berlaku umum untuk memainkan kecapi dan tidak terbatas pada lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin saja. Dari tinta tulisan dan kertasnya yang masih baru jelas menunjukkan kalau kitab tersebut baru saja selesai ditulis oleh si nenek. Terkenang pada kebaikan dan perhatian wanita tua itu, Linghu Chong sangat terharu dan air matanya pun berlinang di pipi.

Wang Yuanba dan Yue Buqun sempat melihat lembaran kitab di tangan Linghu Chong tersebut yang penuh dengan simbol-simbol musik dan tulisan aneh. Sekilas mereka teringat pada kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan tempo hari. Meskipun hati mereka masih diliputi rasa curiga, namun mereka yakin kalau itu hanyalah kitab musik biasa sehingga tidak bertanya lebih lanjut kepada Linghu Chong.

Yue Buqun kemudian berkata, “Pendekar sejati tidak pernah memperlihatkan kehebatannya kecuali terpaksa. Siapa sangka Lu Zhuweng si tukang bambu adalah ahli silat papan atas di dunia persilatan? Chong’er, apakah kau tahu dari perguruan mana dia berasal?” Pertanyaan yang ia lontarkan ini disebabkan karena hatinya agak penasaran. Namun demikian, ia yakin kalau Linghu Chong tidak akan berterus terang meskipun tahu dari mana asal usul orang tua itu.

Linghu Chong pun menjawab, “Saya tidak tahu menahu kalau dia juga seorang ahli silat. Saya hanya belajar memetik kecapi darinya.” Sebuah jawaban yang sesuai dengan tebakan Yue Buqun.

Begitulah, Yue Buqun dan Ning Zhongze lantas memberi hormat sebagai tanda perpisahan kepada Wang Yuanba dan kedua putranya. Setelah jangkar diangkat, kapal yang ditumpangi rombongan Perguruan Huashan itu pun berlayar menuju arah utara.

Di atas kapal para murid ramai membicarakan peristiwa tadi. Sebagian memuji-muji kehebatan Lu Zhuweng, dan sebagian lagi mengatakan kalau peristiwa terceburnya Wang Jiajun dan Wang Jiaju hanyalah karena mereka kurang hati-hati, serta kekalahan Wang Zhongqiang juga karena ia tidak menyerang dengan kekuatan penuh. Hanya Linghu Chong seorang diri yang duduk di buritan dan tidak menghiraukan percakapan mereka. Ia asyik membaca kitab berisi notasi kecapi tadi. Karena khawatir mengganggu guru dan ibu-guru, ia tidak berani membunyikan kecapinya sama sekali, melainkan hanya mengira-ngira posisi jari saat memetik.

Setelah melewati jarak cukup jauh, kapal pun menambah kecepatannya. Ning Zhongze tampak berdiri di ujung kapal menikmati hembusan angin. Meskipun pemandangan yang terhampar cukup indah, namun pikiran wanita itu melayang-layang teringat pada peristiwa tadi.

Tiba-tiba terdengar suara Yue Buqun menyapa dari belakang, “Adik, bagaimana pendapatmu tentang orang tua bernama Lu Zhuweng tadi?”

Karena Ning Zhongze ingin sekali menanyakan tentang hal itu, maka ia bukannya menjawab justru balik bertanya, “Kau sendiri bagaimana?”

Yue Buqun menjawab, “Ilmu silat orang tua tadi sungguh aneh. Tanpa menggerakkan tangan dan kaki ia sudah mampu melemparkan ketiga anggota Keluarga Wang. Ilmu silat yang ia gunakan sepertinya bukan berasal dari aliran lurus.”

“Tapi dia begitu baik kepada Chong’er, juga tidak sengaja hendak mencari masalah dengan keluarga Wang,” ujar sang istri.

“Benar. Semoga urusan ini selesai sampai di sini saja. Kalau tidak, bisa-bisa kehormatan Tuan Wang yang sudah ia bangun selama ini akan berakhir dengan buruk,” kata Yue Buqun. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Meskipun kita melanjutkan perjalanan melalui jalur air, namun kita harus tetap waspada.”

“Apakah kau bermaksud akan ada orang yang mencari perkara dengan kita?” tanya Ning Zhongze.

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Keadaan masih belum begitu jelas. Sampai saat ini kita masih belum mengetahui siapa dan dari mana kelima belas musuh bercadar tempo hari itu. Kita berada di tempat terang, musuh ada di tempat gelap. Mengingat kejadian itu, mungkin akan ada rintangan lain yang menunggu perjalanan kita.”

Sejak menjabat sebagai ketua Perguruan Huashan, Yue Buqun belum pernah mengalami kejadian yang begitu mencemaskan seperti ini. Entah mengapa, dalam beberapa bulan terakhir ini ia banyak sekali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang sepertinya datang dan pergi satu per satu. Sampai sekarang pun ia belum tahu siapa musuh yang telah menyerangnya, dan juga apa yang mereka inginkan. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas, hal ini membuat hatinya diliputi perasaan gelisah.

Yue Buqun dan Ning Zhongze kemudian mengingatkan para murid untuk selalu waspada siang dan malam. Namun begitu kapal sampai di perairan dekat desa Zigong, ternyata tidak ada satu kesulitan pun yang mereka temui. Semakin jauh kapal meninggalkan kota Luoyang, semakin berkurang pula beban kegelisahan di hati mereka.

Hari itu kapal sudah memasuki perairan dekat kota Kaifeng. Yue Buqun suami-istri dan para murid langsung membicarakan tokoh-tokoh persilatan di kota itu.

Yue Buqun berkata, “Kaifeng adalah kota yang besar dan ramai, tetapi tidak dengan kehidupan persilatan di kota ini. Para pendekar seperti Pengawal Hua, Sesepuh Hai, serta Tiga Jagoan dari Henan, sepertinya tidak memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, juga tidak memiliki nama besar di dunia persilatan. Lebih baik kita mengunjungi tempat-tempat indah dan situs-situs bersejarah saja. Kunjungan kita di kota ini sebaiknya jangan sampai mengganggu siapa pun.”

Ning Zhongze menyahut, “Kakak, apakah kau lupa ada seorang tokoh ternama di kota Kaifeng sini?”

“Tokoh ternama? Siapa … siapa yang kau maksudkan?” tanya Yue Buqun.

“Mengobati satu orang, bunuh satu orang. Membunuh satu orang, mengobati satu orang. Coba tebak, siapa dia itu?” ucap Nyonya Yue memberi tebakan.

“Aha, dia adalah Si Tabib Sakti Pembunuh alias Ping Yizhi!” jawab Yue Buqun sambil tersenyum. “Tapi dia seorang yang berkelakuan aneh. Kemungkinan besar dia tidak mau menemui kita apabila kita berkunjung kepadanya.”

“Benar juga,” sahut Ning Zhongze. “Sebenarnya kita bisa meminta tolong kepadanya untuk memeriksa luka Chong’er yang sampai sekarang belum pulih dan kita katakan kalau kita kebetulan singgah di kota Kaifeng ini.”

Yue Lingshan menukas, “Ibu, mengapa dia mempunyai julukan Si Tabib Sakti Pembunuh? Mengapa seorang pembunuh bisa menjadi tabib terkenal?”

“Tabib Ping memang seorang tokoh ajaib di dunia persilatan,” tutur Nyonya Yue. “Ilmu pengobatannya bisa dikatakan mahasakti, bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah sekarat. Betapapun berat penyakit seseorang asalkan ia mau mengobati pasti akan sembuh kembali. Hanya saja ia mempunyai suatu peraturan yang aneh. Ia bilang hidup manusia di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir. Menurutnya, kaisar langit dan raja akhirat sudah menetapkan jumlah manusia yang hidup di muka bumi. Bila dia terlalu banyak menyembuhkan orang maka jumlah orang mati akan berkurang. Tentu akibatnya di dunia ini akan terlalu banyak orang yang hidup dan sedikit orang mati. Kelak jika ia sendiri yang mati tentu sang raja akhirat akan meminta pertanggungjawabannya….”

Sampai di sini para murid pun tertawa geli. Ning Zhongze melanjutkan, “Oleh sebab itu ia mengadakan suatu peraturan, setiap kali menyembuhkan satu orang, maka dia juga harus membunuh satu orang lain sebagai gantinya. Sebaliknya, kalau dia membunuh satu orang tentu dia akan mengobati seorang sakit sebagai gantinya. Konon ia memasang tulisan besar di depan rumahnya yang berbunyi: ‘Mengobati satu, membunuh satu; membunuh satu, mengobati satu; mengobati sejumlah membunuh; itulah keahllianku.’ Menurutnya, dengan cara demikian kaisar langit tidak akan menyalahkan perbuatannya, juga raja akhirat tidak akan merasa rugi.”

Murid-murid pun tertawa bersama dan lebih keras.

Yue Lingshan berkata, “Tabib Ping itu benar-benar lucu. Tapi mengapa namanya sungguh aneh? Yizhi artinya ‘satu jari’? Apakah dia memang hanya memiliki sebuah jari saja?”

“Tidak. Sepertinya Tabib Ping juga memiliki tangan yang normal,” jawab Ning Zhongze yang kemudian berpaling pada sang suami. “Kakak, apakah kau tahu mengapa Tabib Ping memakai nama Yizhi?”

Yue Buqun menjawab, “Tabib Ping memiliki sepuluh jari tangan seperti orang normal. Dia memakai nama Yizhi, maksudnya ialah dalam membunuh orang cukup dengan satu kali totok saja, serta untuk memeriksa nadi orang yang akan disembuhkan cukup dengan memakai satu jari pula.”

“Oh, kiranya demikian,” kata Ning Zhongze. “Jika begitu, ilmu totokannya pasti sangat lihai?”

“Aku tidak tahu. Jarang sekali ada orang yang pernah bertarung melawan Tabib Ping,” jawab Yue Buqun. “Yang jelas setiap orang persilatan mengetahui ilmu pengobatannya sangat hebat. Mereka tidak berani mencari gara-gara dengan Tabib Ping karena khawatir suatu saat harus memerlukan pertolongan darinya apabila terluka atau terkena racun. Namun kalau tidak sangat terpaksa juga mereka tidak berani meminta tolong kepadanya.”

“Mengapa demikian?” tanya Yue Lingshan.

“Bagaimana tidak? Setiap kali seseorang meminta tolong kepadanya untuk melakukan pengobatan, ia lantas meminta orang itu untuk membunuh seorang lainnya sebagai ganti. Apabila orang yang akan dibunuh itu tidak ada hubungan dengan si pasien tadi, tentu tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi kalau kebetulan yang hendak dibunuh adalah sanak saudara, atau orang tua, atau sahabat si pasien, bukankah hal ini justru akan membuat masalah jadi runyam?” ujar Yue Buqun.

“Benar, Tabib Ping memang sangat aneh sifatnya,” sahut para murid.

“Jika demikian, kita tidak dapat meminta tolong kepadanya untuk menyembuhkan penyakitmu, Kakak Pertama,” ujar Yue Lingshan.

Sejak tadi Linghu Chong hanya mendengarkan sambil duduk bersandar di pintu kabin. Begitu Yue Lingshan berbicara kepadanya, ia pun tersenyum hambar dan berkata, “Benar juga. Aku khawatir setelah dia menyembuhkan aku, dia lalu menyuruhku untuk membunuh adik kecilku sendiri.”

Para murid kembali bergelak tawa. Yue Lingshan juga tertawa dan berkata, “Tabib Ping tidak kenal aku, untuk apa dia menyuruhmu membunuhku?” Gadis itu  lalu berpaling kepada Yue Buqun dan bertanya, “Ayah, sebenarnya Tabib Ping itu tergolong orang baik atau jahat?”

“Melihat sifatnya yang aneh dan tidak menentu itu, boleh dikata dia berada di antara golongan baik dan jahat. Lebih mudahnya, kita katakan saja dia itu orang cerdas yang ganjil. Atau bisa juga dia itu kita sebut agak sinting,” jawab Yue Buqun.

“Ah, di dunia persilatan banyak berkembang cerita yang dibesar-besarkan. Mungkin perihal Tabib Ping juga termasuk dalam hal ini,” kata Yue Lingshan. “Setiba di Kaifeng nanti aku ingin berkunjung pada Tabib Ping itu.”

“Hus!” bentak Yue Buqun dan Ning Zhongze bersamaan. “Jangan mencari gara-gara!”

Melihat ayah dan ibunya berwajah tegas, Yue Lingshan pun bertanya singkat, “Mengapa?”

“Orang aneh seperti itu apa bisa kau kunjungi sesuka hatimu? Begitu kau menemuinya, maka akan ada masalah yang mendatangimu,” jawab Yue Buqun.

“Mengapa masalah akan mendatangiku kalau aku menemui dia? Bukankah aku tidak meminta pengobatan darinya?” desak Yue Lingshan.

“Kedatangan kita ini untuk berpesiar, bukan untuk mencari masalah,” jawab Yue Buqun dengan wajah dingin.

Melihat ayah tampak begitu marah, Yue Lingshan tidak berani bicara lagi. Namun rasa penasaran di hatinya terhadap Ping Yizhi semakin besar.

Keesokan paginya kapal mereka sudah sampai di dermaga Kaifeng. Namun demikian, jarak menuju ke pusat kota tersebut boleh dikatakan masih sangat jauh.

Yue Buqun tampak tersenyum sambil melontarkan pertanyaan, “Tidak jauh dari sini ada suatu tempat di mana leluhur Keluarga Yue kita pernah menjadi pusat perhatian. Tempat itu harus kita kunjungi.”

“Ya, betul! Aku tahu! Aku tahu! Tempat itu pasti kota Zhuxian,” sahut Yue Lingshan sambil tertawa pula. “Di situlah kakek moyang kita Jenderal Yue Fei mengalahkan tentara Kerajaan Jin habis-habisan.”

Yue Fei adalah pahlawan masa lalu dari zaman Dinasti Song Selatan yang sangat dihormati kaum persilatan. Di kota Zhuxian itulah Yue Fei pernah menghancurkan pasukan Kerajaan Jin. Sudah semestinya setiap anggota rombongan ingin mengunjungi tempat itu.

Maka begitu kapal mereka merapat ke dermaga, Yue Lingshan segera mendahului melompat ke daratan sambil berseru, “Ayo, lekas berangkat ke kota Zhuxian, lalu kita makan siang di pusat kota Kaifeng!”

Beramai-ramai semuanya ikut mendarat. Hanya Linghu Chong seorang yang masih tetap duduk di buritan kapal.

“Kakak Pertama, apa kau tidak ikut?” tanya Yue Lingshan.

Setelah kehilangan tenaga dalam Linghu Chong selalu merasa lelah dan berat, sehingga membuatnya malas bergerak terlalu banyak. Maka, kepergian semua orang itu justru menjadi kesempatan baginya untuk belajar lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin. Apalagi melihat Lin Pingzhi berdiri di samping Yue Lingshan membuatnya merasa semakin rikuh dan tidak nyaman. Maka, ia pun menjawab, “Tidak, aku tidak sanggup berjalan terlalu lama.”

“Baiklah, kau beristirahat saja di sini. Di kota nanti akan kubelikan arak enak,” kata Yue Lingshan.

Dengan perasaan pedih Linghu Chong menyaksikan keberangkatan gadis pujaan hatinya itu yang berdampingan dengan Lin Pingzhi diikuti anggota rombongan lainnnya.

“Meskipun lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin bisa menyembuhkan rasa sakit di dadaku, tapi tidak ada lagi artinya bagiku hidup di dunia ini.” Demikian ia berpikir dalam hati.

Sambil memandangi aliran Sungai Kuning, tiba-tiba pemuda itu merasa segala macam kedukaan dan kesedihan seolah-olah membanjir seperti aliran sungai besar tersebut. Satu demi satu masalah sambung menyambung seperti gelombang Sungai Kuning. Ia merasa dadanya sesak, nafas tersengal-sengal, dan perut pun melilit kesakitan….

Di lain pihak, Yue Lingshan dan Lin Pingzhi merasa sangat gembira. Keduanya berjalan berdampingan paling depan, dan sesekali saling berbisik dan tersenyum lebar, memperlihatkan perasaan masing-masing.

Melihat itu Ning Zhongze pun berbisik kepada sang suami, “Shan’er dan Pingzhi sama-sama masih muda. Laki-laki dan perempuan berjalan berdampingan di tempat sepi mungkin masih bisa dimaklumi. Namun kalau mereka berjalan bersama di kota besar yang ramai seperti ini, apakah tidak menjadi sorotan banyak orang? Mengapa kita tidak mendampingi mereka?”

Yue Buqun menjawab agak bercanda, “Kita sudah tidak muda lagi. Kalau kita berjalan berdampingan tentu tidak menjadi sorotan.”

Ning Zhongze tersenyum dan kemudian mempercepat langkah sehingga berhasil mendampingi Yue Lingshan. Mereka kemudian bertanya pada penduduk tentang arah jalan menuju Zhuxian. Begitu memasuki kota kecil tersebut, mereka menemukan sebuah kuil di tepi jalan, dengan papan di atas pintunya bertuliskan tinta emas berbunyi “Kuil Jenderal Yang”.

Yue Lingshan berkata, “Ayah, aku tahu kuil ini adalah tempat pemujaan Jenderal Yang Zaixing. Beliau terperangkap di dalam Sungai Shang, dan mati dihujani panah oleh pasukan Kerajaan Jin.”

“Benar,” sahut Yue Buqun. “Jenderal Yang adalah tangan kanan Jenderal Yue Fei, leluhur kita. Beliau gugur di medan laga membela tanah air, sungguh membuat banyak orang kagum. Mari kita masuk ke dalam untuk memberikan penghormatan.”

Karena murid-murid yang lain masih tertinggal jauh di belakang, tanpa menunggu lagi mereka berempat pun masuk ke dalam kuil tersebut. Arca Yang Zaixing yang dipuja di tengah kuil itu tampak sangat gagah dan tampan, dengan memakai baju zirah berwarna perak.

Melihat itu Yue Lingshan berpikir, “Jenderal Yang ternyata sangat tampan.” Sekilas ia memandang ke arah Lin Pingzhi untuk membandingkannya dengan arca tersebut.

Tiba-tiba terdengar suara orang berkata dari luar kuil, “Aku berani bertaruh Kuil Jenderal Yang ini dibangun untuk memuja Yang Zaixing.”

Begitu mendengar suara itu, seketika wajah Yue Buqun dan Ning Zhongze berubah pucat. Bersama-sama mereka meraba gagang pedang di pinggang masing-masing. Suara orang tersebut sangat tidak asing di telinga mereka.

Kemudian terdengar suara seseorang lainnya berbicara, “Pada zaman dulu banyak sekali jenderal bermarga Yang. Dari mana kau yakin jenderal yang dipuja di sini adalah Yang Zaixing? Bukankah bisa jadi yang dipuja di sini adalah Jenderal Yang Si Golok Emas? Atau bisa juga anak-anaknya, seperti Jenderal Yang Keenam, atau Jenderal Yang Ketujuh?”

Jenderal Yang Si Golok Emas adalah pahlawan dari zaman Dinasti Song Utara yang memilih bunuh diri daripada menyerah kepada musuh. Sementara Jenderal Yang Keenam dan Jenderal Yang Ketujuh adalah putra-putranya yang gagah berani dan juga gugur di tangan musuh.

Suara lainnya menanggapi, “Anggota keluarga Kakek Yang Si Golok Emas banyak yang menjadi jenderal pula. Dengan demikian akan banyak muncul kemungkinan. Bisa jadi ini adalah kuil untuk Yang Zongbao anak Yang Keenam, atau Yang Wenguang anak Yang Zongbao.”

“Bisa jadi ini kuil untuk Yang Keempat, bukan?” sahut suara lain ikut menanggapi.

“Tidak mungkin! Yang Keempat menyerah kepada musuh. Tidak mungkin arwahnya dihormati seperti ini,” kata suara sebelumnya.

“Berarti secara tidak langsung kau menuduhku akan menyerah kepada musuh karena aku nomor urut empat, begitu?” kata yang lainnya.

“Bisa jadi begitu, karena kau nomor empat. Tapi apa yang terjadi pada Yang Keempat belum tentu terjadi padamu,” kata suara sebelumnya.

“Kau sendiri nomor lima, mengapa tidak menjadi biksu seperti Yang Kelima yang menjadi biksu di Gunung Wutai?” desak suara satunya.

“Kalau aku menjadi biksu, maka kau akan menyerah kepada musuh,” jawab rekannya tadi.

Sejak suara percakapan pertama tadi, Yue Buqun dan Ning Zhongze sudah langsung bisa menebak kalau yang datang di luar kuil adalah orang-orang aneh dari Lembah Persik. Dengan cepat Yue Buqun memberi isyarat. Bersama-sama mereka pun bersembunyi di belakang patung besar Yang Zaixing; ia dan istrinya bersembunyi di sisi kiri, sedangkan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi di sisi kanan.

Suara orang-orang aneh itu masih terdengar berdebat di luar kuil. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mau mengalah. Diam-diam Yue Lingshan merasa geli dan berusaha menahan diri untuk tidak tertawa. “Apa yang mereka debatkan? Apakah kuil ini untuk Yang Zaixing ataukah untuk Yang Keempat, mengapa mereka tidak masuk saja untuk memeriksa?” pikir gadis itu.

Sementara itu Ning Zhongze mendengarkan pembicaraan mereka dengan saksama, dan akhirnya dapat menyimpulkan kalau itu adalah pembicaraan antara lima orang saja. Ia yakin kalau salah satu dari Enam Dewa Lembah Persik telah mati akibat tusukan pedangnya beberapa waktu silam. Padahal tujuannya meninggalkan Gunung Huashan bersama suami dan para murid adalah untuk menghindari serangan balasan dari kelima orang tua aneh itu. Siapa sangka mereka justru ada di sini? Meskipun kelima orang tua itu tidak mengetahui keberadaan dirinya yang berempat, namun bisa jadi mereka bertemu Lao Denuo dan para murid Huashan lainnya yang sebentar lagi tiba. Membayangkan para murid tentu dalam bahaya besar membuat Ning Zhongze diliputi perasaan cemas.

Sementara itu perdebatan di luar kuil masih saja berlangsung, bahkan semakin panas. Akhirnya, salah seorang dari mereka berkata, “Mengapa kita tidak ke dalam saja untuk memastikan manusia busuk mana yang dipuja di dalam sana?”

Kemudian terdengar langkah kaki kelima orang tua aneh itu yang masing-masing bergegas masuk ke dalam kuil.

“Aha, lihat itu! Di situ jelas tertulis kalimat ‘Kuil Jenderal Yang, Tuan Zaixing’. Jelas ini adalah kuil untuk Yang Zaixing,” teriak salah seorang setelah menemukan suatu tulisan di dalam kuil. Orang itu adalah Dewa Ranting Persik.

Dewa Dahan Persik menggaruk-garuk kepala. Sejenak kemudian ia berkata, “Di situ tertulis Yang Tuan Zai, bukan Yang Zaixing. Aku tahu sekarang! Jenderal Yang memiliki nama Tuan Zai. Nama lengkapnya adalah Yang Tuan Zai. Hm, sungguh nama yang bagus!”

Dewa Ranting Persik tidak terima dan berkata, “Jelas-jelas dia bernama Yang Zaixing. Mana ada orang bernama Yang Tuan Zai?”

Dewa Dahan Persik bersikeras, “Coba kau baca itu baik-baik. Jelas-jelas di situ tertulis nama Yang Tuan Zai, bukan Yang Zaixing.”

Dewa Akar Persik ikut bertanya, “Memangnya kata Xing itu artinya apa kalau bukan bagian dari nama?”

Dewa Daun Persik menjawab, “Xing itu artinya bahagia. Setelah Yang Tuan Zai meninggal, masyarakat di sini membangun kuil untuk menghormatinya. Sudah tentu Jenderal Yang merasa sangat bahagia.”

“Tepat sekali! Tepat sekali!” sahut Dewa Dahan Persik.

“Kuil ini dibangun untuk menghormati Yang Ketujuh. Tebakanku benar lagi! Aku sungguh pintar!” sambung Dewa Bunga Persik.

“Ini jelas-jelas kuil untuk Yang Zaixing, bukan Yang Ketujuh!” seru Dewa Ranting Persik agak marah.

“Ini jelas-jelas kuil untuk Yang Tuan Zai, bukan Yang Ketujuh!” seru Dewa Dahan Persik hampir bersamaan.

Dewa Bunga Persik balas bertanya, “Kakak Ketiga, dalam keluarganya, Yang Zaixing itu anak nomor berapa?”

“Aku tidak tahu,” jawab Dewa Ranting Persik sambil menggeleng.

“Yang Zaixing itu anak nomor tujuh. Maka, ia bisa juga disebut Yang Ketujuh,” ujar Dewa Bunga Persik. “Kakak Kedua, kalau Yang Tuan Zai itu anak ke berapa dalam keluarganya?”

“Aku agak lupa. Dulu aku tahu….” kata Dewa Dahan Persik agak menggumam.

“Aku yang ingat. Yang Tuan Zai juga anak ketujuh, sehingga boleh disebut sebagai Yang Ketujuh,” sahut Dewa Bunga Persik dengan senyum lebar.

Dewa Akar Persik menanggapi, “Jika patung ini untuk Yang Zaixing, jelas bukan untuk Yang Tuan Zai. Jika patung ini untuk Yang Tuan Zai, jelas bukan patung Yang Zaixing. Mana mungkin patung ini menggambarkan dua orang yang berbeda?”

“Kakak Pertama, mungkin aku bisa menjelaskan. Apakah kau tahu apa arti nama ‘Zai’? Zai berarti ‘satu lagi’. Itu artinya patung ini melambangkan dua orang, bukan satu orang. Patung ini bisa untuk Yang Zaixing, juga bisa untuk Yang Tuan Zai.”

“Ah, penjelasan yang masuk akal!” seru keempat Dewa Lembah Persik lainnya.

Tiba-tiba Dewa Ranting Persik berkata, “Kau bilang nama ‘Zai’ bermakna ‘satu lagi’, maka itu berarti Yang Ketujuh memiliki tujuh orang anak pula.”

Dewa Akar Persik menyahut, “Kalau begitu, jika ada orang memiliki nama yang bermakna ‘seribu’, itu berarti dia juga memiliki seribu anak, hah?”

Mendengar perdebatan konyol itu Yue Lingshan nyaris tertawa terbahak-bahak. Untung saja ia masih kuat menahan agar bibirnya tidak terbuka.

Ketika saudara-saudaranya masih melanjutkan perdebatan, terdengar Dewa Ranting Persik berkata, “Wahai, Yang Ketujuh! Jika kau berkati adik keenam kami agar jangan mati, maka aku akan berlutut dan menyembah beberapa kali kepadamu. Biarlah aku berlutut sekarang sebagai pembayaran di muka.”

Usai berkata demikian ia langsung berlutut dan memberikan penghormatan di hadapan arca Yang Zaixing.

Mendengar itu, Yue Buqun dan Ning Zhongze saling pandang. Wajah mereka sama-sama memperlihatkan perasaan lega. Adik Keenam yang dimaksud Dewa Ranting Persik sudah pasti Dewa Buah Persik yang ditusuk pedang oleh Ning Zhongze beberapa bulan yang lalu. Suami istri itu sama-sama berpikir, “Sepertinya orang aneh yang tertusuk pedang itu belum mati. Itu artinya mereka tidak perlu menyimpan dendam kepada kami.”

Dewa Bunga Persik bertanya, “Tapi bagaimana kalau Adik Keenam sampai mati?”

“Kalau Adik Keenam mati, tentu patung ini akan kuhancurkan, lalu akan kukencingi pula,” jawab Dewa Dahan Persik.

“Tapi kalau Adik Keenam benar-benar mati, apa gunanya kau mengencingi, bahkan memberaki patung Yang Ketujuh ini? Percuma saja. Bahkan, kau tadi berlutut dan memberi hormat juga sia-sia,” ujar Dewa Bunga.

“Benar juga,” sahut Dewa Ranting Persik. “Lebih baik aku tunda dulu penghormatan ini. Mari kita pastikan apakah Adik Keenam bisa disembuhkan atau tidak. Jika bisa sembuh, maka kita bisa kembali ke sini untuk memberikan penghormatan. Namun jika Adik Keenam tidak bisa disembuhkan, kita tetap kembali ke sini untuk menghancurkan patung ini, dan mengencinginya.”

“Jika Adik Keenam bisa disembuhkan, berarti ia bisa sembuh meskipun kita tidak menyembah patung ini. Tapi jika tidak bisa disembuhkan, apakah kita kencingi atau tidak, juga tidak ada manfaatnya,” ujar Dewa Akar Persik.

“Wah, kalau Adik Keenam dapat disembuhkan, lalu kita menahan untuk tidak kencing dan tidak berak, apa perut kita tidak akan kembung? Bagaimana kalau kantong kemih kita meledak?” tanya Dewa Daun Persik.

“Ya, betul. Jika kita tidak berak dan tidak kencing, tentu kita akan mati kembung dan kantong kemih meledak,” seru Dewa Dahan Persik kemudian menjerit sedih. Keempat yang lainnya pun ikut menjerit-jerit sedih.

Tiba-tiba Dewa Ranting Persik tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha. Jika Adik Keenam bisa disembuhkan, bukankah sia-sia saja kita menangis? Ayo kita tanyakan dulu sejelas-jelasnya, baru kita putuskan untuk menangis atau tidak.”

“Apa yang kau katakan tidak benar. Kalau Adik Keenam bisa disembuhkan, untuk apa kita harus melanjutkan tangisan?” sahut Dewa Bunga Persik.

Begitulah, kelima orang aneh itu melangkah keluar dari kuil dengan cepat sambil mulut mereka tetap berdebat tanpa henti.

Setelah mereka pergi, Yue Buqun berkata lirih, “Apakah orang yang mereka bicarakan bisa sembuh atau tidak, jelas sangat berpengaruh bagi kita. Adik, hendaknya kau tunggu di sini bersama Pingzhi dan Shan’er. Biar aku pergi ke sana untuk memeriksa.”

“Daripada kau sendirian menghadapi bahaya, lebih baik aku ikut saja,” kata Ning Zhongze. Usai berkata demikian ia segera mendahului berlari keluar kuil.

Sudah menjadi kebiasaan apabila Yue Buqun menghadapi masalah besar, maka Ning Zhongze selalu ikut mendampingi. Kalau sang istri sudah bicara demikian, tentu akan sangat sulit untuk membuatnya berubah pikiran. Maka, Yue buqun pun segera menyusul Ning Zhongze tanpa banyak bicara.

Diam-diam pasangan suami-istri Yue itu mengikuti jejak kelima orang aneh dari Lembah Persik tadi sambil tetap menjaga jarak. Dari jauh tampak kelima Dewa Lembah Persik itu berbelok arah ke suatu tanjakan melalui sebuah gang kecil. Sepanjang jalan mereka masih saja terus bertengkar sehingga tidak merasakan keberadaan dua orang pengintai di belakang mereka.

Sesudah menyusuri jalan pegunungan itu, tampak di balik puluhan pohon willow yang rindang terdapat sebuah sungai kecil. Di tepi sungai itu terdapat beberapa rumah. Terdengar suara ribut kelima orang aneh itu menggema begitu masuk ke salah satu rumah tersebut.

“Mari kita berputar ke belakang rumah!” ajak Yue Buqun kepada istrinya. Keduanya lantas mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk menyusup ke balik pepohonan willow yang rindang di belakang rumah tersebut.

Kembali terdengar suara kelima Dewa Lembah Persik berseru keras, “Hei, kau telah membunuh adik keenam kami.”

“Kenapa … kenapa kau membedah dadanya?”

“Keparat, kami harus mencabut nyawamu!”

“Kami harus membedah dadamu juga!”

“Aih, Adik Keenam, sungguh mengerikan kematianmu! Biar kami selamanya tidak akan… tidak akan kencing dan berak lagi agar mati kembung bersamamu!”

Yue Buqun dan Ning Zhongze terkejut mendengarnya. Mereka sama-sama berpikir, “Kenapa ada orang membedah dada adik keenam mereka?”

Perlahan ia dan istrinya merunduk maju. Sampai di bawah jendela, mereka mencoba mengintip ke dalam rumah melalui celah-celah.

Saat itu hari sudah mulai gelap. Di dalam rumah tampak beberapa pelita menyala. Di tengah rumah terdapat sebuah dipan dan di atasnya terbaring seorang lelaki dalam keadaan telanjang bulat. Dadanya telah terbuka, darah pun mengucur deras dan berceceran di mana-mana. Kedua mata orang itu tampak tertutup rapat. Sepertinya ia sudah mati sekian saat. Dari wajahnya dapat dikenali kalau orang itu adalah Dewa Buah Persik yang tempo hari terkena tusukan pedang Nyonya Yue di Gunung Huashan.

Kelima Dewa Lembah Persik lainnya tampak berkerumun di sekitar tubuh adik mereka itu sambil menjerit-jerit dan mencaci maki seorang laki-laki bertubuh pendek dan gemuk.

Laki-laki itu bertubuh pendek, tetapi memiliki kepala yang sangat besar. Kumisnya tipis di kiri dan kanan bibir, serta gerakan wajahnya sangat lucu. Kedua tangannya berlumuran darah. Tangan kanannya pun tampak memegang pisau yang masih meneteskan darah. Dengan mata melotot ia memandang kelima bersaudara yang sedang ribut itu. Sejenak kemudian barulah ia bertanya dengan suaranya yang berat, “Sudah selesai kalian kentut?”

“Sudah. Kau sendiri mau kentut apa?” sahut kelima bersaudara hampir bersamaan.

“Dada saudara kalian ini tertusuk pedang. Dari tempat jauh kalian membawanya kemari dan meminta aku untuk menolong jiwanya,” ujar si pendek gemuk. “Tapi perjalanan kalian terlalu lambat. Lukanya sudah membusuk, urat nadinya juga kacau. Untuk menolong jiwanya tidaklah sulit. Tapi sesudah sembuh ilmu silatnya akan punah. Setengah badan bagian bawah akan lumpuh. Orang cacat begitu apa gunanya disembuhkan?”

“Cacat lebih baik daripada mati,” sahut Dewa Akar Persik.

Si pendek gemuk menjawab dengan gusar, “Huh, kalau mengobati orang ya harus benar-benar sampai sembuh! Kalau orang yang kusembuhkan menjadi cacat lantas ke mana mukaku ini harus ditaruh? Sudahlah, aku tidak jadi mengobati dia, tidak jadi! Lekas kalian gotong pergi mayat hidup ini!”

“Jika kau tidak mampu menyembuhkan adik keenam kami, kenapa kau membedah dadanya?” tanya Dewa Dahan Persik.

“Hm, coba katakan, apa julukanku?” tanya si pendek gemuk dengan nada dingin.

“Bukankah julukanmu adalah Si Tabib Sakti Pembunuh!” sahut Dewa Dahan Persik.

Seketika Yue Buqun dan Ning Zhongze terperanjat dan saling pandang. Masing-masing dari mereka berpikir, “Siapa sangka manusia pendek gemuk yang berwajah lucu ini adalah Si Tabib Sakti Pembunuh sangat termasyhur itu? Aih, jika orang itu bukan Ping Yizhi, mana mungkin kelima orang aneh dari Lembah Persik mati-matian memohon kepadanya untuk menyembuhkan adik keenam mereka?”

Linghu Chong menerima hadiah dari Lu Zhuweng.
Ping Yizhi si Tabib Pembunuh.
 (Bersambung)