Bagian 119 - Jati Diri Nenek Bisu

Nenek Bisu dari Kuil Gantung

Setelah melewati beberapa jurus berikutnya, Linghu Chong sadar bahwa satu-satunya jalan untuk meloloskan diri adalah dengan mencabut pedang. Namun, baru saja tangan kanannya menyentuh gagang pedang pendek yang terselip di balik baju, si nenek bisu seolah mengetahui maksudnya. Dengan sangat cepat perempuan itu melancarkan serangan sebanyak tujuh-delapan kali. Terpaksa Linghu Chong harus berkelit dan menangkis sehingga tidak sempat lagi melolos pedangnya.

Serangan si nenek bisu semakin lama semakin cepat dan keji. Linghu Chong merasa heran padahal selamanya di antara mereka tidak terdapat permusuhan apa-apa, namun orang itu tidak segan-segan hendak mencongkel matanya keluar. Linghu Chong merasa keadaan begitu gawat. Segera ia pun menggertak keras, kemudian tangan kirinya melindungi kedua mata, sementara tangan kanan meraba dada untuk mencabut pedang pendek. Tak peduli lawan terus memukul dan menendang yang penting ia dapat menarik pedang pendeknya keluar.

Tak disangka, pada saat itu tiba-tiba kepalanya terasa kencang. Ternyata si nenek bisu telah menjambak rambutnya. Sekejap kemudian Linghu Chong merasa kedua kakinya melayang di atas tanah, dan setelah itu langit terasa berputar-putar dan bumi terbalik. Jelas tubuhnya berputar cepat di udara. Rupanya si nenek bisu telah menjambak rambutnya dan mengangkat serta mengayunkan tubuh pemuda itu sekuat tenaga. Semakin lama semakin cepat.

“Hei, hei, apa yang kau lakukan?” sahut Linghu Chong berteriak-teriak. Kedua tangannya mencoba mencakar dan memukul serabutan, tapi mendadak kedua ketiaknya, kanan dan kiri terasa pegal. Rupanya si nenek bisu telah menotok bagian tersebut. Disusul kemudian titik nadi bagian punggung, pinggang, dada, dan leher Linghu Chong tertotok pula. Seketika pemuda itu merasa sekujur tubuhnya lemas dan tidak bisa bergerak lagi. Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti memutar-mutar tubuhnya. Bahkan kini semakin cepat.

Sambil merasakan suara angin yang menderu-deru di telinganya Linghu Chong berpikir, “Selama hidup aku sudah banyak menemui kejadian-kejadian aneh. Tapi baru kali ini aku bernasib sial menjadi gangsingan.”

Nenek itu terus saja menjambak rambut Linghu Chong dan memutar tubuh pemuda itu dengan kencang. Linghu Chong merasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Melihat pemuda itu hampir kehilangan kesadaran, nenek bisu pun menghentikan permainannya dan membanting tubuh Linghu Chong ke tanah dengan sangat keras.

Sebenarnya Linghu Chong merasa tidak bermusuhan dengan nenek bisu itu. Namun, sekarang setelah dirinya dikerjai sampai setengah mati, ia pun tidak kuasa lagi menahan marah. Segera mulutnya mencaci maki, “Perempuan busuk, perempuan keparat! Kalau saja aku bisa mencabut pedang, tentu tubuhmu kubuat berlubang-lubang!”

Nenek itu memandangnya dengan sikap dingin. Raut mukanya tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

Melihat itu, Linghu Chong berpikir, “Aku sudah kalah, tapi paling tidak aku harus memakinya agar kekalahanku tidak terlalu parah. Tapi tubuhku kini tidak bisa berkutik. Jika dia tahu aku mencaci-maki, tentu dia akan menyiksaku dengan lebih kejam.”

Segera ia pun mendapat akal, yaitu terus memaki tapi sambil tertawa-tawa. “Dasar perempuan bangsat, perempuan busuk! Langit sadar akan kejahatanmu sehingga kau diciptakan bisu dan tuli, tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis pula, mirip orang tolol! Lahir sebagai anjing atau babi rasanya jauh lebih beruntung!”

Semakin mencaci maki dengan kata-kata yang keji, semakin riang pula Linghu Chong tertawa. Sebenarnya ia hanya berpura-pura tertawa, supaya si nenek bisu tuli itu tidak tahu kalau ia sedang memaki. Begitu melihat perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan sikap gusar, Linghu Chong merasa akalnya membawa hasil dan ia pun menjadi senang dan benar-benar tertawa terbahak-bahak.

Perlahan nenek bisu melangkah maju. Tiba-tiba sebelah tangannya kembali menjambak rambut Linghu Chong dan menyeret pemuda itu ke depan. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Linghu Chong merasa kesakitan karena badannya bergesekan di atas tanah berbatu. Dengan gemas ia kembali mencaci-maki tanpa berhenti, namun kali ini tidak bisa tertawa lagi.

Nenek bisu itu menyeret tubuh Linghu Chong ke atas gunung. Sambil melirik mengamati keadaan setempat, Linghu Chong dapat merasakan bahwa perempuan itu membawanya ke arah barat, menuju ke arah Kuil Gantung. Kini Linghu Chong telah yakin kalau orang yang mengerjai Biksu Bujie, Tian Boguang, Sepasang Beruang Gurun Utara, Qiu Songnian, dan yang lain tentu nenek bisu-tuli ini pula. Perempuan tua ini meskipun bisu tuli namun ternyata memiliki kecepatan dan kekuatan yang sangat hebat. Selain dia, sepertinya tidak ada lagi yang bisa dicurigai oleh Linghu Chong.

Dahulu Linghu Chong memang pernah datang ke Kuil Gantung dan bertemu nenek bisu tersebut. Namun, waktu itu sedikit pun ia tidak tahu kalau perempuan ini ternyata menyembunyikan kepandaian sedemikian hebat. Yang ia tahu nenek tersebut seorang bisu tuli yang berwajah tolol dan lamban dalam bekerja. Bahkan, para tokoh silat papan atas seperti Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, serta Ren Yingying dan Shangguan Yun juga tidak mencurigainya. Diam-diam Linghu Chong memuji kepandaian nenek bisu ini dalam mengelabui orang.

Lantas pemuda itu berpikir pula, “Jika nenek ini sampai menggantung tubuhku di atas pohon gongsun di Lembah Tongyuan, lalu menempelkan pula pita kertas pada tubuhku dengan tuduhan sebagai manusia paling cabul nomor satu di dunia, tentu aku akan sangat kehilangan muka. Padahal, sebagai ketua Perguruan Henshan aku kini berdandan sebagai wanita. Untungnya, dia menyeretku menuju Kuil Gantung. Biarlah dia menggantung aku di sana dan menghajar tubuhku pula. Itu lebih baik daripada membuatku malu di depan umum.”

Dasar sudah menjadi sifat Linghu Chong meskipun sedang bernasib sial tapi masih merasa beruntung juga. Terpikir pula olehnya, “Entah apakah dia tahu siapa diriku yang sebenarnya? Jangan-jangan dia memang sudah tahu kalau aku ini ketua Perguruan Henshan sehingga tidak mempermalukan aku di depan umum.”

Di sepanjang jalan yang menanjak itu tubuh Linghu Chong diseret oleh si nenek bisu. Sudah tentu badannya babak belur terluka oleh batu-batu pegunungan. Untungnya ia menghadap ke atas sehingga tidak mendapat luka di bagian panca indera.

Setibanya di Kuil Gantung, si nenek bisu terus saja menyeretnya masuk ke dalam ruang tengah. Pintu kuil lantas ditutup rapat. Sesaat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam Loteng Kura-Kura Sakti.

“Wah, celaka, ini celaka!” ujar Linghu Chong mengeluh karena ia sadar Loteng Kura-Kura Sakti terletak di atas jurang yang tak terukur dalamnya, sedangkan di luar terdapat sebuah jembatan gantung yang menghubungkan dengan Loteng Ular Dewa di sisi lain Puncak Cuiping. “Jangan-jangan tubuhku akan digantung di jembatan layang itu,” pikirnya. Perasaan khawatir terlintas di benak Linghu Chong karena Kuil Gantung tersebut jarang didatangi orang. Bisa-bisa ia akan mati kelaparan di tempat ini.

Sesampainya di dalam Loteng Kura-Kura Sakti, nenek bisu langsung membanting Linghu Chong di lantai, kemudian meninggalkannya pergi. Dengan tubuh tergeletak Linghu Chong mencoba menerka siapa sebenarnya nenek bisu ini, tapi tidak juga menemukan jawaban. Ia hanya menduga bisa jadi nenek ini seorang tokoh angkatan tua Perguruan Henshan, atau mungkin pelayan Biksuni Dingjing, Biksuni Dingxian, dan Biksuni Dingyi di masa lalu. Tapi entah bagaimana caranya nenek itu bisa mengetahui muslihat licik Nyonya Zhang dan yang lain sehingga kemudian meringkus dan menggantung tubuh mereka di atas pohon?

Berpikir sampai di sini hati Linghu Chong menjadi lega. Ia berpikir, “Mengingat aku ini ketua Perguruan Henshan sudah tentu dia akan menghormatiku dan tidak membuatku susah.” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Celaka, karena aku sedang menyamar, jangan-jangan dia tidak mengenali aku! Jika dia mengira aku adalah orang jahat yang bersekongkol dengan Nyonya Zhang dan yang lain, atau dia mengira aku adalah mata-mata yang sedang menyamar di sini dan bertujuan hendak merusak Perguruan Henshan, wah, bisa jadi ia akan memberi ‘perlakuan yang lebih istimewa’ kepadaku. Bisa runyam kalau aku disiksa olehnya nanti.”

Tanpa terdengar suara langkah kaki tahu-tahu si nenek bisu sudah naik kembali ke atas loteng dengan membawa seutas tambang. Segera kaki dan tangan Linghu Chong pun ditelikung dan diikatnya kencang-kencang. Perempuan tua itu lantas mengeluarkan pula sepotong pita kertas berwarna kuning dan memasangnya di leher Linghu Chong.

Sudah tentu Linghu Chong sangat penasaran ingin mengetahui apa yang tertulis pada pita kertas itu. Akan tetapi, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya kedua matanya telah ditutup oleh si nenek bisu menggunakan sehelai kain hitam.

“Cerdik benar nenek ini,” pikir Linghu Chong. “Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis pada pita kertas ini, namun mataku langsung ditutupnya. Tapi, haha, Linghu Chong selamanya adalah anak bandel. Sudah tentu apa yang tertulis di atas pita kertas ini jelas bukan kata-kata pujian untukku. Jadi, untuk apa aku harus membacanya?”

Tiba-tiba ia merasa kaki dan tangannya yang diikat itu seperti tertarik kencang, lantas tubuhnya pun terapung ke atas. Ternyata nenek bisu sudah menggantungnya tinggi-tinggi di atas balok belandar. Sungguh gusar rasa hati Linghu Chong dan mulutnya kembali mencaci-maki. Meskipun berwatak suka ugal-ugalan, tapi di sisi lain ia juga sangat berhati-hati. Dalam hati ia merenung, “Kalau aku hanya mencaci-maki sembarangan, tetap tidak dapat memperbaiki keadaan. Sebaiknya aku mengerahkan tenaga dalam perlahan-lahan untuk membuka totokan. Bila aku sudah memegang senjata tentu dapat mengatasi nenek ini. Akan kugantung pula tubuhnya di tempat yang tinggi, dan akan kupasang pita kertas kuning pada lehernya. Entah apa yang harus kutulis pada pita itu? Nenek jahat nomor satu di dunia? Ah, jangan-jangan dia malah menjadi senang. Biarlah kutulis saja: ‘Nenek jahat nomor delapan belas di dunia’, biar kepalanya pecah memikirkan siapa pula ketujuh belas nenek jahat lainnya yang lebih tinggi derajatnya daripada dia.” Linghu Chong kemudian memasang telinga dan tidak mendengar suara napas seorang pun. Rupanya nenek bisu itu sudah pergi.

Setelah tergantung-gantung sekitar dua jam, Linghu Chong mulai merasa lapar. Begitu menggerakkan badan terasa aliran darahnya sudah mulai lancar. Tiba-tiba tubuhnya terguncang, kemudian jatuh terbanting di lantai dengan keras. Ternyata si nenek bisu telah melepaskan tali gantungan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Linghu Chong tidak mendengar langkah kakinya.

Nenek itu lantas melepaskan kain hitam penutup mata Linghu Chong. Titik nadi bagian leher belum lancar sehingga pemuda itu sukar menunduk untuk membaca tulisan pada pita kertas tersebut, kecuali pada bagian paling bawah sekilas terbaca kata “perempuan”.

Perlahan Linghu Chong mengeluh, “Sial!” Ia yakin si nenek benar-benar mengira dirinya sebagai seorang perempuan tua. Kalau dirinya disebut sebagai pemuda cabul, bajingan tengik, atau manusia rendah segala tidak menjadi soal. Tapi dianggap sebagai perempuan, benar-benar masalah konyol baginya.

Dilihatnya si nenek bisu mengambil sebuah mangkuk. “Apakah dia hendak mengambilkan semangkuk sup untukku? Kalau semangkuk arak tentu lebih baik,” pikirnya.

Di luar dugaan, tiba-tiba Linghu Chong menjerit kesakitan karena kepalanya terasa kepanasan. Ternyata mangkuk tersebut bersisi air mendidih dan oleh si nenek langsung disiramkan begitu saja di atas kepala pemuda itu.

 “Nenek bangsat, apa yang hendak kau lakukan padaku?” bentak Linghu Chong memaki.

Si nenek tetap saja tidak terpengaruh. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah pisau cukur dari balik bajunya.

Seketika Linghu Chong terperanjat. Kulit kepalanya terasa sakit dan perih. Rupanya si nenek bisu sedang mencukur rambutnya. Perasaan Linghu Chong semakin gusar. Ia tidak tahu apa maksud dan tujuan nenek gila ini sebenarnya. Sejenak kemudian ia merasa kepalanya sudah gundul kelimis. Rambutnya telah dicukur bersih oleh si nenek bisu.

“Bagus sekali. Hari ini Linghu Chong benar-benar telah menjadi biksu. Ah, salah. Aku memakai baju perempuan, pantasnya disebut sebagai biksuni,” demikian ia berpikir. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Perasaan ngeri merasuki pikirannya. “Yingying menyuruhku menyamar sebagai biksuni, dan kini ucapannya menjadi kenyataan. Mungkin juga nenek iblis ini telah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya dan menganggap seorang laki-laki tidak pantas menjadi ketua Perguruan Henshan. Maka itu, tidak saja ia mencukur rambutku, bahkan mungkin juga ia akan … akan mengebiri kemaluanku, supaya aku tidak bisa berbuat kotor di tempat suci ini. Nasibku bisa-bisa mirip dengan Tian Boguang. Wah, nenek gila ini ternyata bisa berbuat apa saja. Sungguh sial, sepertinya hari ini aku, Linghu Chong harus menerima takdir. Ah, asal jangan sekali-kali aku disuruh berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Selesai mencukur gundul kepala Linghu Chong, nenek bisu lantas menyapu bersih rambut pemuda itu yang berserakan di atas lantai. Linghu Chong merasa keadaan sudah sangat gawat. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membuka sisa beberapa totokan pada tubuhnya.

Begitu merasa aliran darahnya sudah mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung, pinggang, dan bahunya terasa kesemutan kembali. Rupanya titik-titik tersebut kembali ditotok oleh si nenek bisu. Seketika perasaan Linghu Chong bagaikan balon gembos. Ia hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya begitu lemas, sampai-sampai caci maki susah untuk diucapkan lagi.

Si nenek bisu lantas menanggalkan pita kertas yang terpasang di leher Linghu Chong itu dan menaruhnya di samping. Baru sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas apa yang tertulis pada pita kertas tersebut, yaitu: “Manusia buta nomor satu di dunia, bukan laki-laki dan bukan perempuan.”

Dalam hati Linghu Chong mengeluh, “Celaka! Ternyata nenek gila ini hanya pura-pura bisu dan tuli. Ia sebenarnya bisa mendengar. Kalau tidak, dari mana dia tahu kalau Biksu Bujie pernah menyebutku sebagai manusia buta nomor satu di dunia? Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, dia mencuri dengar ketika Biksu Bujie bicara dengan Yilin, dan yang kedua dia mencuri dengar ketika Yilin berbicara padaku tadi. Atau bisa juga kedua-duanya telah ia saksikan.”

Berpikir sampai di sini segera ia pun berteriak, “Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan berpura-pura lagi! Kau bukan seorang bisu-tuli.”

Tapi nenek itu tetap tidak peduli. Sebaliknya, ia terus saja menggerayangi tubuh Linghu Chong dan menarik pakaian wanita yang dikenakan pemuda itu.

“He, hei, apa yang hendak kau lakukan?” sahut Linghu Chong khawatir. Ia tidak tahu apakah nenek ini benar-benar tidak dapat mendengar atau hanya sengaja berpura-pura. Dalam sekejap baju wanita yang dipakainya telah ditarik begitu saja oleh si nenek sehingga robek menjadi dua belah dan terlepas dari tubuhnya.

“Jika kau berani mengganggu seujung rambutku saja tentu akan kucincang tubuhmu hingga hancur lebur,” teriak Linghu Chong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, “Wah, bukan hanya seujung rambut, dia bahkan sudah mencukur gundul kepalaku.”

Tampak si nenek mengambil sepotong batu asah. Kemudian batu asah itu dibasahinya dengan beberapa tetes air, untuk selanjutnya digunakan mengasah pisau cukur tadi. Sejenak kemudian pisau cukur itu pun ditaruhnya di samping. Dari balik baju dikeluarkannya dua buah botol porselen kecil, yang masing-masing bertuliskan “Salep Penyambung Kahyangan” dan “Pil Empedu Beruang”. Jelas keduanya adalah obat-obatan mujarab buatan Perguruan Henshan yang sudah sangat dikenal oleh Linghu Chong.

Kemudian si nenek tampak menyiapkan pula beberapa potong kain putih sebagai pembalut luka. Linghu Chong merasa heran karena merasa tidak memiliki luka baru. Melihat cara si nenek menyiapkan segala perlengkapan itu, sepertinya hendak membuat sebuah luka baru atau lebih pada dirinya. Tanpa sadar Linghu Chong pun menghela napas panjang penuh perasaan cemas.

Selesai menyiapkan itu semua, kedua mata si nenek memandang tajam ke arah Linghu Chong. Sejenak kemudian ia mengangkat tubuh pemuda itu dan meletakkannya di atas meja. Selanjutnya ia kembali memandang Linghu Chong dengan sikap kaku tak berperasaan.

Linghu Chong sudah kenyang pengalaman dalam pertempuran macam apa pun juga. Sekalipun terluka parah dan dikepung musuh, belum pernah ia merasa takut atau gentar. Tapi kini menghadapi seorang nenek gila seperti itu, dalam hati timbul juga rasa ngeri yang tak terlukiskan.

Perlahan si nenek mengangkat pisau cukurnya. Di bawah cahaya lilin yang berkedip-kedip, pisau cukur yang tajam itu tampak berkilauan. Butir keringat dingin penuh membasahi dahi Linghu Chong. Sungguh ngeri hatinya membayangkan sebentar lagi akan dikebiri oleh si nenek gila.

Tiba-tiba terlintas satu pikiran dalam benaknya. Tanpa pikir panjang ia pun berteriak, “Kau adalah … istri Biksu Bujie!”

Tubuh nenek itu tampak gemetar dan kakinya mundur selangkah. Dengan terputus-putus ia berkata, “Da… dari mana … kau ... tahu?” Suaranya serak dan kering. Ucapannya sekata demi sekata dan sangat kaku, mirip seperti anak kecil yang baru belajar bicara.

Ketika mengucapkan kata-katanya tadi, Linghu Chong memang tidak berpikir panjang. Kini begitu ditanya balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa sampai bisa menarik kesimpulan seperti itu. Tapi ia lantas berkata, “Hm, sudah tentu aku tahu. Sudah sejak tadi aku tahu.”

Namun, dalam hati sebenarnya ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Benar juga, dari mana aku tahu? Oh, tentu dari pita kertas terpasang di leher Biksu Bujie itu. Pada pita itu tertulis tuduhan bahwa Bujie adalah manusia tak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan. Tentang hal ini, selain Bujie sendiri tiada orang lain yang tahu kecuali istrinya.”

Karena berpikiran demikian, Linghu Chong kembali berseru, “Kau sendiri justru masih selalu terkenang kepada manusia yang tidak berperasaan dan paling doyan perempuan itu. Jika tidak, waktu ia hendak gantung diri, kenapa kau potong tali gantungannya? Ketika ia hendak menggorok leher sendiri, kenapa kau sembunyikan goloknya? Huh, manusia yang tak berperasaan dan paling doyan main perempuan seperti itu kenapa tidak dibiarkan mati saja? Untuk apa pula kau urus dia lagi?”

Si nenek menjawab, “Kalau ... membiarkan dia ... mampus dengan mudah dan ... cepat, itu terlalu ... enak baginya.”

“Benar katamu,” sahut Linghu Chong. “Biarkan saja dia menderita cemas dan khawatir selama belasan tahun terakhir ini. Dia mencarimu sampai ke negeri Tibet, sampai ke gurun utara dan wilayah barat. Dia mencarimu ke dalam setiap biara, tapi kau malah enak-enakan menikmati hidupmu di sini. Dengan cara begini barulah kau merasa puas, bukan?”

“Itu baru ... setimpal,” ujar si nenek. “Dia sudah ... menikahi aku. Tapi kenapa ... dia masih menggoda perempuan ... lain?”

“Siapa yang bilang dia menggoda perempuan lain?” tanya Linghu Chong. “Wanita itu hanya memandang dan memuji putrimu lalu Biksu Bujie balas memandang dan memujinya, bukankah ini wajar? Kenapa kau anggap dosa besar?”

“Seorang laki-laki kalau ... sudah beristri,” sahut si nenek, “jika dia memandang dan mengincar ... perempuan lain, hal ini dilarang ... keras.”

Linghu Chong merasa nenek ini benar-benar aneh. Segera ia membantah, “Kau sendiri sudah menjadi istri orang, tapi mengapa masih memandang laki-laki lain juga?”

Nenek itu menjadi gusar dan menyahut, “Kapan pula aku memandang ... laki-laki lain? Omong kosong!”

“Bukankah sekarang ini kau sedang memandang diriku? Memangnya aku bukan laki-laki?” kata Linghu Chong. “Padahal Bujie hanya memandang perempuan lain beberapa detik saja. Sementara itu kau malah menjambak rambutku, meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar larangan suci tersebut. Untung kau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak sampai meraba wajahku. Jika tidak, kau pasti akan dihukum berat oleh Dewi Guanyin.” Ia berpikir nenek ini jarang bergaul, tentu pengetahuannya sangat kurang. Maka, perempuan ini perlu digertak supaya tidak sembarangan menganiaya orang.

Terdengar nenek itu menjawab, “Untuk memotong kepalamu ... aku tidak perlu menyentuh badanmu.”

“Kalau mau memotong kepalaku, boleh saja. Silakan!” sahut Linghu Chong.

“Kau ingin ... aku membunuhmu? Jelas tidak boleh secepat ini,” ujar si nenek dengan suara semakin lancar. “Sekarang ada dua pilihan untukmu, kau boleh pilih sesukamu. Pertama, kau harus lekas menikahi Yilin sebagai istrimu dan jangan membuatnya sakit hati lagi. Sebaliknya, jika kau menolak, maka aku akan mengebiri dirimu sehingga kau berubah menjadi siluman serbakonyol. Laki-laki bukan, perempuan juga bukan, alias banci. Nah, jika kau tidak mau menikahi Yilin, maka kau takkan mampu menikah pula dengan perempuan busuk lainnya yang tidak tahu malu.”

Sudah belasan tahun perempuan tua ini berpura-pura bisu dan tuli. Sudah sekian lama ia tidak pernah berbicara sehingga lidahnya terasa kaku. Kini setelah berbicara sebentar barulah ucapannya mulai lancar kembali.

“Yilin memang seorang gadis yang sangat baik. Tapi di dunia ini selain dia apakah semua perempuan itu busuk dan tidak tahu malu?” jawab Linghu Chong.

“Aku rasa memang begitu. Andaikan baik juga terbatas,” kata si nenek. “Nah, kau mau menerima syaratku atau tidak? Lekas katakan!”

Linghu Chong menjawab, “Adik Yilin adalah teman baikku. Jika dia tahu kau memaksaku seperti ini, tentu dia akan sangat marah.”

“Asal kau menikahinya sebagai istri, tentu dia akan gembira dan semua kemarahannya lenyap pula,” kata si nenek.

“Dia seorang gadis yang alim. Dia sudah bersumpah tidak akan menikah seumur hidup,” bantah Linghu Chong. “Apabila pikirannya sampai bercabang tentu akan mendapat murka dari Sang Buddha.”

“Bila kau menjadi biksu, maka kalian berdua akan bersama menanggung kemarahan Sang Buddha,” jawab si nenek. “Aku telah mencukur rambutmu. Memangnya kau kira tidak ada tujuannya?”

Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “O, ternyata kau mencukur rambutku supaya aku menjadi biksu, lalu menikahi si biksuni cilik. Suamimu dulu berbuat begitu, sehingga sekarang kau pun memintaku meniru caranya?”

“Bukan urusanku,” sahut si nenek.

“Tapi di dunia ini sangat banyak manusia berkepala gundul. Memiliki kepala botak licin tidak berarti biksu, bukan?” lanjut Linghu Chong sambil terus tertawa.

“Ini bukan masalah sulit,” jawab si nenek. “Akan kusulut kepalamu dengan api dupa sehingga tercipta sembilan titik hangus. Memiliki kepala gundul memang tidak selalu seorang biksu. Tapi kepala gundul ditambah dengan bekas sulutan api dupa adalah tanda pengenal kaum biksu, bukan?” Usai berkata demikian si nenek mempersiapkan diri untuk mulai bertindak.

“Hei, nanti dulu, sebentar lagi,” lekas-lekas Linghu Chong mencegah. “Menjadi biksu harus dilakukan dengan sukarela, bukan dengan cara paksaan seperti ini.”

“Hanya ada dua pilihan,” jawab si nenek. “Menjadi biksu atau menjadi kasim.”

Linghu Chong sangat khawatir. Ia merenung, “Perempuan tua ini benar-benar gila. Ia suka memaksakan apa yang menjadi keinginannya. Aku harus mencari akal untuk mengulur waktu.” Usai berpikir demikian ia pun menjawab, “Kalau aku menjadi kasim, jangan-jangan pada suatu saat pikiranku tiba-tiba berubah dan ingin menikahi Adik Yilin, lantas bagaimana? Bukankah urusan ini menjadi runyam? Bukankah kau malah merugikan kami berdua?”

“Kaum persilatan seperti kita harus berpikiran terbuka, bicara tegas, dan cepat memutuskan,” sahut si nenek. “Sekali kau mengambil keputusan, mana boleh untuk selanjutnya berubah pikiran seperti itu? Mau jadi biksu ya jadilah biksu, mau jadi kasim ya jadilah kasim. Bagaimana bisa seorang laki-laki sejati bersikap menjijikkan macam demikian?”

“Kalau aku menjadi kasim, tentunya sudah tidak dapat disebut laki-laki sejati lagi,” ujar Linghu Chong sambil tertawa.

“Persetan!” bentak si nenek. “Kita ini sedang bicara urusan penting, bukan sedang bergurau, kau tahu?”

Linghu Chong menyeringai sambil merenung, “Adik Yilin cantik dan lembut. Perasaannya kepadaku juga sangat mendalam. Bila ia menjadi istriku tentu ini suatu kebahagiaan tersendiri. Tapi hatiku sudah menjadi milik Yingying seorang, mana boleh aku mengingkari dia? Nenek gila ini memaksaku secara kasar. Seorang kesatria meski harus mati juga tidak boleh menyerah.”

Karena berpikir demikian maka ia pun menjawab, “Nenek tua, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang laki-laki yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, menurutmu orang seperti ini baik atau tidak?”

“Kenapa harus bertanya lagi? Orang seperti itu sudah tentu lebih kotor daripada babi, lebih rendah daripada anjing. Percuma saja dia menjadi manusia,” jawab si nenek.

“Nah, itu dia,” sahut Linghu Chong. “Adik Yilin seorang gadis cantik, sangat baik pula terhadapku. Bagaimana mungkin aku tidak senang mendapatkan dia? Masalahnya, sudah lama aku menjalin kasih dengan seorang nona lain. Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku. Seandainya diriku kau cincang hingga hancur luluh juga tidak mungkin aku mengingkarinya. Sebab kalau aku sampai mengingkarinya, bukankah aku akan berubah menjadi manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan? Bukankah gelar nomor satu yang diperoleh Biksu Bujie itu akan kurebut?”

“Nona yang kau maksudkan itu tentu Nona Ren dari Sekte Iblis, benar tidak? Dia pasti gadis yang pernah menolongmu saat kau dikepung pasukan Sekte Iblis di jembatan gantung waktu itu, bukan?” tanya si nenek.

“Benar, memang dia orangnya. Kau sendiri juga melihatnya,” kata Linghu Chong.

“Mudah sekali kalau begitu,” ujar si nenek. “Akan kusuruh Nona Ren itu mencampakkan dirimu. Anggap saja dia yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia.”

“Dia takkan mungkin mengingkari diriku. Dia sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan dirinya sendiri. Sudah tentu aku pun rela berkorban untuknya. Aku takkan pernah mengingkari dia dan dia pun sudah pasti takkan mengkhianati aku,” kata Linghu Chong.

“Kalau urusan sudah mendesak, kurasa ia pun takkan bisa berbuat apa-apa,” ujar si nenek. “Di Lembah Tongyuan sana banyak terdapat laki-laki busuk. Dia bisa mencari salah seorang untuk menjadi suaminya.”

“Enak saja!” damprat Linghu Chong gusar.

“Apa kau kira aku tidak bisa melakukan hal ini?” tanya si nenek. Perempuan tua itu lantas melangkah keluar. Terdengar pintu kamar sebelah terbuka, lalu ia kembali dengan membawa seorang perempuan muda dengan kaki dan tangan terikat ke belakang. Gadis yang dibawanya itu tidak lain adalah Ren Yingying.

Seketika Linghu Chong sangat terkejut. Sama sekali tak disangka olehnya bahwa Ren Yingying pun telah jatuh pula ke dalam cengkeraman si nenek. Namun, ia merasa lega ketika melihat keadaan gadis itu baik-baik saja tanpa terluka sedikit pun.

“Kau pun berada di sini, Yingying?” serunya.

“Ya. Aku sudah mendengar seluruh percakapan kalian,” sahut Ren Yingying dengan tersenyum. “Kau menyatakan takkan mengingkari diriku, sungguh aku merasa sangat senang.”

“Di hadapanku tidak boleh bicara hal-hal yang memalukan seperti ini,” bentak si nenek. “Nona cilik, katakan saja terus terang. Kau ingin dia menjadi biksu atau kasim”

Wajah Ren Yingying langsung bersemu merah dan ia menjawab, “Huh, bicaramu benar-benar tidak tahu malu.”

“Aku sudah memikirkan hal ini dengan cermat. Aku pun percaya bocah Linghu Chong ini sukar meninggalkanmu untuk menikahi Yilin,” kata si nenek.

“Bagus sekali! Sejak kau mulai bicara kembali, hanya ucapan inilah yang paling baik,” sorak Linghu Chong.

“Baiklah, aku akan mengatakan hal yang lebih baik lagi,” kata si nenek. “Aku mau mengalah sedikit, dan mengenakkan bocah Linghu Chong ini. Biarlah dia menikahi kalian berdua sekaligus. Dia bisa menjadi biksu dan memiliki dua istri. Kalau dia menjadi kasim jelas tidak mungkin menikahi siapa-siapa. Hanya saja, sesudah kalian menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian sama-sama sederajat. Tidak ada yang namanya istri tua atau istri muda. Namun, karena usiamu lebih tua, makaYilin boleh memanggil ‘kakak’ kepadamu.”

“Tapi aku ….” baru saja Linghu Chong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menotok titik bisunya.

Menyusul kemudian si nenek lantas menotok pula titik bisu Ren Yingying, lalu berkata, “Sekali aku sudah mengambil keputusan, maka kalian tidak punya hak bicara lagi. Hm, apa kau tidak senang, dalam sekaligus mendapatkan dua istri yang cantik jelita? Si bangsat gundul Bujie itu sungguh tidak becus. Anak perempuannya sakit rindu, tapi dia cuma gelisah dan kelabakan tanpa daya. Sebaliknya, aku hanya turun tangan sedikit saja segala urusan langsung beres.”

Usai berkata demikian perempuan tua itu lalu melangkah pergi.

Linghu Chong dan Ren Yingying hanya saling pandang sambil menyeringai. Untuk bicara mereka tidak dapat, untuk memberi isyarat juga tidak bisa bergerak.

Sementara itu matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sinarnya yang hangat memancar masuk melalui jendela. Linghu Chong menatap wajah Ren Yingying yang cantik memesona. Dilihatnya sinar mata si nona sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol obat dan kain pembalut yang terletak di atas bangku. Raut mukanya berseri-seri, jelas ia sedang menertawai Linghu Chong yang nyaris dikebiri. Namun sorot mata gadis itu segera beralih dan kepalanya menunduk dengan wajah bersemu merah. Sepertinya ia merasa malu karena urusan demikian tidak pantas untuk diucapkan, bahkan untuk dipikirkan.

Melihat wajah si nona yang rikuh dan malu itu, tanpa terasa jantung Linghu Chong berdebar kencang. Terpikir olehnya, “Andai saja saat ini tubuhku dapat bergerak bebas, sungguh aku ingin memeluk dan menciumnya. Sekalipun dia merasa malu juga tetap tidak bisa mengelak.”

Dilihatnya sinar mata Ren Yingying perlahan menggeser ke arahnya. Ketika sinar mata keduanya bertemu, lekas-lekas Ren Yingying berpaling. Warna merah di pipinya tadi sebenarnya sudah memudar tapi kini mendadak timbul kembali.

Dalam benak Linghu Chong terlintas pikiran, “Cintaku terhadap Yingying suci dan teguh. Selamanya takkan pernah berubah. Tapi kalau nenek gila itu memaksaku menikahi Adik Yilin, maka aku harus pura-pura menurutinya. Apabila totokanku sudah terbuka dan aku sudah memegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya. Bagaimanapun hebatnya nenek jahat ini kalau dibandingkan Zuo Lengchan atau Ketua Ren jelas masih kalah jauh. Apalagi dalam ilmu pedang sudah tentu dia bukan tandinganku. Kehebatannya hanya terletak dalam hal kegesitan dan menyergap secara tiba-tiba. Kalau ia benar-benar bertarung secara terang-terangan, aku yakin Yingying dapat mengalahkannya. Dalam hal kekuatan tenaga juga masih kalah melawan Biksu Bujie.”

Usai berpikir demikian, sekilas dilihatnya Ren Yingying sedang memandangnya lagi. Hanya saja saat ini si nona tidak lagi malu-malu. Sepertinya ia sudah tidak memikirkan soal kasim segala. Sorot mata gadis itu beralih ke atas dengan bibir tersenyum simpul. Rupanya ia sedang menertawai kepala Linghu Chong yang gundul licin.

Linghu Chong sendiri ingin tertawa, namun mulutnya entah mengapa tidak dapat mengeluarkan suara. Dilihatnya Ren Yingying bertambah geli. Tiba-tiba bola mata gadis itu tampak mengerling aneh, seolah memperlihatkan raut muka yang nakal. Ia menampilkan wajah mengejek lalu mengedipkan mata kirinya sekali, kemudian sekali lagi.

Linghu Chong tidak paham apa maksud gadis itu. Dilihatnya si nona kembali berkedip dua kali. Akhirnya, Linghu Chong pun berpikir, “Dia berkedip dua kali, apa maksudnya? Ah, aku tahu. Tentu dia sedang mengejek aku yang dipaksa menikahi dua istri.”

Segera ia pun membalas main mata dengan mengedipkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang tegas, seolah hendak mengatakan. “Aku hanya menikah denganmu seorang saja. Aku tidak akan pernah mengambil istri kedua.”

Namun, Ren Yingying tampak menggeleng perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Linghu Chong balas menggeleng. Ia bermaksud menggelengkan kepala lebih keras untuk menunjukkan tekadnya yang kuat, namun sekujur tubuhnya tertotok terlalu banyak, sukar mengeluarkan tenaga. Terpaksa ia hanya memperlihatkan sikap dan raut muka sungguh-sungguh dan setulus hati.

Ren Yingying terlihat mengangguk perlahan. Sorot matanya kini beralih ke tempat pisau cukur yang tergeletak di lantai. Perlahan ia menggeleng kembali, seolah hendak mengatakan, “Aku tahu tekadmu. Tapi tolong diingat, jangan-jangan kau akan dikebiri oleh pisau cukur itu.”

Linghu Chong tidak menanggapi. Ia hanya menatap tajam kepada si nona. Sinar mata Ren Yingying kemudian juga bergeser dan keduanya saling pandang kembali.

Jarak kedua muda-mudi itu sekitar dua-tiga meter. Namun dengan saling pandang entah bagaimana dua pasang mata mereka dapat saling berbicara. Keduanya bagaikan satu hati dan saling memahami perasaan masing-masing. Tidak ada lagi rasa bimbang dalam hati mereka. Menikahi Yilin atau tidak, bukan lagi masalah penting. Menjadi biksu atau kasim bukan lagi masalah penting. Bahkan, hidup atau mati juga bukan lagi masalah penting. Bagi mereka asalkan kedua hati telah bersatu, masing-masing sudah merasa puas. Sekalipun hari itu langit runtuh dan bumi hancur juga takkan merusak perasaan bahagia mereka.

Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesra. Entah sudah berapa lama waktu berlalu tiba-tiba terdengar suara tangga loteng berbunyi. Begitu mendengar ada orang yang datang seketika suasana mesra di antara kedua orang itu mulai buyar dan mereka pun terbangun dari alam bahagia yang tak bertepi itu.

Terdengar suara seorang perempuan muda berkata, “Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku kemari?” Suara ini jelas suara Yilin.

Linghu Chong dan Ren Yingying lantas mendengar dua orang memasuki ruang sebelah dan duduk di sana. Terdengar suara si nenek berkata perlahan, “Jangan lagi kau memanggil aku nenek bisu. Aku sama sekali tidak bisu.”

“Hahh, jadi … jadi … kau tidak … tidak bisu? Apa kau sudah sembuh?” seru Yilin dengan perasaan sangat terkejut.

“Selamanya aku bukan seorang bisu,” sahut si nenek.

“Jika begitu kau pun … kau pun tidak tuli. Jadi kau … kau dapat mendengar … mendengar semua ceritaku?” sahut Yilin menegas. Nada suaranya memperlihatkan rasa kaget dan heran tak terhingga.

“Kenapa kau takut, Nak?” kata si nenek. “Jika aku dapat mendengar ucapanmu bukankah itu lebih baik?”

Untuk pertama kalinya Linghu Chong mendengar nada ucapan perempuan tua itu sangat lembut, penuh dengan kasih sayang. Ini menunjukkan hatinya tidak sekeras batu. Di depan putri kandung sendiri akhirnya mengalir juga perasaan hangat seorang ibu.

Namun Yilin masih sangat terperanjat. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Ti… tidak, aku… aku pergi saja!”

“Nanti dulu, duduklah sebentar saja,” kata si nenek mencegah. “Aku ingin membicarakan suatu hal penting denganmu.”

“Tidak, aku … aku tidak mau dengar,” jawab Yilin. “Kau … kau telah menipuku. Selama ini kusangka kau tidak dapat mendengar, maka itu …. maka itu, aku bercerita macam-macam padamu. Ternyata … ternyata kau menipu aku.” Suaranya terdengar serak dan terputus-putus. Sepertinya ia hampir menangis.

Perlahan si nenek menepuk bahu Yilin dan berkata lembut, “Anak baik, anak manis, jangan khawatir. Aku tidak berniat menipumu. Aku hanya khawatir kau jatuh sakit karena menahan perasaanmu, maka itu aku pun membiarkanmu bercerita agar hatimu lebih lapang. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Gunung Henshan ini, aku sudah menyamar sebagai seorang bisu tuli. Ini karena suatu alasan pribadi, jadi bukan untuk menipumu saja.”

(Bersambung)