Bagian 71 - Menyamar Sebagai Perwira

Linghu Chong menyamar sebagai perwira.

Xiang Wentian menanggapi, “Mungkin dia memiliki alasan lain. Pertama, dia tidak sabar menunggu, tidak tahu kapan Ketua secara resmi menyerahkan kedudukan padanya; kedua, dia merasa tidak tenang, khawatir jangan-jangan ada perubahan secara mendadak.”

“Padahal segala sesuatu sudah diaturnya dengan baik. Perubahan mendadak apa lagi yang ia takuti? Sungguh sukar dimengerti,” kata Ren Woxing. “Ketika berada di dalam penjara, aku banyak memikirkan tentang ini. Semua tipu muslihatnya dapat kupahami, namun tetap saja aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia memberontak? Memang, dia agak iri kepadamu. Dia khawatir jangan-jangan aku akan mengangkatmu sebagai penggantiku. Tapi setelah kau pergi tanpa pamit, dia sudah kehilangan saingan utama. Seharusnya dia dapat menunggu dengan sabar.”

Xiang Wentian berkata, “Pada tahun ketika Dongfang Bubai memberontak, apakah Ketua masih ingat satu kalimat yang diucapkan Nona pada malam Hari Raya Perahu Naga?”

“Hari Raya Perahu Naga?” sahut Ren Woxing sambil menggaruk-garuk kepala. “Apa yang telah diucapkan putri kecilku? Ada hubungan apa dengan ulah Dongfang Bubai? Ah, aku sama sekali tidak ingat.”

Xiang Wentian berkata, “Ketua janganlah menganggap Nona masih anak kecil. Sebenarnya dia sangat pintar dan cerdik. Betapa teliti pikirannya tidak kalah dibanding orang dewasa. Waktu itu kalau tidak salah usia Nona baru tujuh tahun. Di tengah perjamuan pesta ia telah menghitung jumlah orang yang hadir, lalu secara mendadak bertanya kepada Ketua, ‘Ayah, mengapa pada perjamuan Hari Raya Perahu Naga dalam setiap tahun selalu berkurang satu orang?’ Waktu itu Ketua tercengang dan menjawab, ‘Setiap tahun berkurang satu orang bagaimana?’ Lalu Nona berkata, ‘Aku masih ingat tahun lalu yang hadir dalam perjamuan seperti ini ada sebelas orang. Dua tahun yang lalu adalah dua belas orang. Kalau tahun ini, satu, dua, tiga, empat, lima … cuma tinggal sepuluh orang saja.’ ”

Ren Woxing menghela napas lalu berkata, “Benar, saat itu aku pun merasa masygul setelah mendengar ucapan putri kecilku. Setahun sebelumnya Dongfang Bubai memang telah menghukum mati Adik Hao. Tahun sebelumnya lagi, Tetua Qiu telah mati secara misterius di Gansu. Sekarang aku yakin itu disebabkan tipu muslihat keji Dongfang Bubai. Dan lagi, setahun sebelumnya Tetua Wen telah dipecat, kemudian ia binasa dikeroyok jago-jago Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Sebab musababnya tentu juga perbuatan licik Dongfang Bubai. Aih, kata-kata yang diucapkan oleh putriku yang masih kecil ternyata mengandung kebenaran, tapi aku masih terlena dan tidak menyadarinya.”

Setelah diam sejenak dan minum seteguk, ia lalu melanjutkan, “Adik Xiang, terus terang Jurus Penyedot Bintang masih memiliki banyak kekurangan. Ilmu ini berasal dari zaman Dinasti Song Utara, namun sastrawan yang mencatat tidak memahaminya dengan baik. Aku sendiri sudah berlatih selama belasan tahun dan ilmu ini sangat terkenal di dunia persilatan. Orang-orang dari aliran lurus banyak yang ketakutan setengah mati begitu mendengar ilmuku ini disebut. Akan tetapi, aku sendiri mengetahui dalam ilmu saktiku ini masih terdapat kelemahan besar. Pada mulanya aku tidak menyadari itu namun masalah yang parah sedikit demi sedikit muncul. Kalau aku tidak lekas-lekas memperbaikinya, tentu akan membawa malapetaka bagiku. Tenaga-tenaga yang telah kuhisap dari orang lain akan berbalik menyerang diriku.”

Mendengar sampai di sini membuat Linghu Chong samar-samar dalam hati merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Ren Woxing terus bercerita, “Saat itu di dalam tubuhku sudah tersimpan hawa murni yang berasal dari belasan jago silat papan atas dari golongan putih maupun hitam. Agar tidak membahayakan diriku sendiri, aku berusaha melebur belasan macam tenaga dalam itu menjadi satu sehingga dapat kupergunakan. Jika tidak, aku akan selalu merasa cemas. Siang malam aku selalu memikirkannya, sehingga yang ada dalam benakku hanya masalah ini. Dalam perjamuan Hari Raya Perahu Naga waktu itu pun aku terlihat bersenda gurau dan minum-minum, padahal dalam hati sibuk memikirkan cara untuk mengalirkan tenaga dalam melalui lima puluh empat titik, yaitu dua puluh dua titik pada Pembuluh Yangqiao, dan tiga puluh dua titik pada Pembuluh Yangwei. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan putri kecilku di tengah perjamuan segera aku lupakan begitu saja.”

Xiang Wentian berkata, “Hamba sendiri merasa sangat heran. Biasanya Ketua sangat gesit dalam menghadapi persoalan, juga selalu waspada. Begitu seseorang mengucapkan beberapa kalimat saja, Ketua akan segera mengetahui maksudnya, dan selalu benar. Namun entah mengapa Ketua waktu itu tidak menyadari tipu muslihat Dongfang Bubai, juga terlihat agak … agak ….”

“Agak linglung?” sahut Ren Woxing sambil terssenyum. “Sehari-hari aku kelihatan linglung dan bodoh, seperti tidak punya pikiran, benar tidak?”

Xiang Wentian menjawab, “Benar. Setelah mendengar ucapan Nona waktu itu, saya melihat sorot mata Dongfang Bubai menunjukkan perasaan gelisah meski dia pura-pura tersenyum riang dan berkata, ‘Rupanya Nona suka keramaian. Jika demikian tahun depan kita undang lebih banyak orang untuk minum-minum, bagaimana?’ Mungkin waktu itu ia mengira Ketua telah menyiapkan rencana untuk membereskannya, namun pura-pura tidak tahu untuk mencoba reaksinya. Maklum, ia sangat hafal kecerdasan Ketua, dan dalam masalah yang jelas-jelas gamblang seperti ini mustahil Ketua tidak curiga.”

Ren Woxing mengerutkan dahi sambil kemudian berkata, “Apa yang diucapkan putri kecilku dua belas tahun yang lalu itu sama sekali tidak pernah kuingat. Sekarang kau telah menceritakannya, membuat aku samar-samar teringat putri kecilku memang pernah berkata demikian. Mendengar dia bicara seperti itu, mana mungkin Dongfang Bubai tidak gelisah?”

Xiang Wentian menambahkan, “Lagipula usia Nona semakin hari tentu semakin bertambah dewasa, dan bertambah pula kecerdasannya. Setahun atau dua tahun lagi jangan-jangan Nona akan membongkar rencana Dongfang Bubai. Atau kalau menunggu lagi, jangan-jangan Ketua berubah pikiran dan menyerahkan kekuasaan kepada Nona setelah dewasa. Maka, Dongfang Bubai tidak sabar menunggu lebih lama lagi dan lebih suka mengambil risiko dengan mengadakan pemberontakan. Mungkin inilah yang menjadi alasannya.”

Ren Woxing manggut-manggut dan menghela napas. Ia kemudian berkata, “Andai saja saat ini putri kecilku berada di sampingku, tentu kekuatan kita akan bertambah seorang kawan dan tidak akan selemah ini.”

Xiang Wentian berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Adikku, kau dengar sendiri Ketua telah mengatakan bahwa di dalam Jurus Penyedot Bintang ternyata mengandung beberapa kelemahan. Tapi aku yakin selama dua belas tahun terkurung di dalam penjara – meski cukup menderita – Ketua tentu terbebas dari segala macam beban pekerjaan sehingga memiliki banyak waktu luang untuk memikirkan hal itu. Aku yakin Ketua telah berhasil mengatasi kelemahan ilmu sakti ini. Ketua, apakah ucapan hamba benar?”

Sambil membelai janggutnya yang hitam lebat, Ren Woxing tertawa senang, lalu berkata, “Benar sekali. Untuk selanjutnya, tenaga dalam siapa pun yang kuhisap akan dapat kupergunakan dengan baik, tanpa perlu khawatir akan diserang balik oleh tenaga-tenaga itu. Hahaha, Adik Linghu, coba kau tarik napas dalam-dalam, apakah titik Yuzhen dan titik Shanzong di tubuhmu bergolak keras?”

Linghu Chong menarik napas panjang seperti apa yang dikatakan Ren Woxing. Benar juga, ia merasakan pada titik-titik tersebut ada semacam hawa murni yang melonjak-lonjak. Seketika raut mukanya pun berubah.

Ren Woxing kembali berkata, “Kau baru saja belajar sehingga belum begitu merasakan bergolaknya hawa murni itu. Dulu ketika aku belum menemukan cara untuk mengatasinya, setiap kali hawa murni pada kedua titik tersebut bergolak keras, langit dan bumi rasanya seperti terbalik, benar-benar sukar ditahan. Meskipun keadaan sunyi senyap, tapi telingaku seperti mendengar derap kaki ribuan kuda, atau suara petir yang menggelegar. Huh, kalau saja tubuhku tidak kacau balau seperti itu, mana mungkin Dongfang Bubai dan komplotannya berhasil menjalankan pemberontakan?”

Linghu Chong percaya apa yang dikatakan Ren Woxing itu bukan omong kosong belaka. Ia juga paham mengapa Ren Woxing dan Xiang Wentian membahas soal itu, adalah supaya ia memohon petunjuk kepada Ren Woxing. Namun kalau ia tetap menolak bergabung dengan Sekte Matahari dan Bulan, maka dengan sendirinya permohonan demikian sukar untuk diucapkan. Ia pun berpikir, “Inti dari Jurus Penyedot Bintang adalah bagaimana menghisap tenaga orang lain untuk dipergunakan sendiri. Sifat ilmu seperti ini sungguh keji dan mementingkan diri sendiri, sama sekali aku tidak ingin menguasainya. Untuk selanjutnya, aku juga tidak akan menggunakannya, kecuali terpaksa harus membela diri apabila diserang musuh. Tentang hawa murni liar dalam tubuhku yang sukar dilenyapkan memang sebelumnya juga begitu. Jiwaku ini rasanya seperti ditemukan kembali secara kebetulan. Aku, Linghu Chong, mana boleh hanya karena takut mati lantas mengingkari kata-kataku sendiri yang selama ini kupegang?”

Karena berpikir demikian, segera ia mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Ketua, ada satu hal yang ingin kumintakan penjelasan. Guruku pernah bercerita bahwa, Kitab Bunga Mentari adalah kitab pusaka yang tiada taranya di dunia persilatan. Jika berhasil menguasai ilmu silat dalam kitab tersebut, selain tiada tandingannya di muka bumi, juga bisa memiliki umur panjang sampai seratus tahun dan awet muda. Mengapa … mengapa Ketua tidak mempelajari kitab pusaka itu, dan sebaliknya justru … justru berlatih Jurus Penyedot Bintang yang ganas dan berbahaya?”

Ren Woxing tersenyum hambar dan menjawab, “Sebab musabab permasalahan ini tentunya tidak boleh diceritakan kepada orang luar.”

“Oh, mohon maaf aku terlalu lancang,” ujar Linghu Chong dengan muka merah, karena merasa dirinya adalah orang luar yang tidak pantas bertanya lebih lanjut.

Mendadak Xiang Wentian berdiri dan berseru dengan suara lantang, “Adik, usia Ketua sudah lanjut. Umur kakakmu ini pun hanya selisih sedikit dari Beliau. Jika kau bersedia masuk agama kami, kelak Ketua tentu akan mewariskan jabatannya kepadamu. Andaikan kau menganggap Sekte Matahari dan Bulan tidak memiliki nama baik, bukankah kelak jika kau sudah memegang tampuk pimpinan, maka kau bisa memperbaikinya, sehingga bisa membawa manfaat untuk umat manusia di dunia?”

Ren Woxing meletakkan cawan arak di atas meja dengan keras, kemudian menuangkan arak sampai penuh dan berkata, “Lebih dari seratus tahun Sekte Matahari dan Bulan bermusuhan dengan golongan yang menamakan dirinya aliran lurus. Jika kau tetap berkeras kepala tidak sudi masuk agama kami, maka penyakitmu tidak akan bisa sembuhkan, jiwamu setiap saat bisa melayang. Andaikan kau dapat hidup lebih lama lagi mungkin gurumu, ibu-gurumu, dan orang-orang Perguruan Huashan … hehe, dengan ilmu sakti yang aku miliki sekarang, terlalu mudah untuk menumpas segenap orang Huashan dan menghapus namanya dari dunia persilatan. Kita bisa bertemu di sini adalah suratan Langit. Sekarang, silakan kau minum secawan arak ini!”

Tadinya hati Linghu Chong sempat tergerak mendengar ucapan Xiang Wentian yang tulus dan masuk akal. Namun begitu mendengar perkataan Ren Woxing yang bernada ancaman membuat darah di dada pemuda itu terasa bergolak. Ia pun berseru lantang, “Ketua, Kakak, tubuhku memang pernah terluka parah dan tiada harapan untuk sembuh. Umurku juga tinggal menghitung hari saja. Namun tanpa sengaja aku telah memelajari ilmu silat Ketua sehingga nyawaku bisa diselamatkan. Tapi jika kemudian aku tidak mampu mengatasi serangan balik hawa murni liar di dalam tubuhku juga tidak masalah. Sudah lama aku tidak terlalu menganggap penting selembar nyawaku ini. Hidup dan mati sudah suratan takdir. Perguruan Huashan juga sudah berdiri selama ratusan tahun dan tentu mempunyai jalan hidupnya sendiri. Orang lain belum tentu mampu menumpasnya begitu saja ... Hari ini kita sudahi saja pembicaraan sampai di sini. Sampai jumpa di kemudian hari.”

Usai berkata demikian ia lalu memberi hormat kepada Ren Woxing dan Xiang Wentian, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Xiang Wentian bermaksud membuka suara, namun Linghu Chong sudah pergi jauh dengan gerakan secepat kilat.

Begitu keluar dari Wisma Meizhuang, Linghu Chong menarik napas dalam-dalam. Tertiup oleh angin malam yang berhembus, membuat badannya terasa segar menyenangkan. Dilihatnya bulan sabit menghias angkasa di balik ranting-ranting pepohonan liu, serta terpantul bayangannya pada permukaan air danau di kejauhan.

Linghu Chong berjalan menuju ke tepi danau. Ia kemudian berdiri termenung untuk sesaat di sana sambil berpikir, “Urusan penting yang dihadapi Ketua Ren sekarang tentunya membuat perhitungan dengan Dongfang Bubai untuk merebut kembali kedudukannya. Dengan demikian, ia belum akan mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Namun kalau Guru, Ibu Guru, dan para adik seperguruan yang tidak tahu-menahu soal ini sampai kepergok olehnya, mereka bisa celaka. Aku harus berusaha memberi tahu mereka agar segera berjaga-jaga dan selalu bersikap waspada. Tapi, entah di mana mereka saat ini berada? Apakah mereka belum kembali dari Fuzhou? Baiklah, aku juga tidak ada urusan lain dan Fuzhou juga tidak jauh dari sini. Sebaiknya aku segera menuju ke sana. Meskipun seandainya mereka sudah pulang, paling tidak aku bisa bertemu mereka di tengah jalan.”

Teringat bahwa gurunya telah menyebarkan surat ke seluruh penjuru dunia persilatan tentang pemecatannya dari Perguruan Huashan, mau tidak mau hatinya menjadi sedih. Ia kembali berpikir, “Kalau nanti aku memberi tahu Guru dan Ibu Guru bahwa aku dipaksa Ketua Ren masuk agamanya, tentu Guru dapat memahami keadaanku yang tidak sengaja bergaul dengan orang-orang Sekte Iblis. Semoga dengan begitu Guru akan menarik kembali keputusannya dan menerimaku kembali. Paling-paling aku hanya dihukum kurung di Tebing Perenungan selama tiga tahun saja. Kalau benar demikian tentunya bagus sekali.”

Karena tumbuhnya harapan akan diterima kembali oleh gurunya, semangat Linghu Chong kembali berkobar. Ia lalu mencari penginapan karena malam semakin larut. Ketika hendak tidur, ternyata saat itu sudah ramai ayam jantan berkokok, pertanda fajar sudah hampir menyingsing.

Linghu Chong bangun dari tidur setelah lewat tengah hari. Ia berpikir sebelum bertemu dengan sang guru dan ibu-guru, lebih baik jangan memperlihatkan wajah aslinya. Apalagi Yingying pernah memerintahkan Zu Qianqiu dan kawan-kawan yang lain supaya menyiarkan berita ke dunia persilatan untuk menghabisi nyawanya. Maka, ia pun memutuskan lebih baik menyamar saja demi menghindari kesulitan. Tapi sebaiknya menyamar sebagai apa?

Sambil melamun ia berjalan keluar kamar. Baru saja langkahnya sampai di pekarangan tengah, mendadak ada orang mengguyurkan sebaskom air ke arahnya. Namun dengam gerakan gesit ia berhasil menghindar sehingga siraman air tersebut mengenai tempat kosong.

Waktu berpaling, dilihatnya seorang perwira tentara memegang sebuah baskom air bekas cuci muka sedang melotot kepadanya, bahkan mengomel dengan kasar, “Kau jalan tidak pakai mata, ya? Apa kau tidak lihat tuan besarmu sedang membuang air kotor?”

Sungguh gusar hati Linghu Chong melihat ada orang yang sedemikian kasar. Sudah hampir mengguyur orang lain dengan air kotor masih mendahului memaki pula. Dilihatnya usia perwira itu sekitar empat puluhan. Wajahnya penuh cambang di kedua pipi namun sikapnya gagah. Dari pakaian seragamnya dapat diperkirakan ia seorang perwira menengah berpangkat “weiguan”. Pada pinggangnya tergantung sebilah golok. Dadanya terlihat membusung dengan perut buncit, pertanda sering menyalahgunakan kekuasaan.

“Lihat apa? Apa kau tidak mengenali tuan besarmu ini?” bentak perwira itu lagi.

Mendadak Linghu Chong mendapat akal. Ia pikir menarik juga jika menyamar sebagai perwira ini. Dengan demikian ia dapat berkeliaran ke sana kemari dengan bebas, tanpa khawatir diperhatikan kaum persilatan. Mulutnya pun tersenyum simpul membayangkan hal itu.

“Tertawa apa? Nenekmu, apanya yang lucu?” demikian perwira itu lagi-lagi membentak.

Linghu Chong tidak menggubris lebih jauh. Ia pergi menemui pengurus penginapan untuk membayar tagihannya. Dengan suara perlahan ia pun bertanya pula, “Dari mana perwira garang itu berasal?”

Pengurus penginapan menjawab, “Siapa yang tahu dia dari mana? Dia mengaku datang dari Kota Beijing. Baru menginap satu malam di sini, pelayan yang meladeni sudah kena tampar tiga kali. Sudah banyak pula makanan dan arak bagus yang dia habiskan, entah nanti mau bayar atau tidak.”

Linghu Chong mengangguk-angguk, kemudian keluar dari penginapan dan masuk ke dalam sebuah kedai minum. Ia memesan sepoci teh dan minum dengan perlahan. Setelah menunggu satu jam, terdengar suara derap kaki kuda. Rupanya perwira itu telah keluar dari penginapan dengan menunggang seekor kuda merah. Ia melecutkan cambuknya berkali-kali sambil membentak-bentak, “Minggir, minggir! Nenekmu, hayo lekas minggir!”

Beberapa pejalan kaki yang terlambat menyingkir pun terkena lecutan cambuknya hingga berteriak-teriak kesakitan.

Sejak awal Linghu Chong telah membayar teh yang dipesannya. Begitu melihat sang perwira memacu kudanya, ia segera bangkit mengikuti di belakang. Perwira itu terus melarikan kudanya ke jalan raya melewati pintu gerbang barat. Setelah cukup jauh meninggalkan kota, Linghu Chong pun mempercepat langkah kakinya. Sesampainya di jalan sepi, ia pun melompat dan menghadang ke depan kuda sambil mengibaskan tangan kanannya.

Kontan saja kuda yang ditunggangi perwira itu terkejut dan meringkik sambil berjingkrak ke atas. Hampir saja perwira itu jatuh terbanting. Untung kepandaian menunggang kudanya cukup mahir sehingga badannya ikut menegak dengan masih tetap duduk di atas pelana.

Linghu Chong membentak keras, “Nenekmu, kau jalan tidak pakai mata, ya? Hampir saja binatang tungganganmu ini menubruk mati bapakmu.”

Perwira itu sangat gusar karena tiba-tiba saja dihadang perjalanannya, apalagi dimaki seperti itu. Ketika kudanya sudah berdiri tegak, ia segera melecutkan cambuknya ke atas kepala Linghu Chong.

Linghu Chong merasa kurang leluasa bertindak di tengah jalan raya. Ia pun berpura-pura menjerit ketakutan lalu berlari menuju sebuah jalan kecil di dekat situ. Sudah tentu si perwira tidak mau menyudahi begitu saja. Ia melompat turun dari kuda dan menambatkan tunggangannya itu sekadarnya di batang pohon, lalu mengejar ke arah Linghu Chong pergi.

“Aduh!” teriak Linghu Chong sambil terus berlari ke dalam hutan.

Dengan membentak-bentak dan memaki kalang kabut perwira itu terus mengejar. Tapi baru saja ia memasuki hutan itu, tiba-tiba iganya terasa kesemutan. Tanpa ampun ia pun jatuh tersungkur.

Dengan kaki kiri menginjak dada perwira yang sudah roboh tak berkutik itu, Linghu Chong tertawa dan berkata, “Nenekmu, kepandaian cuma begini saja tapi berani memimpin pasukan perang segala?”

Ia kemudian menggeledah baju perwira itu dan mengeluarkan sebuah amplop besar. Pada sampul tertulis “Surat Pengangkatan” dengan stempel merah Kementerian Angkatan Perang. Setelah sampul dibuka, di dalam amplop terdapat selembar kertas tebal, yang isinya berupa surat pengangkatan yang ditujukan kepada Wu Tiande, dari jabatannya sebagai perwira distrik Cangzhou di Hubei, menjadi komandan militer Kota Quanzhou di Fujian. Ia ditetapkan pula supaya segera berangkat ke tempat tugas yang baru tersebut.

“Ternyata tuan besar komandan tentara. Jadi, kau ini yang bernama Wu Tiande, ya?” tanya Linghu Chong dengan tertawa.

Lantaran dadanya terinjak dan tak bisa berkutik, muka perwira itu menjadi merah padam. Ia masih mencoba membentak, “Lekas lepaskan aku, kau … kau berani menghina pejabat negara? Apa kau ti … tidak takut pada hukum?” Walaupun mulutnya masih membentak, tapi lagaknya sudah tidak angkuh seperti tadi.

Linghu Chong kembali tertawa dan berkata, “Bapakmu ini kehabisan bekal, ingin pinjam pakaianmu untuk digadaikan.” Tangannya lalu menepuk perlahan ubun-ubun perwira itu sehingga pingsan. Dengan cepat ia lantas melucuti pakaian seragam orang bernama Wu Tiande itu. Ia berpikir perwira ini tentu sudah biasa menindas rakyat kecil, maka harus diberi pelajaran yang setimpal. Segera ia melucuti pula pakaian dalam orang itu hingga telanjang bulat.

Ia kemudian mengambil bungkusan perwira itu yang terasa agak berat. Begitu dibuka, ternyata berisi perak beberapa ratus tahil, serta tiga buah emas lantakan yuanbao. Pikirnya, “Ini tentu hasil pemerasan terhadap rakyat kecil. Sukar bagiku untuk mengembalikan ke asalnya, terpaksa untuk beli arak saja. Hahaha, hahaha!”

Sambil bergelak tawa ia lantas menanggalkan pakaian sendiri, lalu mengenakan seragam perwira itu lengkap dengan sepatu bot kulit, golok kebesaran, serta menyandang bungkusan berisi uang perak dan emas tadi. Pakaiannya sendiri kemudian dirobek-robek untuk dipakai mengikat Wu Tiande yang sudah tidak bisa berkutik itu pada sebatang pohon. Mulut si perwira dijejali pula dengan tanah liat sampai penuh. Tidak berhenti sampai di sini, Linghu Chong pun mencukur habis kumis, janggut, dan cambang Wu Tiande dan memasukkannya ke dalam saku baju.

“Hahaha, sekarang aku menjadi penjahat. Bagus sekali!” ujarnya kemudian bergegas kembali ke jalan raya.

Begitu menemukan kuda si perwira, Linghu Chong langsung melompat ke punggungnya dan melecutkan cambuk ke udara. Mulutnya lantas membentak-bentak, “Minggir, minggir! Nenekmu, kau jalan tidak pakai mata, ya? Hahahaha!” Di tengah suara tertawanya itu ia melarikan kuda rampasan tersebut ke arah selatan.

Malamnya ia menginap di Kota Yuhang. Pengurus dan pelayan penginapan meladeni dengan sangat hormat dan penuh perhatian. Esok paginya, Linghu Chong menanyakan arah ke Fujian, lalu memberi persenan lima tahil perak. Kontan pengurus dan pelayan penginapan sangat berterima kasih dan mengantar keberangkatannya dengan hormat sampai ke luar gerbang.

“Untung kalian bertemu perwira gadungan. Jika bertemu Wu Tiande yang asli, tentu kalian bisa celaka,” pikir Linghu Chong.

Ia kemudian pergi ke sebuah toko membeli sebuah cermin dan sebotol lem, setelah itu memacu kudanya meninggalkan kota kecil tersebut. Setelah sampai di tempat sepi, dikeluarkannya cermin tadi dan ia mulai menempelkan potongan kumis, janggut, dan cambang milik Wu Tiande ke wajahnya. Perlu waktu dua jam untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Sambil memandangi cermin, Linghu Chong tak kuasa menahan tawa melihat perubahan penampilannya kali ini.

Setelah perjalanan melewati Chuzhou dan sampai di Jinhua, logat bicara daerah selatan mulai terasa. Tentu saja Linghu Chong kesulitan mendengarnya karena logat bicara penduduk di sini berbeda dengan daerah utara dan tengah. Untungnya orang-orang mengira ia adalah perwira asli sehingga mereka pun berusaha berbicara dalam bahasa Mandarin kepadanya. Selain itu, Linghu Chong juga sangat gembira karena seumur hidup baru kali ini memiliki uang begitu banyak. Ia pun tidak menyia-nyiakannya dengan membeli arak dan minum sepuas-puasnya.

Namun demikian, terkadang berbagai jenis hawa murni yang tersimpan dalam tubuhnya mendadak bergolak lagi dan memaksa masuk ke dalam semua pembuluh. Terkadang ia merasa begitu sakit sampai kepalanya pusing, pandangan kabur, perut mual dan ingin muntah. Maka, setiap kali hal itu terjadi ia pun mendorong berbagai arus tenaga tersebut dan membuyarkannya melalui berbagai pembuluh sesuai rumus ilmu yang diukir Ren Woxing di atas dipan besi. Begitu berbagai hawa murni tersebut meninggalkan Dantian di bawah perutnya, seketika perasaannya menjadi lega dan badan terasa segar pula.

Memang dengan cara demikian, ia merasa tenaga dalamnya menjadi semakin kuat, namun sekaligus ia semakin dalam terjerumus pula. Namun untungnya ia memiliki pikiran, “Selembar nyawaku ini seperti ditemukan kembali. Bisa hidup lebih lama sehari saja, bagiku adalah satu anugerah besar.” Karena berpikir demikian membuat hatinya merasa tenang.

Setelah tengah hari ia pun melewati daerah Quzhou dan memasuki Pegunungan Xianxia. Jalan di pegunungan ini terjal dan berliku-liku, makin lama makin tinggi, serta jarang dilewati orang. Untung saja kuda yang ia tunggangi adalah kuda bermutu baik dan cukup tangguh berlari melewati jalan pegunungan.

Setelah berkuda lebih dari dua puluh li menyusuri lereng pegunungan tersebut, Linghu Chong merasa keadaan bertambah sunyi dan tidak lagi terlihat orang lewat. Kini ia merasa perjalanannya terlalu terburu-buru sehingga melewatkan penginapan atau rumah terakhir di daerah situ, padahal hari sudah hampir gelap. Terpaksa ia pun memetik buah-buahan liar yang ditemukannya sekadar untuk mengganjal perut.

Ketika melihat ke bawah tebing, tampak sebuah gua kecil yang agak kering dan sepertinya cukup aman dari gangguan serangga dan binatang lainnya. Segera ia pun menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan membiarkan hewan itu merumput. Lalu, ia sendiri mencari rumput kering untuk digunakan sebagai alas tidur di gua tersebut.

Tiba-tiba Linghu Chong merasa hawa murni pada titik Dantian bergolak. Segera ia duduk bersamadi untuk mengatasinya. Ilmu sakti milik Ren Woxing semakin sering digunakan justru semakin sukar dikendalikan, serta terasa tidak nyaman. Namun ia tidak menyerah dan terus-menerus mengerahkannya, sampai akhirnya badan terasa nyaman tak terlukiskan, seperti dewa yang melayang-layang ringan di kahyangan.

Ia kemudian menarik napas panjang, lalu bangkit dari duduk. Bibirnya tersenyum getir sambil berpikir, “Tempo hari aku bertanya kepada Ketua Ren mengapa dia mempelajari Jurus Penyedot Bintang, padahal di tangannya sudah ada Kitab Bunga Mentari yang tiada bandingannya. Namun aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Sekarang aku telah paham sebab-musababnya. Ternyata Jurus Penyedot Bintang ini kalau sudah dipelajari, sulit untuk dihentikan begitu saja. Benar-benar membuat ketagihan.”

Berpikir demikian mau tidak mau membuat hatinya cemas. “Ibu Guru pernah bercerita kepadaku tentang orang-orang suku Miao yang suka memelihara serangga beracun. Meskipun mereka sadar hal itu sangat berbahaya, tapi mereka sukar juga untuk melepaskannya. Padahal kalau serangga-serangga itu tidak digunakan untuk menyerang orang lain, maka mereka akan berbalik menyerang majikan sendiri. Jangan-jangan di masa depan nasibku seperti orang Miao yang memelihara seraangga beracun itu?”

Ia lalu keluar gua dan melihat bintang-bintang memenuhi angkasa. Saat itu di sekeliling gua yang terdengar hanya suara serangga belaka. Tiba-tiba kemudian terdengar suara langkah kaki orang di jalan pegunungan. Jaraknya memang masih jauh, namun saat ini tenaga dalam Linghu Chong teramat kuat, sehingga pendengarannya menjadi lebih tajam pula. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Segera ia pun melepaskan tali kudanya, lalau menepuk pantat kuda itu perlahan agar berjalan ke arah lembah. Ia sendiri lantas bersembunyi di belakang pohon.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki orang-orang itu semakin mendekat. Jumlahnya ternyata tidak sedikit. Di bawah sinar bintang yang remang-remang terlihat orang-orang itu memakai seragam berwarna hitam. Seorang di antaranya terlihat memakai ikat pinggang kuning. Sepertinya mereka adalah rombongan anggota Sekte Iblis sebanyak tiga puluh orang lebih, yang semuanya berjalan tanpa berbicara sedikit pun.

“Mereka menuju ke arah Fujian. Apakah ada hubungannya dengan Perguruan Huashan? Apakah mereka mendapat perintah Ketua Ren untuk membuat susah Guru dan Ibu Guru?” pikir Linghu Chong. Ditunggunya rombongan itu pergi agak jauh, baru kemudian ia membuntuti dari belakang dengan hati-hati.

Setelah melewati beberapa li kemudian, jalan pegunungan itu mendadak berubah curam. Pada kedua tepi tampak berdiri tebing yang menjulang tinggi. Pada tengah-tengah kedua tebing terdapat jalanan sempit yang hanya cukup dilewati dua orang berdampingan. Ketiga puluh orang itu berjalan berurutan membentuk barisan panjang seperti ular. Mereka tampak mendaki jalanan sempit yang curam tersebut.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Mereka ada di tempat tinggi, sedangkan aku di tempat rendah. Jika ada satu dari mereka yang kebetulan menoleh ke belakang, maka aku akan langsung ketahuan.” Maka, ia pun lantas menyusup ke dalam semak-semak rumput di tepi jalan. Kalau rombongan itu sudah melewati puncak tebing dan turun melalui lereng di sebelah selatan sana, barulah ia kembali mengejar.

Di luar dugaan, ketika orang-orang itu sampai di atas bukit, secara tiba-tiba mereka berpencar dan bersembunyi di balik bebatuan padas. Hanya dalam waktu sekejap mereka semua sudah menghilang, bahkan bayangan pun tidak terlihat.

Linghu Chong terkejut dan mengira kehadirannya telah diketahui oleh orang-orang itu. Namun ia segera menemukan jawaban dan berpikir, “Mereka bersembunyi di sana adalah untuk menyergap musuh yang hendak naik ke atas bukit. Benar, tempat ini memang sangat berbahaya. Kalau mereka tiba-tiba menyerang tentu pihak lawan akan sulit menghindar. Siapa kira-kira yang hendak mereka sergap? Apakah Guru dan Ibu Guru telah pulang ke utara, namun ada hal penting yang membuat mereka harus kembali ke selatan lagi? Kalau tidak, mengapa harus berjalan malam-malam melewati tempat seperti ini? Apakah malam ini aku bisa berjumpa dengan Adik Kecil?”

Berpikir tentang Yue Lingshan seketika sekujur tubuhnya terasa merinding panas. Pemuda itu lantas merangkak keluar dari balik semak rumput, lalu mendaki hingga menjauhi jalan setapak tadi. Sesudah cukup jauh barulah ia berlari turun ke bawah sekencang-kencangnya. Sesudah tidak tampak lagi tanjakan bukit tadi ia baru berani kembali ke jalan pegunungan dan melangkah menuju ke arah utara.

Sambil terus berlari ia memasang telinga dengan seksama, memperhatikan apakah ada suara langkah orang yang datang. Sepuluh li kemudian, tiba-tiba dari tempat yang lebih tinggi di sebelah kiri lereng terdengar suara ketus seseorang sedang berkata, “Kau masih saja membela Linghu Chong keparat itu?”

Di tengah kegelapan malam pada sebuah pegunungan sunyi mendadak namanya disebut secara jelas membuat Linghu Chong terkejut. Ia pun langsung berpikir, “Itu pasti rombongan Guru!”

Suara ketus tersebut jelas suara seorang wanita, namun bukan suara Ning Zhongze, juga bukan suara Yue Lingshan. Menyusul kemudian terdengar pula suara seorang perempuan lain, namun jaraknya agak jauh dan terdengar lirih, sehingga tidak jelas apa yang ia katakan.

Linghu Chong memandang ke arah lereng. Tampak di sana berdiri lebih dari tiga puluh orang. Ia pun bertanya-tanya dalam hati, “Rombongan dari mana mereka itu? Siapa yang telah memaki aku? Kalau itu romongan Perguruan Huashan dan ada yang memaki diriku seperti itu, entah bagaimana sikap Adik Kecil?” Berpikir demikian membuat hatinya terasa pedih.

Segera ia menyusup ke dalam semak rumput dan berjalan memutari bukit hingga tiba di sisi satunya. Sambil berjalan membungkuk sampailah ia di balik sebatang pohon besar. Saat itu terdengar suara seorang perempuan muda sedang berkata, “Bibi Guru, Kakak Linghu berjiwa kesatria dan berbudi luhur ….”

Hanya mendengar kalimat ini saja dalam benak Linghu Chong langsung terbayang seraut wajah bulat telur yang cantik manis, karena ia tahu bahwa itu adalah suara biksuni muda dari Perguruan Henshan, bernama Yilin. Mendengar suara tersebut dadanya terasa hangat, namun kemudian perasaan kecewa merasuki pikirannya karena yang datang ternyata bukan rombongan Sang Guru. Perasaannya yang terguncang membuat ucapan Yilin untuk selanjutnya tidak terdengar jelas olehnya.

Suara wanita pertama yang ketus tadi kembali berkata, “Usiamu masih sangat muda tetapi mengapa kau sangat keras kepala? Memangnya surat edaran Ketua Perguruan Huashan itu palsu? Tuan Yue telah memberi tahu semua orang bahwa Linghu Chong telah dikeluarkan dari Perguruan karena bersekongkol dengan orang-orang Sekte Iblis. Memangnya tuduhan ini hanya fitnah belaka? Dulu kau memang pernah ditolong Linghu Chong, tapi besar kemungkinan itu hanyalah pancingan sedikit hutang budi untuk menjebak kita.”

“Bibi Guru, kejadian itu bukan hanya sedikit hutang budi,” tukas Yilin. “Tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri Kakak Linghu telah ….”

“Masih kau juga menyebutnya ‘kakak’?” bentak wanita yang pertama tadi. “Linghu Chong itu penjahat yang banyak akal dan penuh tipu daya. Dia sengaja berpura-pura baik untuk menipu anak ingusan seperti kalian. Hati kaum persilatan sulit ditebak. Segala macam muslihat keji ada di sana. Kalian yang maih hijau belum berpengalaman, mudah diperdaya orang.”

“Perintah Bibi Guru tentu saja kami patuhi,” sahut Yilin. “Hanya saja … hanya saja Ka….” Hampir saja kata “kakak” terucapkan olehnya namun segera ditelannya kembali mentah-mentah.

“Hanya saja kenapa?” tanya suara wanita tua tadi.

Yilin sangat ketakutan dan tidak berani bicara lagi.

Wanita tua itu lantas berkata, “Kali ini Ketua Zuo dari Perguruan Songshan telah mengabarkan berita bahwa Sekte Iblis telah bergerak secara besar-besaran menuju Fujian untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin di Kota Fuzhou. Ketua Zuo memberikan perintah supaya Serikat Pedang Lima Gunung bersatu entah bagaimana caranya menghalangi rencana para siluman sesat itu. Kalau kitab tersebut sampai jatuh ke tangan mereka, tentu ilmu silat Sekte Iblis bertambah maju pesat, sehingga perserikatan kita bisa-bisa mati tanpa kubur. Putra tunggal Keluarga Lin sudah menjadi murid Tuan Yue, dan jika kitab pedang itu juga berada di tangan Perguruan Huashan, maka kita ikut bersyukur. Yang perlu kita khawatirkan adalah seribu satu macam tipu muslihat Sekte Iblis untuk merebut kitab pedang itu, apalagi sekarang mereka mendapat bantuan murid murtad Linghu Chong yang mengetahui seluk beluk permasalahan ini. Keadaan sudah genting menjadi bertambah runyam. Ketua Zuo telah membebankan tugas berat ini di pundakku untuk memimpin kalian ke Fujian. Masalah ini menyangkut hidup mati aliran lurus dan aliran sesat, maka kita janganlah menganggap enteng. Aku pun akan melaksanakan tugas ini dengan penuh waspada. Kira-kira tiga puluh li lagi, kita akan sampai di tapal batas Zhejiang dan Fujian. Maka malam ini biarlah kita menahan letih demi meneruskan perjalanan ke Nianbapu dan kita akan bermalam di sana. Kita harus mendahului mereka sampai di Fuzhou dan menunggui musuh menjalankan rencana sampai mereka letih sendiri. Namun demikian, kita harus tetap berhati-hati.”

“Baik!” jawab puluhan perempuan mengiakan.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Wanita tua ini bukan Biksuni Dingxian Ketua Perguruan Henshan, juga bukan Biksuni Dingyi guru Adik Yilin. Di antara Tiga Biksuni Sepuh tentunya dia adalah Biksuni Dingjing. Dia telah menerima surat edaran dari Guru sehingga menganggapku sebagai orang jahat. Mengenai hal ini aku tidak bisa menyalahkan dia. Hm, dia mengira rombongannya sudah mendahului berjalan di depan, padahal orang-orang Sekte Iblis sudah bersembunyi di atas bukit sana. Untung saja aku melihat semuanya. Tapi bagaimana sebaiknya caraku memberi tahu mereka?”

Biksuni tua bernama Dingjing itu kembali berkata, “Begitu kita memasuki wilayah Fujian, maka kita harus selalu waspada. Di segala penjuru kita harus senantiasa merasa diintai musuh. Bukan mustahil pelayan rumah makan atau pesuruh penginapan adalah mata-mata Sekte Iblis. Jangankan di kamar sebelah, bahkan di dalam semak-semak rumput ini bisa jadi ada musuh yang bersembunyi. Oleh karena itu, selanjutnya tidak seorang pun boleh menyebut-nyebut Kitab Pedang Penakluk Iblis, bahkan nama Tuan Yue, Linghu Chong, juga Dongfang Bibai tidak boleh disebut-sebut.”

“Baik!” jawab para murid perempuan bersama-sama.

Linghu Chong tahu bahwa Dongfang Bibai adalah nama ejekan untuk menyebut Dongfang Bubai. Nama “Bubai” yang bermakna “tak terkalahkan”, membuat kaum aliran lurus menggantinya dengan sebutan “Bibai” yang bermakna “pasti kalah”. Mendengar namanya disejajarkan dengan Sang Guru dan Dongfang Bubai, membuat Linghu Chong hanya tersenyum getir. Ia berpikir, “Aku hanya seorang keroco yang tidak punya nama, mengapa sedemikian dihargai oleh Sesepuh dari Perguruan Henshan ini? Aku sama sekali tidak berani menerima.”

Biksuni Dingjing berkata lagi, “Mari kita lanjutkan perjalanan!”

Kembali para murid mengiakan. Sedetik kemudian tujuh orang dari mereka tampak berlari cepat mendahului turun ke bawah. Selang sejenak kembali tujuh orang berlari menyusul pula.

Ilmu meringankan tubuh Perguruan Henshan cukup terkenal dan memiliki ciri khas tersendiri. Tujuh orang pertama dan tujuh orang kedua bergerak rapi dan selalu menjaga jarak tetap. Jubah mereka melambai-lambai ketika melangkah bersama sehingga menjadi pemandangan yang indah jika dilihat dari kejauhan. Tidak lama kemudian kembali tujuh orang berlari menyusul ke bawah. Secara keseluruhan ada enam kelompok yang masing-masing berisi tujuh orang, kecuali kelompok terakhir yang berisi delapan orang karena ditambah Biksuni Dingjing. Murid-murid Perguruan Henshan yang sedang bergerak menuju selatan itu tidak hanya terdiri dari kaum biksuni saja, tetapi juga ada dari golongan awam.

Dalam kegelapan itu Linghu Chong tidak bisa mengetahui Yilin berada di kelompok mana. Ia juga berpikir, “Para saudari dari Perguruan Henshan memiliki kepandaian tersendiri. Namun begitu mendaki lereng bukit sana, dan menyusuri jalan kecil yang diapit oleh kedua tebing yang curam itu, kemudian tiba-tiba disergap oleh kawanan Sekte Iblis, tentu akan jatuh banyak korban.”

Segera ia mencabut segenggam rumput hijau dan memerasnya hingga mengeluarkan cairan. Cairan rumput itu kemudian dioleskannya ke muka sendiri, kemudian ditambah pula dengan lumpur dan debu tanah. Setelah merasa penampilannya tidak lagi dapat dikenali, ia pun berlari memutar ke sebelah kiri jalanan untuk menyusul rombongan tadi.

Ilmu meringankan tubuh Linghu Chong sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun karena sekarang ia memiliki tenaga dalam melimpah yang berasal dari para jago seperti Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, Biksu Fangsheng, dan Heibaizi sehingga langkah kakinya pun menjadi jauh lebih cepat daripada jago silat papan atas sekalipun. Dengan sekali mengerahkan tenaga ia langsung dapat mengejar rombongan dari Perguruan Henshan tadi. Khawatir keberadaannya didengar oleh Biksuni Dingjing yang pasti berkepandaian tinggi itu, ia pun berlari memutar untuk kemudian mendahului di depan rombongan. Sesudah kembali di jalanan pegunungan, larinya menjadi semakin cepat.

Setelah berlari agak lama ia pun sampai di bawah tanah tanjakan dekat jalanan sempit tadi. Saat itu keadaan sunyi senyap, tidak terdengar suara apa pun. Ia kembali berpikir, “Jika aku tidak menyaksikan sendiri kawanan Sekte Iblis itu bersembunyi di atas tebing sana, siapa yang dapat mengira bahwa di tempat ini sedang menunggu bahaya maut yang setiap saat bisa meletus? Sungguh celaka.”

Perlahan-lahan Linghu Chong mendaki tanjakan sempit yang diapit dua dinding tebing curam itu. Ia menghentikan langkah ketika jaraknya dengan tempat persembunyian orang-orang Sekte Iblis hanya tinggal satu li saja. Segera ia duduk di situ sambil termenung, “Kemungkinan besar kaum Sekte Iblis itu sudah melihat diriku. Namun mereka pasti khawatir jika mereka bergerak tentu persembunyian mereka akan diketahui pihak Perguruan Henshan. Hm, rasanya mereka tidak akan berani menggangguku.”

Sesudah menunggu sebentar, akhirnya ia merebahkan diri di tengah jalan. Selang sejenak, sayup-sayup terdengar suara langkah orang di bawah sana, pertanda rombongan yang hendak disergap sudah mendekat. Tiba-tiba timbul pikirannya ingin memancing orang-orang Sekte Iblis itu supaya keluar dan bertempur dengannya sehingga rombongan Perguruan Henshan dapat mengetahui keberadaan mereka.

Segera ia pun menggumam sendiri, “Huh, selama hidup aku paling benci kepada pengecut-pengecut yang hanya pintar menyerang dalam gelap. Kalau berani kenapa tidak bertempur secara terang-terangan? Huh, main sembunyi-sembunyi untuk membuat celaka orang lain, benar-benar perbuatan manusia rendah yang tidak tahu malu.”

Ia berbicara demikian sambil menghadap ke atas bukit. Meskipun suaranya tidak begitu lantang, tapi disertai tenaga dalam sehingga dapat berkumandang sampai jauh. Tak disangka orang-orang Sekte Iblis itu ternyata cukup sabar dalam menahan amarah sehingga mereka tidak peduli pada sindiran Linghu Chong.

Linghu Chong berpamitan kepada Ren Woxing.


Wu Tiande menyiram air kotor.
 
Biksuni Dingjing memimpin para murid Perguruan Henshan.

(Bersambung)