Bagian 89 - Pertandingan yang Menentukan

Yue Buqun menyerang Linghu Chong.

Linghu Chong berjalan ke arah Yue Buqun dan Ning Zhongze, lalu berlutut menyembah pasangan tersebut.

Yue Buqun bergeser ke samping lalu berkata dengan nada dingin, “Aku tidak berani menerima.” Sementara Ning Zhongze merasa pilu, air matanya tampak berlinang-linang di pipi.

Linghu Chong kemudian memberi hormat kepada Tuan Besar Mo. Ia paham kalau Ketua Perguruan Hengshan tersebut tidak ingin perjumpaan mereka tempo hari sampai diketahui orang lain, maka ia pun hanya berlutut menyembah tiga kali tanpa berkata apa-apa. Tuan Besar Mo membalas penghormatannya tanpa bersuara pula sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Mari kita pergi!” kata Ren Woxing sambil melangkah lebar dengan kedua tangan masing-masing menggandeng Ren Yingying dan Linghu Chong.

Xie Feng, Pendeta Tianmen, Yu Canghai, dan Zhenzan Zi menyadari kepandaian mereka tidak lebih tinggi daripada Pendeta Chongxu. Kalau Chongxu saja mengaku bukan tandingan Linghu Chong, sudah tentu mereka pun tidak berani mempermalukan diri sendiri walaupun dalam hati merasa tidak percaya.

Saat Ren Woxing sudah hampir saja melangkah keluar ruangan, tiba-tiba Yue Buqun membentak, “Tunggu dulu!”

“Ada apa?” sahut Ren Woxing sambil menoleh.

“Pendeta Chongxu tidak sudi berurusan dengan manusia rendah macam kalian, maka babak ketiga dianggap belum pernah terjadi,” kata Yue Buqun. “Linghu Chong, majulah! Biar aku yang melayani dirimu!”

Linghu Chong terkejut luar biasa sampai badannya gemetar. Dengan tergagap-gagap ia menjawab, “Guru, aku … aku ….”

Yue Buqun berkata dengan suara datar, “Kabarnya kau telah mendapatkan pengajaran dari Paman Guru Feng. Ilmu pedangmu sudah mencapai intisari ilmu Perguruan Huashan yang tiada taranya. Sepertinya aku memang bukan lagi tandinganmu. Meskipun kau sudah dikeluarkan, tapi sepak terjangmu di dunia persilatan masih tetap menggunakan ilmu pedang Perguruan Huashan. Aku memang tidak becus mengajar murid sehingga para sesepuh dari aliran lurus ikut pusing menghadapi murid murtad seperti kau ini. Kalau sekarang aku tidak turun tangan, siapa lagi yang harus memikul tanggung jawab ini? Pendek kata, bila hari ini aku tidak membunuhmu, maka kau saja yang membunuhku.”

Ucapan Yue Buqun itu makin lama makin bengis, akhirnya ia melolos pedang dan membentak, “Antara aku dan kau sudah tidak ada lagi hubungan guru dan murid. Lekas keluarkan pedangmu!”

“Saya tidak berani!” sahut Linghu Chong sambil mundur selangkah.

Yue Buqun mendahului menusuk lurus ke depan, menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Dengan cepat Linghu Chong mengelak ke samping. Namun ia masih belum juga melolos pedang. Berturut-turut Yue Buqun menusuk lagi dua kali dan tetap saja Linghu Chong menghindar tanpa melawan.

Yue Buqun berkata, “Kau sudah mengalah tiga jurus. Anggap saja itu sebagai rasa hormatmu kepadaku. Sekarang cepat kau lolos pedangmu!”

Ren Woxing berseru pula, “Chong’er, jika kau tidak balas menyerang, apakah nyawamu sengaja kau biarkan melayang di sini?”

“Baik,” sahut Linghu Chong sambil melolos pedangnya dan melintangkannya di depan dada.

Meskipun senjata sudah di tangan, namun pikiran Linghu Chong masih melayang-layang. Ia merasa bingung dalam pertandingan ini apakah harus mengalah atau mengusahakan kemenangan? Ilmu pedangnya memang lebih hebat daripada Yue Buqun. Tapi jika ia sampai mengalah, maka Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying harus terkurung selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi. Mahabiksu Fangzheng memang berhati mulia, tapi bagaimana dengan Zuo Lengchan dan para biksu lainnya? Sepuluh tahun adalah rentang waktu yang tidak sebentar, dan setiap saat nyawa mereka bisa saja melayang karena dicelakai orang. Sebaliknya, jika ia harus mengalahkan Yue Buqun, itu sama artinya dengan mempermalukan Sang Guru di depan umum. Padahal, Yue Buqun dan istri sudah merawatnya sejak kecil bagaikan orang tua kandung sendiri. Mana mungkin ia membiarkan gurunya kehilangan muka di hadapan para sesepuh dunia persilatan?

Saat hatinya dilanda kebingungan, Yue Buqun telah melancarkan serangan dengan gencar, sebanyak lebih dari dua puluh jurus. Linghu Chong hanya menangkis dengan menggunakan jurus-jurus pedang Huashan. Sama sekali ia tidak berani mengerahkan Ilmu Sembilan Pedang Dugu, karena setiap gerakan dalam ilmu tersebut selalu mengincar titik mematikan pada tubuh lawan.

Sejak menguasai ilmu sakti tersebut, kehebatan Linghu Chong dapat dikatakan maju pesat. Ditambah lagi dengan tenaga dalam yang melimpah ruah, sehingga meskipun memainkan jurus-jurus pedang Perguruan Huashan, namun kekuatannya sangat jauh berbeda dibanding dulu. Meskipun berulang-ulang Yue Buqun melancarkan serangan, namun tetap tidak bisa menyentuh kulit Linghu Chong.

Para hadirin yang menyaksikan pertandingan ini adalah para jago papan atas di dunia persilatan, sehingga mereka dapat melihat bahwa Linghu Chong sengaja mengalah dan tidak menghadapi Yue Buqun dengan sepenuh hati. Ren Woxing dan Xiang Wentian berkali-kali saling pandang dengan sorot mata penuh rasa khawatir. Mereka sama-sama teringat pada kejadian di Wisma Meizhuang tempo hari. Saat itu Ren Woxing berusaha mengajak Linghu Chong bergabung dengan Sekte Matahari dan Bulan dan menawarkan kedudukan Pelindung Kanan kepadanya. Kedudukan tersebut juga sekaligus sebagai ahli waris ketua sekte di kemudian hari. Selain itu ia juga berjanji untuk mengajarikan ilmu pemusnah pengaruh buruk Jurus Penyedot Bintang. Namun semua tawaran tersebut tidak menggoyahkan pendirian Linghu Chong. Ini menunjukkan betapa pemuda itu sangat setia kepada Perguruan Huashan.

Kali ini terlihat jelas betapa Linghu Chong sangat menghormati Yue Buqun. Bahkan, dalam pertandingan ini andai saja jantungnya tertusuk oleh pedang Sang Guru juga akan diterimanya dengan senang hati. Sejak tadi yang ia mainkan hanyalah jurus bertahan, mana mungkin ada harapan menang? Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak berdaya menyaksikan keadaan ini. Sifat dasar Linghu Chong sudah pasti tidak mau mengalahkan Sang Guru, lebih-lebih mempermalukannya di hadapan para pemuka dunia persilatan. Andai saja bukan karena Ren Yingying yang akan kembali terkurung di Gunung Shaoshi, mungkin sejak tadi ia sudah membuang pedang dan mengaku kalah. Ren Woxing dan Xiang Wentian tampak mondar-mandir dengan perasaan bingung. Sorot mata mereka seolah saling bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?”

Tiba-tiba Ren Woxing berpaling kepada Ren Yingying dan berbisik, “Berdirilah di depan sana!”

Ren Yingying mengerti maksud sang ayah memberi perintah agar berdiri di depan sana supaya Linghu Chong dapat melihatnya, sehingga teringat kembali pada pengorbanan dan kebaikannya. Dengan demikian Linghu Chong tentu akan bertempur dengan sungguh-sungguh demi mencapai kemenangan.

Ren Yingying pun mengangguk perlahan, tapi kakinya tetap diam tidak melangkah.

Sebentar kemudian Ren Woxing melihat Linghu Chong masih terdesak mundur tanpa mau membalas sedikit pun. Dengan perasaan semakin gelisah ia kembali berbisik kepada putrinya, “Lekas kau ke depan sana!”

Akan tetapi Ren Yingying tidak juga melangkah, bahkan menjawab pun tidak. Gadis itu tampak merenung seolah berkata kepada Linghu Chong, “Bagaimana perasaanku kepadamu tentunya kau sudah tahu. Bila hatimu berat kepadaku dan bertekad menyelamatkan diriku, tentu kau akan mengalahkan gurumu. Tapi sebaliknya, jika kau lebih berat kepada gurumu, sekalipun aku menarik-narik lengan bajumu dan memohon-mohon belas kasihanmu juga tidak ada gunanya. Jadi, buat apa aku harus berdiri di depanmu untuk mengingatkan dirimu tentang perbuatanku dulu?”

Ren Yingying seorang gadis yang penuh harga diri. Ia merasa jika dua orang saling mencintai, maka biarlah itu terjadi secara alami. Jika ia harus memberi isyarat supaya Linghu Chong menaruh perhatian lebih dulu, baginya itu sudah keterlaluan. Ia merasa tidak berharga sama sekali bila harus meminta-minta dan mengingatkan Linghu Chong akan kebaikannya demi untuk memperoleh keselamatan.

Sementara itu, Linghu Chong masih saja menangkis setiap serangan gurunya tanpa melawan sedikit pun. Kalau saja ia mau membalas mungkin sejak tadi Yue Buqun sudah jatuh tersungkur. Sebenarnya ia banyak menemukan celah kelemahan di dalam setiap jurus serangan Sang Guru namun sama sekali tidak mau menyerang titik-titik tersebut. Sebaliknya, Yue Buqun sendiri tahu kalau Linghu Chong sengaja tidak mau membalas dirinya. Maka, ia merasa tidak perlu memikirkan cara untuk menjaga diri, dan terus saja melancarkan serangan-serangan maut. Jurus-jurusnya disertai ilmu Awan Lembayung membuat kekuatan serangannya menjadi berlipat ganda.

Meskipun demikian serangan-serangan Yue Buqun itu tetap tidak bisa mengenai sasaran, padahal Linghu Chong hanya menangkis dengan sekenanya saja. Setiap serangan yang datang selalu ia patahkan dengan mudah. Kadang ia menggunakan jurus pedang Perguruan Huashan, kadang menggunakan tangkisan tanpa jurus. Meskipun gerakannya sembarangan namun tetap dilakukan secara terampil dan halus, membuat kagum para hadirin yang melihatnya. Dalam hati mereka berkata, “Pantas saja Pendeta Chongxu mengaku ilmu pedangnya berada di bawah pemuda ini. Ternyata ucapannya bukanlah omong kosong belaka.”

Lama-lama Yue Buqun merasa serbasalah. Dalam hati ia berkata, “Huh, bila pertempuran yang bertele-tele ini diteruskan, maka yang mendapat pujian justru si bangsat cilik ini. Walaupun ia tidak menyerangku, tapi ia juga tidak membiarkan aku menang. Para hadirin merupakan tokoh papan atas dunia persilatan, tentu mengetahui kalau bangsat cilik ini sengaja mengalah kepadaku. Sebaliknya, aku masih bersikeras menyerangnya, guru macam apa aku ini? Ke mana lagi aku harus menyembunyikan wajahku sebagai ketua perguruan? Jelas bangsat cilik ini sengaja hendak membuat diriku kelelahan dan akhirnya menyerah kalah dengan sendirinya.” Berpikir sampai di sini Yue Buqun menjadi nekat. Ia mengumpulkan segenap tenaga, lalu mengerahkan ilmu Awan Lembayung melalui pedangnya. Dengan sepenuh hati ia lantas menebas kepala Linghu Chong.

Linghu Chong mengelak ke samping sehingga tebasan Yue Buqun meleset. Namun Yue Buqun segera memutar balik pedangnya dan menebas ke arah pinggang. Sekali loncat Linghu Chong dapat melangkahi pedang Sang Guru yang menyambar itu. Mendadak Yue Buqun memutar lagi pedangnya, dan secepat kilat ia menusuk ke arah punggung Linghu Chong. Perubahan serangan yang cepat luar biasa ini tampaknya sukar dielakkan oleh pemuda itu, apalagi tubuhnya masih terapung di udara.

“Aih!” seru para hadirin khawatir.

Untuk menghindari atau menangkis serangan Yue Buqun tersebut rasanya sudah tidak sempat lagi. Namun tiba-tiba Linghu Chong menjulurkan pedangnya ke depan sehingga ujungnya menancap pada sebuah batang tiang kayu. Dengan tenaga loncatan tadi ia melayang ke balik tiang tersebut. Detik selanjutnya, tusukan Yue Buqun mengenai tiang kayu tersebut sampai tembus. Ujung pedangnya cuma selisih beberapa senti saja dengan badan Linghu Chong.

“Oh!” teriak semua orang bersyukur dan kagum melihat kepandaian Linghu Chong meloloskan diri dari maut. Mereka juga kagum pemuda itu mampu menghindari serangan mematikan yang dilancarkan Yue Buqun tadi.

Sebaliknya, Yue Buqun merasa kesal karena tidak mampu melukai Linghu Chong. Padahal tiga serangan tersebut adalah kepandaian yang telah dilatihnya seumur hidup. Lebih-lebih mendengar para hadirin bersorak karena Linghu Chong lolos dari maut, membuat hatinya semakin bertambah gusar.

Jurus tersebut bernama Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut Nyawa yang merupakan ciptaan Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan. Dahulu, ketika kedua kelompok saling menghancurkan, murid-murid dari Kelompok Pedang banyak menggunakan jurus ini untuk menumpas murid-murid Kelompok Tenaga Dalam. Ketika pada akhirnya murid-murid Kelompok Tenaga Dalam berhasil mengalahkan pihak Kelompok Pedang dan menguasai perguruan, mereka pun mempelajari kehebatan Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut Nyawa tersebut. Setelah mengetahui rahasia kehebatan jurus ini, mereka merasa sangat takut di dalam hati. Selama mempelajari jurus tersebut, mereka semakin terkesima. Mereka akhirnya lupa kepada prinsip utama ilmu silat kelompok mereka, yaitu “tenaga dalam mendorong pedang”. Mulut mereka memuji keindahan jurus pedang tersebut, sementara dalam hati memuji kekuatannya.

Melihat pertandingan antara Yue Buqun dan Linghu Chong, diam-diam yang paling merasa sedih adalah Ning Zhongze. Ketika melihat sang suami mengerahkan Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut Nyawa, ia merenung, “Dahulu, kedua kelompok berusaha saling menghancurkan karena perselisihan mana yang lebih penting, apakah tenaga dalam, ataukah jurus pedang? Kakak berasal dari Kelompok Tenaga Dalam, tapi mengapa sekarang menggunakan ilmu silat Kelompok Pedang? Kalau hal ini sampai diketahui orang luar tentu kita akan menjadi bahan ejekan. Aih, Kakak menggunakan tiga jurus itu tentu juga karena terpaksa. Padahal sudah jelas ia bukan tandingan Chong’er, kenapa masih juga nekat?” Ia berniat melerai kedua orang yang sedang bertanding itu, namun urusan sudah terlanjur melebar, bukan melulu menyangkut kepentingan Perguruan Huashan saja. Tangannya menggenggam erat gagang pedang, sedangkan hatinya merasa sangat sedih.

Sementara itu, Yue Buqun telah mencabut kembali pedangnya dari tiang, sedangkan Linghu Chong tetap berdiri di tempat semula dan tidak berputar keluar. Yue Buqun berharap pemuda itu tetap bersembunyi di balik tiang dan tidak melawannya lagi sebagai tanda takut, dengan demikian kehormatannya dapat ditegakkan kembali.

Kedua orang itu kemudian saling berhadapan. Dengan kepala menunduk, Linghu Chong berkata, “Guru, aku bukan tandinganmu. Kita tak perlu meneruskan pertandingan ini.”

Yue Buqun hanya mendengus, tidak menjawab sedikit pun.

Ren Woxing lantas ikut bicara, “Pertarungan mereka berdua sukar ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kepala Biara, bagaimana kalau pertandingan tiga babak ini kita anggap seri saja? Aku bersedia meminta maaf kepadamu, lalu angkat kaki dari sini.”

Mendengar ini, dalam hati Ning Zhongze merasa sangat lega. Ia merenung, “Padahal sudah jelas Chong’er memenangkan babak ini, tapi Ketua Ren sengaja memberi muka kepada kami. Cara menyudahi pertarungan ini benar-benar paling baik.”

“Amitabha!” kata Biksu Fangzheng. “Ketua Ren mengutamakan setia kawan, usulannya sangat bijaksana. Sudah tentu aku sependa….”

Belum selesai kata-kata itu diucapkan, tiba-tiba Zuo Lengchan menyela, “Lalu keempat orang ini apa harus kita biarkan pergi begitu saja dan membantai banyak orang lagi? Apakah kita biarkan tangan-tangan mereka berlumuran darah ribuan orang yang tidak berdosa? Lalu, untuk selanjutnya apakah Saudara Yue masih bisa disebut Ketua Perguruan Huashan?”

“Mengenai ini ….” kata Fangzheng ragu-ragu. Tiba-tiba Yue Buqun sudah memutar ke belakang tiang dan mulai menyerang lagi. Dengan gesit Linghu Chong mengelak. Maka dalam beberapa jurus mereka sudah kembali bertarung di tengah kalangan. Yue Buqun kembali melancarkan serangan-serangan ganas, tapi selalu dapat dihindari atau ditangkis oleh Linghu Chong dengan mudah. Pertarungan bertele-tele pun berlangsung kembali.

Tiba-tiba Ren Woxing tertawa, “Hahaha, untuk mengetahui siapa yang menang dan kalah dalam pertandingan ini, maka kita harus menunggu selama tujuh atau delapan hari. Kita lihat saja siapa yang mati kelaparan lebih dulu.”

Para hadirin merasa ucapan tersebut terlalu berlebihan. Namun mereka juga tidak membantah, karena jika keduanya terus bertarung seperti ini, maka akan sulit mendapatkan hasilnya selama beberapa jam ke depan.

Ren Woxing kemudian berpikir, “Si tua Yue ini benar-benar tebal muka. Sudah jelas-jelas ilmu silatnya di bawah Chong’er, tapi masih tetap nekat saja. Sebaliknya, Chong’er sama sekali tidak mau membalas. Meskipun ia lebih unggul, tapi kalau lengah sedikit saja tentu akan sangat berbahaya. Hm, aku harus mengacaukan perhatian si tua itu.”

Maka, ia pun mencoba mengolok-olok Yue Buqun, “Adik Xiang, kedatangan kita ke Biara Shaolin ini benar-benar menambah banyak pengalaman.”

“Benar,” jawab Xiang Wentian. “Di sini berkumpul tokoh-tokoh persilatan dari papan atas ….”

“Satu di antaranya benar-benar tokoh mahasakti,” sambung Ren Woxing.

“Siapakah dia itu?” tanya Xiang Wentian.

“Orang ini telah berhasil menguasai sejenis ilmu sakti yang luar biasa,” kata Ren Woxing.

“Ilmu sakti macam apakah itu?” sambung Xiang Wentian.

“Ilmu sakti orang ini disebut Jurus Topeng Emas dan Muka Besi,” jawab Ren Woxing.

“Wah, sungguh hebat!” ujar Xiang Wentian. “Selama ini saya hanya mendengar adanya ilmu sakti Jurus Genta Emas dan Jubah Besi, tapi tidak pernah tahu tentang Jurus Topeng Emas dan Muka Besi segala. Entah ilmu sakti demikian berasal dari aliran mana?”

“Jurus Genta Emas dan Jubah Besi adalah ilmu kebal yang membuat sekujur tubuh tidak mempan senjata. Tapi Jurus Topeng Emas dan Muka Besi ini hanya khusus membuat kulit muka saja yang menjadi setebal badak,” kata Ren Woxing. “Tentang asal usul ilmu sakti ini sungguh luar biasa, tidak lain ciptaan Tuan Yue Buqun, Ketua Perguruan Huashan yang termasyhur di dunia persilatan dengan julukan Si Pedang Budiman pada masa ini.”

“Ilmu pedang Tuan Yue sangat hebat, tenaga dalamnya juga sangat tinggi. Nama besarnya bukan julukan kosong. Lantas, Jurus Topeng Emas dan Muka Besi ini apa lagi kegunaannya?” ujar Xiang Wentian.

“Ilmu ini sudah pasti sangat besar kegunaannya. Sayangnya, kita bukan murid Perguruan Huashan sehingga sulit menemukan rahasia ilmu ini,” jawab Ren Woxing.

“Wah, jika demikian, sejak kini Tuan Yue pasti akan lebih terkenal dan lebih termasyhur di seluruh jagat. Namanya akan selalu berkumandang abadi sepanjang masa,” kata Xiang Wentian.

“Itu sudah pasti,” sambung Ren Woxing. “Kita harus berhati-hati terhadap ilmu sakti ini.”

“Saya akan menyimpan petuah Ketua di lubuk hati yang paling dalam,” ujar Xiang Wentian sambil membungkuk.

Begitulah, seperti pelawak saja mereka bertanya-jawab untuk mengolok-olok Yue Buqun. Mendengar itu Yu Canghai ikut tertawa terpingkal-pingkal karena antara dirinya dan Yue Buqun sama-sama saling tidak menyukai. Sebaliknya, muka Ning Zhongze terlihat merah padam menahan gusar.

Yue Buqun sendiri berlagak tidak tahu dan tidak mendengar olok-olok tersebut. Ia masih saja sibuk melancarkan serangan terhadap Linghu Chong. Tiba-tiba ia menusuk keras. Ketika Linghu Chong mengelak ke kiri, mendadak Yue Buqun menoleh sambil memutar balik ujung pedangnya dan kembali menusuk pula. Ini merupakan jurus pedang Perguruan Huashan yang terkenal dengan nama Kembalinya Si Anak Hilang. Sewaktu Linghu Chong menangkis, dengan cepat Yue Buqun memutar pedangnya lagi dan menebas dari atas ke bawah. Ini merupakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Linghu Chong kembali menangkis jurus ini.

Tiba-tiba Yue Buqun menyerang dengan dua tusukan yang membuat Linghu Chong terkesiap dan terpaksa mundur dua langkah dengan wajah bersemu merah. Ia hanya berseru, “Guru!”

Yue Buqun mendengus dan menusuk lagi. Kembali Linghu Chong mundur satu langkah. Melihat itu para hadirin menjadi heran. Mereka berpikir, “Jurus-jurus ini biasa saja, tapi kenapa dia merasa takut dan tidak mampu menangkis?” Mereka tidak tahu bahwa ketiga jurus serangan Yue Buqun yang terakhir ini adalah bagian dari Jurus Pedang Chong Ling, yakni ilmu pedang ciptaan Linghu Chong dan Yue Lingshan sewaktu berlatih bersama dulu.

Seketika Linghu Chong pun teringat kenangan masa lalu, saat hubungannya dengan Yue Lingshan masih hangat dan akrab. Dalam pikiran mereka yang masih kekanak-kanakan, mereka menciptakan ilmu pedang yang hanya mereka berdua saja yang mampu memainkannya. Maka terciptalah Jurus Pedang Chong Ling tersebut.

Linghu Chong sama sekali tidak menduga kalau Yue Buqun ternyata mampu memainkan tiga jurus pedang ciptaannya itu. Kontan ia merasa serbasalah, malu, dan sedih pula. Dalam hati ia berkata, “Hubunganku dengan Adik Kecil sudah kandas. Sekarang Guru sengaja memainkan tiga jurus ilmu pedang ini agar aku tersinggung dan berduka sehingga pikiranku menjadi kacau. Ya, kalau mau bunuh aku silakan bunuh saja!” Saat itu Linghu Chong merasa daripada hidup merana di dunia lebih baik mati saja, habis perkara.

Menyusul kemudian Yue Buqun menusuk lagi dengan suatu jurus Perguruan Huashan yang disebut Nong Yu Meniup Seruling. Jurus tersebut sangat dihafal oleh Linghu Chong sehingga tanpa sadar ia menangkis begitu saja. Disusul kemudian Yue Buqun mengerahkan jurus Xiao Shi Menunggang Naga. Kedua jurus tersebut saling berkaitan membentuk suatu gerakan indah dan gemulai. Terutama saat memainkan jurus kedua, pedang Yue Buqun bergerak bagaikan naga yang meliuk-liuk di angkasa, bebas merdeka, anggun berwibawa bagaikan dewa.

Kedua jurus pedang Perguruan Huashan itu tercipta berdasarkan sebuah dongeng kuno tentang seorang bernama Qin Mukong, yang memiliki putri bernama Nong Yu. Putrinya itu sangat gemar meniup seruling. Pada suatu hari datang seorang perjaka yang juga pandai meniup seruling bernama Xiao Shi, yang menunggang seekor naga. Perjaka itu lalu mengajarkan seni musik kepada si gadis. Qin Mukong berkenan mengambil Xiao Shi sebagai menantu untuk dinikahkan dengan Nong Yu. Konon, pasangan suami-istri tersebut kemudian menjadi dewa dan bersemayam di puncak tengah Gunung Huashan.

Di Puncak Gadis Kumala di Gunung Huashan terdapat Paviliun Memanggil Burung Feng, Kuil Gadis Kumala, Gua Gadis Kumala, Baskom Mencuci Rambut Gadis Kumala, semuanya diberi nama berdasarkan kisah Nong Yu dan Xiao Shi ini. Di tempat itu entah sudah berapa kali Linghu Chong dan Yue Lingshan bermain bersama. Kisah cinta Nong Yu dan Xiao Shi entah sudah berapa kali bergema di lubuk hati mereka.

Kini jurus Xiao Shi Menunggang Naga digunakan Yue Buqun untuk menyerang Linghu Chong. Perasaan Linghu Chong menjadi bingung sementara tangannya menangkis sebisa-bisanya. “Kenapa Guru menggunakan jurus ini? Apakah ia sengaja hendak membuat pikiranku kacau, kemudian membunuhku?”

Dilihatnya Yue Buqun kembali memainkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, kemudian Cemara Tua Menyambut Tamu, kemudian tiga jurus Pedang Chong Ling, lalu jurus Nong Yu Meniup Seruling, dan Xiao Shi Menunggang Naga. Biasanya, jika seorang jago silat bertarung tidak mungkin ia menggunakan rangkaian jurus yang sama lebih dari sekali. Hal itu tentu akan memudahkan musuh untuk mematahkan serangannya. Akan tetapi, Yue Buqun benar-benar aneh. Ia sengaja mengulangi rangkaian jurusnya sehingga membuat para penonton terheran-heran.

Tiba-tiba seberkas pikiran terlintas dalam benak Linghu Chong, “Ternyata Guru menggunakan jurus-jurus ini untuk mengingatkan diriku. Aku dimintanya untuk meninggalkan kaum iblis dan kembali ke jalan yang benar. Hm, jadi jurus Kembalinya Si Anak Hilang merupakan isyarat bahwa aku akan diterima kembali di Perguruan Huashan.”

Di Gunung Huashan terdapat banyak pohon cemara tua yang penuh dengan daun-daun menggantung pada rantingnya. Pohon-pohon tersebut berdaun lebat dan cabangnya melengkung seperti menyambut para pendatang yang berkunjung ke puncak gunung. Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu merupakan perwujudan dari pepohonan cemara tersebut. Ketika Yue Buqun kembali menggunakan jurus itu, Linghu Chong berpikir, “Melalui jurus ini Guru seolah memberi tahu bahwa jika aku pulang ke Huashan, bukan hanya keluarga yang menyambutku, tapi pepohonan di puncak gunung juga menyambut kedatanganku.”

Sejenak kemudian hatinya kembali bicara, “Guru seolah berkata, aku tidak hanya diterima kembali di perguruan, tapi juga akan dinikahkan dengan Adik Kecil. Guru memainkan tiga jurus Pedang Chong Ling supaya aku paham akan maksudnya. Karena aku masih bingung, maka Guru kembali menggunakan jurus Nong Yu Meniup Seruling dan Xiao Shi Menunggang Naga.”

Kembali diterima di Perguruan Huashan dan dinikahkan dengan Yue Lingshan merupakan dua keinginan Linghu Chong yang paling besar. Melalui rangkaian jurus-jurus tersebut, Sang Guru telah berjanji di hadapan para jago persilatan mengenai kedua hal tersebut kepadanya. Meskipun tidak diucapkan, namun melalui jurus-jurus pedang semuanya sudah disampaikan dengan jelas. Linghu Chong paham sifat gurunya yang tidak pernah ingkar janji. Perkataan yang telah diucapkannya tidak pernah ditarik kembali. Kini melalui jurus-jurus pedang, Yue Buqun telah berjanji untuk menerima Linghu Chong kembali dan menikahkannya dengan sang adik kecil. Membayangkan itu semua, seketika hati Linghu Chong terasa berbunga-bunga.

Linghu Chong juga sadar kalau Yue Lingshan telah berpaling kepada pemuda lain, yaitu Lin Pingzhi. Gadis itu sudah tidak memperhatikannya lagi, bahkan sangat benci kepadanya. Namun sesuai adat yang berlaku ribuan tahun, perjodohan ditentukan oleh orang tua, sementara si anak gadis tidak memiliki hak untuk menolak. Di hadapan para tokoh persilatan, Yue Buqun telah berjanji melalui jurus-jurusnya untuk mengambil Linghu Chong sebagai menantu, dan Yue Lingshan tidak mungkin bisa membantah. Dengan hati gembira Linghu Chong pun berpikir, “Jika aku bisa kembali diterima di Perguruan Huashan, aku pasti sangat bersyukur. Apalagi jika bisa menikah dengan Adik Kecil, tentu hal ini merupakan karunia besar dari Langit. Adik Kecil mungkin tidak bahagia pada awalnya, tapi aku akan berusaha menyesuaikan diri. Aku akan selalu mengalah kepadanya dan menuruti semua keinginannya. Sedikit demi sedikit ia akan melihat ketulusanku sehingga perasaannya yang semula benci akan berubah menjadi sayang kepadaku.”

Ia ingat dulu setiap kali Yue Lingshan merajuk, tentu ia akan membujuknya dan perasaan sang adik kecil akan berubah dari kesal menjadi senang. Entah sudah berapa ratus kali hal itu terjadi, membuat Linghu Chong hafal watak Yue Lingshan dan sangat yakin kelak akan dapat merebut perhatiannya kembali.

Wajah Linghu Chong tampak berseri-seri membayangkan kedua janji Sang Guru menjadi kenyataan. Dilihatnya Yue Buqun kembali melancarkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, disusul Cemara Tua Menyambut Tamu. Namun kali ini gerak pedangnya lebih cepat dan mendesak. Linghu Chong memahami maksudnya, “Guru semakin mendesakku. Beliau ingin aku segera meletakkan senjata dan menyerah kalah untuk bisa diterima kembali di Perguruan. Jika aku menurut, maka aku pasti segera diterima kembali. Hidupku akan kembali seperti dulu, berbahagia bersama keluargaku di Gunung Huashan. Apalagi yang harus kutunggu?” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Tapi, bagaimana dengan Yingying, Ketua Ren, dan Kakak Xiang? Jika aku menyerah kalah, tentu mereka akan dikurung di belakang Biara Shaolin ini. Bisa jadi mereka akan dihukum mati pula. Aku sungguh kejam, memikirkan kesenangan diri sendiri tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Manusia macam apa aku ini?”

Berpikir demikian tubuh Linghu Chong basah oleh keringat dingin dan pandangannya menjadi kabur. Ia sempat melihat Yue Buqun melintangkan pedang dan mengayunkannya di dekat mulut, lalu menusukkannya ke depan. Ini adalah jurus Nong Yu Meniup Seruling. Linghu Chong pun terkesiap dan berpikir, “Yingying sangat pandai meniup seruling. Ia rela berkorban jiwa dan raga demi keselamatanku. Namun, aku sama sekali tidak peduli kepadanya. Apakah di dunia ini ada manusia tak tahu berterima kasih yang lebih rendah dibanding Linghu Chong? Aku tidak pantas disebut sebagai manusia jika tidak membalas kebaikan Yingying.”

Begitu hatinya bersemangat, tiba-tiba terdengar suara benturan dua buah pedang yang sangat keras, disusul kemudian sebatang pedang jatuh terbanting di atas lantai. Semua orang menjerit terkejut.

Tubuh Linghu Chong terhuyung-huyung ke belakang. Ketika membuka mata, dilihatnya Yue Buqun juga melompat mundur dengan wajah sangat gusar penuh amarah. Tampak pergelangan lengan kanan Sang Guru mengucurkan darah. Sewaktu Linghu Chong memeriksa ujung pedangnya sendiri, ternyata juga meneteskan darah.

Kontan ia terkejut. Ternyata ketika pikirannya sedang kacau tadi, tangannya sempat menangkis serangan Yue Buqun sekenanya. Entah bagaimana, tanpa sadar yang ia mainkan adalah Ilmu Sembilan Pedang Dugu sehingga melukai pergelangan tangan Yue Buqun tersebut. Seketika pedang sang guru pun terbanting di lantai.

Dengan cepat Linghu Chong membuang senjatanya, lalu berjalan mendekat dan berlutut di hadapan Yue Buqun, sambil berkata, “Guru, saya berdosa besar. Saya pantas dihukum mati.”

Yue Buqun diam saja. Tiba-tiba ia mengangkat sebelah kakinya, lalu menendang dada Linghu Chong dengan tepat. Keras sekali tendangan itu, sehingga tubuh Linghu Chong sampai terlempar ke atas dengan darah segar menyembur dari mulutnya. Seketika pandangan pemuda itu menjadi gelap gulita. Tubuhnya terbanting sekeras-kerasnya di lantai, namun ia tidak merasakan apa-apa lagi karena telah pingsan tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, perlahan-lahan Linghu Chong membuka mata dan merasa keadaan begitu dingin seperti membeku. Terasa olehnya ada sinar api menyilaukan, membuat ia buru-buru memejamkan mata kembali.

Terdengar suara Ren Yingying berseru gembira, “Kau … kau sudah siuman.”

Linghu Chong pun kembali membuka mata. Dilihatnya sepasang mata indah Ren Yingying sedang menatap kepadanya. Wajah gadis itu tampak berseri-seri sangat gembira. Segera Linghu Chong bermaksud bangun, tapi Ren Yingying mencegahnya dan berkata, “Jangan bangun dulu. Istirahat saja sebentar lagi.”

Linghu Chong memandang sekitarnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah gua. Di luar tampak menyala suatu gundukan api unggun. Baru sekarang ia ingat kalau dirinya telah jatuh pingsan akibat tendangan Sang Guru di akhir pertandingan tadi. Segera ia bertanya, “Di manakah Guru dan Ibu Guru?”

“Kenapa kau masih memanggil guru kepadanya?” ujar Ren Yingying. “Di dunia ini mungkin cuma ada satu orang guru yang tidak tahu malu seperti dia. Kau banyak mengalah padanya, tapi dia tetap tidak tahu diri, malah tega menendang dadamu dengan sangat keras. Bagus juga tulang kakinya ikut patah.”

“Hah, tulang kaki guruku patah?” seru Linghu Chong terkejut.

“Masih untung dia tidak terguncang mati,” sahut Ren Yingying tertawa. “Kata Ayah, kau belum bisa menggunakan Jurus Penyedot Bintang dengan sempurna. Bila tidak, tentu kau takkan terluka.”

“Aku telah melukai pergelangan tangan Guru, lalu mematahkan kakinya … ah, aku ini ….” ujar Linghu Chong menggumam.

“Apakah kau menyesal?” tanya Ren Yingying.

“Perbuatanku benar-benar tidak pantas,” jawab Linghu Chong. “Kalau Guru dan Ibu Guru tidak merawat dan membesarkan diriku sejak kecil, bisa jadi aku sudah mati sejak lama. Aku telah membalas kebaikan dengan kejahatan, sungguh lebih rendah daripada binatang.”

“Berulang kali dia bermaksud membunuhmu, apa kau tidak sadar?” sahut Ren Yingying. “Kau telah mengalah padanya sedemikian rupa dan boleh dikata sudah membalas budi kebaikannya. Orang macam dirimu ke mana pun takkan mati. Seandainya suami-istri Yue tidak memungutmu, biarpun jadi pengemis juga kau takkan mati kelaparan. Dia sudah mengusirmu dari Perguruan Huashan, maka hubungan kalian sebagai guru dan murid ikut putus pula. Untuk apa lagi kau memikirkan dia?”

Sampai di sini Ren Yingying menahan suaranya dan menyambung lagi dengan nada lirih, “Kakak Chong, demi diriku kau terpaksa berseberangan dengan guru dan ibu gurumu, sungguh hatiku merasa ….” tiba-tiba ia menunduk dengan kedua pipi merona merah.

Linghu Chong melihat wajah gadis itu tersorot sinar api unggun membuatnya bertambah cantik luar biasa. Seketika perasaannya terguncang. Perlahan ia memegang tangan kiri Ren Yingying, tapi sampai sekian lama kemudian tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Yang terdengar hanyalah napas panjang keluar dari mulutnya.

“Kenapa kau menghela napas?” tanya Ren Yingying dengan suara halus. “Apakah kau menyesal karena berkenalan denganku?”

“Tidak, tidak!” sahut Linghu Chong cepat. “Mana mungkin aku menyesal? Demi diriku kau rela mengorbankan jiwa ragamu di Biara Shaolin. Biarpun kelak badanku hancur … hancur lebur juga tidak cukup untuk membalas kebaikanmu.”

“Kenapa kau bicara soal budi seperti itu?” tanya Ren Yingying sambil menatap tajam. “Jadi sampai detik ini kau masih menganggapku sebagai orang luar.”

Linghu Chong merasa malu dalam hati. Memang selama ini ia merasa masih terpisah oleh sesuatu dengan Ren Yingying. Segera ia pun berkata, “Aku yang salah bicara. Sejak kini aku akan baik kepadamu dengan sepenuh hati.” Bicara demikian, dalam hati ia berpikir, “Lalu bagaimana dengan Adik Kecil? Apakah aku bisa melupakan Adik Kecil?”

Sorot mata Ren Yingying memancarkan rasa bahagia. “Kakak Chong, apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh atau hanya untuk menyenangkan aku saja?” ujarnya.

Linghu Chong tersentak dari lamunannya, lalu menjawab segera, “Jika aku membohongi dirimu, biarlah aku mati disambar petir.”

Perlahan-lahan Ren Yingying menggenggam tangan Linghu Chong dengan erat. Sejak lahir sampai sekarang ia merasa detik inilah saat yang paling berharga. Sekujur badan gadis itu terasa hangat. Ia berharap keadaan demikian akan kekal abadi sepanjang masa. Selang agak lama barulah ia berkata lirih, “Orang persilatan seperti kita mungkin ditakdirkan mati dengan cara kurang baik. Kelak jika kau ingkar janji, aku tidak ingin kau mati disambar petir. Aku lebih suka … lebih suka menusukmu dengan pedangku sendiri sampai mati.”

Linghu Chong tersentak, sama sekali tidak menduga bahwa Ren Yingying akan berkata demikian. Setelah termangu-mangu sejenak, barulah ia berkata sambil tertawa, “Selembar nyawaku ini telah diselamatkan olehmu dan sejak itu sudah menjadi milikmu. Maka, setiap saat kau boleh ambil nyawaku ini kapan saja.”

Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Semua orang menyebutmu sebagai berandal nakal. Nyatanya, kau memang pandai bersilat lidah. Entah takdir apa, aku justru me… menyukai berandal nakal seperti dirimu?”

Linghu Chong tertawa, “Hahaha, Kapan aku pernah berbuat nakal padamu? Karena kau berkata demikian, maka aku akan menjadi berandal nakal untukmu.”

Tiba-tiba Ren Yingying meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Dengan muka cemberut ia berkata, “Aku memang menyukai dirimu, tapi kita harus pakai aturan. Jika kau anggap aku ini perempuan murahan, maka kau telah salah sangka.”

“Mana berani aku menganggapmu sebagai perempuan murahan?” sahut Linghu Chong. “Kau adalah nenek agung berbudi luhur yang melarangku berpaling memandang kepadamu.”

Ren Yingying tertawa cekikikan. Lesung pipit di pipinya terlihat jelas, membuatnya tampak bertambah jelita. Ia pun teringat pertama kali berkenalan dengan Linghu Chong memang pemuda itu selalu memanggilnya “nenek” dengan penuh hormat. Dengan tertawa geli ia lantas duduk kembali namun dalam jarak yang agak jauh.

Linghu Chong ikut tertawa dan berkata, “Kalau kau melarangku berbuat nakal kepadamu, biarlah untuk selanjutnya aku tetap memanggilmu ‘nenek’ saja.”

“Baik, cucuku yang baik,” sahut Ren Yingying tertawa geli.

“Nenek, aku ….” kata Linghu Chong.

“Sudahlah, jangan panggil nenek lagi! Nanti saja enam puluh tahun lagi baru kau boleh panggil demikian,” ujar Ren Yingying.

“Jika kupanggil ‘nenek’ mulai sekarang sampai enam puluh tahun lagi, maka hidupku ini tidak sia-sia,” kata Linghu Chong.

Terguncang perasaan Ren Yingying mendengarnya. Ia merenung andai saja benar bisa hidup bersanding dengan Linghu Chong selama enam puluh tahun, maka hidupnya tentu bahagia mengalahkan para dewa di surga.

Dari samping Linghu Chong melihat hidung gadis itu mancung, alisnya panjang, bulu matanya lentik, raut wajahnya pun sangat halus dan lembut. Ia berpikir, “Nona secantik ini mengapa begitu ditakuti dan dihormati oleh tokoh-tokoh persilatan yang kasar dan liar itu? Kenapa juga mereka rela berbuat apa saja untuknya?” Sebenarnya ia hendak menanyakan hal itu namun karena takut merusak suasana, maka ia pun mengurungkan niat tersebut.

Linghu Chong menghindari serangan maut di tiang kayu.

Linghu Chong bergembira karena hendak diterima kembali.

Yue Buqun menendang keras dada Linghu Chong.

Ren Yingying dan Linghu Chong di dalam gua.

(Bersambung)