Bagian 76 - Perebutan Kitab Pusaka

Dua orang tua bersaudara menerjang masuk ke dalam ruang sembahyang.

Tadinya Linghu Chong mengira Yue Lingshan datang dengan mengendap-endap adalah untuk memata-matai rumah itu yang dikiranya merupakan kediaman musuh. Kini begitu mendengar gadis itu tiba-tiba mengeluarkan suara jeritan aneh, mau tidak mau ia menjadi heran. Namun kemudian terdengar suara seseorang menyahut dari dalam kamar, membuatnya langsung paham apa yang sebenarnya terjadi.

Orang di dalam rumah itu berkata, “Kakak, apa kau ingin membuatku mati kaget? Jika aku mati dan menjadi setan, paling-paling akan serupa denganmu sekarang.”

Yue Lingshan menjawab ketus sambil tertawa, “Lin busuk, Lin sial, kau berani memakiku sebagai setan, hah? Awas, akan kucabut jantung hatimu keluar.”

“Tidak perlu kau cabut, akan kucabut sendiri biar bisa kau lihat,” sahut orang di dalam kamar yang tidak lain adalah Lin Pingzhi.

“Bagus, kau berani bicara gila-gilaan kepadaku. Nanti lagi akan kulaporkan Ibu,” omel Yue Lingshan lagi.

“Tapi kalau Ibu Guru bertanya padamu kapan dan di mana aku bicara demikian, lantas bagaimana kau akan menjawab?” balas Lin Pingzhi tertawa.

“Akan kukatakan kau bicara demikian pada waktu berlatih pedang siang tadi. Kau tidak berlatih sungguh-sungguh, malah mengajakku mengobrol sembarangan,” jawab Yue Lingshan.

“Baik, bila Ibu Guru marah tentu aku akan dikurung selama tiga bulan. Maka, selama tiga bulan kau tidak dapat bertemu denganku,” kata Lin Pingzhi.

“Huh! Memangnya kenapa? Tidak bertemu biarlah tidak bertemu!” ejek Yue Lingshan. “Hei, Lin Kecil busuk, kenapa kau tidak lekas membuka jendela? Apa-apaan kau di dalam?”

Terdengar suara gelak tawa Lin Pingzhi disertai berkeriutnya daun jendela dibuka. Kepala Lin Pingzhi tampak melongok keluar. Namun Yue Lingshan telah mendekam bersembunyi di sebelah dan tidak terlihat olehnya.

Terdengar Lin Pingzhi menggumam sendiri, “Hei, kenapa tidak ada orang? Kukira Kakak yang datang?”

Lalu daun jendela perlahan-lahan ditutupnya kembali. Namun sebelum tertutup, dengan cepat Yue Lingshan melompat ke dalam.

Linghu Chong yang berjongkok di atap rumah mendengarkan semua pembicaraan mereka dengan perasaan linglung. Kedua muda-mudi itu bersenda gurau seakan mereka lupa kalau masih berada di dunia. Linghu Chong berusaha untuk tidak mendengar pembicaraan mereka lagi, tapi setiap kata yang mereka ucapkan telah masuk ke telinganya begitu saja dan terdengar sangat jelas. Terdengar pula kedua muda-mudi itu terpingkal-pingkal di dalam kamar.

Jendela kamar tidak ditutup sepenuhnya. Bayangan mereka berdua pun tertangkap pula pada kertas penutup jendela. Kedua kepala muda-mudi itu tampak beradu, kemudian suara tawa mereka berangsur-angsur lirih dan menghilang.

Linghu Chong merasa sangat pedih. Ia menghela napas dan berniat melangkah pergi, tapi mendadak terdengar Yue Lingshan berkata, “Sudah malam begini mengapa kau belum tidur?”

Lin Pingzhi menjawab dengan tertawa, “Aku sedang menunggumu.”

“Huh, dasar pembohong! Dari mana kau tahu aku akan datang?” sahut Yue Lingshan.

“Aku petapa yang pandai meramal. Hanya dengan menghitung-hitung jari aku bisa mengetahui kakak seperguruanku yang mulia malam ini akan berkunjung kemari,” kata Lin Pingzhi.

“Kamarmu berantakan begini, jelas kau sedang mencari kitab pedang itu, betul tidak?” tanya Yue Lingshan.

Linghu Chong sudah beranjak pergi beberapa langkah. Begitu mendengar “kitab pedang” disebut, seketika hatinya tergerak dan ia pun berbalik kembali.

Terdengar Lin Pingzhi berkata, “Selama beberapa bulan ini entah sudah berapa kali aku memeriksa dan menggeledah seluruh rumah tua ini. Bahkan, genting rumah juga satu per satu kubuka dan kuteliti. Sepertinya hanya dinding rumah saja yang belum kubongkar … Kakak, rumah tua ini sudah tidak dipakai lagi, apa salahnya kalau kita bongkar saja dindingnya untuk diperiksa? Bagaimana pendapatmu?”

“Rumah ini adalah milik Keluarga Lin kalian. Dibongkar atau tidak adalah urusanmu. Untuk apa kau tanya kepadaku?” sahut Yue Lingshan.

“Justru karena ini adalah rumah Keluarga Lin, maka aku bertanya kepadamu,” kata Lin Pingzhi.

“Kenapa?” tanya Yue Lingshan.

Lin Pingzhi menjawab, “Jika tidak kepadamu, lantas kepada siapa? Bukankah kelak … bukankah kelak kau juga akan bermarga … bermarga … hmm … hehehe ….”

“Lin busuk! Lin sial! Kau mencari kesempatan dalam kesempitan!” maki Yue Lingshan yang kemudian disusul dengan plak-plok beberapa kali, mungkin tangannya sedang memukuli Lin Pingzhi. Tentu saja beberapa pukulan mesra.

Linghu Chong merasa jantungnya seperti disayat-sayat mendengar senda gurau itu. Ia sebenarnya ingin segera pergi, tapi berita tentang Kitab Pedang Penakluk Iblis sangat berharga baginya. Sewaktu kedua orang tua Lin Pingzhi meninggal dunia dan memberikan wasiat, hanya ia seorang diri yang saat itu berada di samping mereka. Wasiat mereka berdua yang harus disampaikan kepada Lin Pingzhi justru mendatangkan fitnah baginya. Lebih-lebih setelah mendapatkan pelajaran dari Feng Qingyang tentang Ilmu Sembilan Pedang Dugu, maka setiap orang Perguruan Huashan mengira dirinya telah menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Iblis tersebut. Bahkan, sang adik kecil yang biasanya paling kenal wataknya itu juga menaruh curiga kepadanya. Namun Linghu Chong berusaha memaklumi semua tuduhan itu. Bagaimanapun juga ia telah disaksikan banyak orang tidak mampu menghadapi Ilmu Pedang Ning Tanpa Tanding saat bertanding melawan Sang Ibu Guru. Anehnya, hanya dalam waktu beberapa bulan saja, tiba-tiba ilmu pedangnya maju pesat. Ilmu pedangnya pun tidak mirip gaya ilmu pedang Perguruan Huashan, sehingga wajar kalau mereka mencurigai dirinya telah mencuri ilmu pedang pihak lain. Dan ilmu pedang yang dicuri itu, apa lagi kalau bukan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin?

Di sisi lain, Linghu Chong telah berjanji untuk tidak membocorkan keberadaan Feng Qingyang, sehingga ia tidak bisa menjelaskan begitu saja dari mana asal-usul ilmu pedagnya yang cemerlang. Yue Buqun memang telah mengeluarkannya dari Perguruan Huashan dan memutuskan segala ikatan dengannya dengan alasan karena ia bergaul dengan kaum aliran sesat. Namun, ia sadar bahwa kemungkinan besar alasan yang sebenarnya adalah karena Sang Guru percaya kalau dirinya telah menggelapkan Kitab Pedang penakluk Iblis. Orang yang melakukan perbuatan hina macam itu jelas tidak bisa untuk tetap menjadi murid Perguruan Huashan. Maka, meskipun kini hatinya pedih mendengar senda gurau muda-mudi itu, terpaksa ia harus bersabar menahan diri demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehubungan dengan kitab pedang tersebut.

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Kau sudah mencari selama beberapa bulan tapi tidak juga menemukannya, maka kitab itu jelas tidak ada di sini. Untuk apa kita harus susah payah membongkar dinding segala? Kakak … Kakak Pertama suka bicara sembarangan, kenapa kau menganggapnya sungguh-sungguh?”

Lagi-lagi Linghu Chong merasa pedih. “Ternyata dia masih memanggilku ‘kakak pertama’,” pikirnya.

Lin Pingzhi menjawab, “Kakak Pertama telah menyampaikan wasiat ayahku, bahwa ada barang tinggalan leluhur di rumah lama keluarga kami di Gang Xiangyang sini yang tidak boleh sembarangan dibaca dengan seksama. Kupikir kalau kitab itu telah dipinjam oleh Kakak Pertama dan untuk sementara waktu tidak dikembalikan ….”

Linghu Chong tersenyum getir mendengarnya. Dalam hati ia berkata, “Walaupun kau menggunakan kata-kata sopan tidak menyebutku menggelapkan kitab segala, tetap saja kaukatakan aku telah meminjamnya dan untuk sementara waktu tidak mengembalikannya. Huh, buat apa kau berbelit-belit seperti itu?”

Lin Pingzhi melanjutkan, “Tapi Kakak Pertama tidak mungkin mengarang perkataan ‘rumah lama Keluarga Lin di Gang Xiangyang’, sehingga aku yakin apa yang disampaikannya kepadaku benar-benar berasal dari wasiat Ayah dan Ibu. Kakak Pertama sebelumnya tidak pernah bertemu keluarga kami, juga tidak pernah datang ke Fuzhou sini, maka ia sama sekali tidak mungkin tahu kalau di kota ini ada sebuah jalan kecil bernama Gang Xiangyang. Apalagi soal rumah lama leluhur kami di jalan ini, mana mungkin dia tahu? Bahkan orang-orang Fuzhou juga sedikit yang tahu soal ini.”

“Baiklah, kalau seumpama wasiat ayah dan ibumu itu benar, lantas bagaimana?” tanya Yue Lingshan.

Lin Pingzhi berkata, “Wasiat ayahku yang disampaikan Kakak Pertama itu mengatakan ‘jangan membacanya dengan seksama’, tentu yang dimaksud bukan Kitab Shishu Wujing atau catatan pembukuan semacamnya. Setelah kupikir-pikir sekian lama, aku menjadi yakin wasiat itu tentu ada sangkut pautnya dengan kitab pedang. Wasiat ayahku menyebut soal rumah tua ini dan juga Gang Xiangyang. Seandainya kitab itu sudah tidak berada di sini lagi, paling tidak dapat kuperoleh sedikit petunjuk atau semacamnya di sini.”

Yue Lingshan menyahut, “Benar juga katamu. Selama beberapa hari ini kulihat kau kurang bersemangat. Malam hari kau tidak mau tinggal di gedung biro dan selalu ingin datang kemari. Aku jadi khawatir, sehingga sengaja datang menengokmu. Ternyata di siang hari kau sibuk berlatih pedang, juga lelah menemaniku, dan begitu malam tiba kau masih sibuk memeriksa rumah tua ini.”

Lin Pingzhi tersenyum getir, lalu menghela napas dan berkata, “Kematian ayah dan ibuku sangat menyedihkan. Jika aku dapat menemukan kitab pedang itu dan membunuh musuh dengan tangan sendiri menggunakan ilmu pedang warisan leluhur, barulah arwah Ayah dan Ibu akan terhibur di alam baka.”

“Entah saat ini Kakak Pertama ada di mana?” ujar Yue Lingshan. “Jika aku dapat bertemu dengannya tentu akan kumintakan kitab itu untukmu. Ilmu pedangnya sekarang sudah sangat tinggi, sudah seharusnya kitab itu dikembalikan kepada yang punya. Menurutku, sebaiknya akhiri saja khayalanmu, tidak perlu lagi mengacak-acak seisi rumah tua ini. Seandainya kitab keluargamu itu sudah tidak ada, kau bisa belajar ilmu Awan Lembayung milik ayahku untuk membalaskan sakit hatimu.”

“Tentu saja,” kata Lin Pingzhi. “Namun kematian ayah-ibuku sungguh mengenaskan. Sebelum ajal mereka banyak disiksa dan dihina pula. Jika aku bisa membalas dendam menggunakan ilmu pedang milik keluarga sendiri tentu rasanya benar-benar dapat melampiaskan sakit hati Ayah dan Ibu. Lagipula, ilmu Awan Lembayung sejak dulu tidak sembarangan diajarkan kepada setiap murid. Aku sendiri adalah murid yang paling akhir masuk Perguruan. Meskipun Guru dan Ibu Guru sayang kepadaku dan berkenan mengajarkan ilmu tersebut, namun para kakak seperguruan tidak akan menerimanya. Bisa saja mereka berkata … pasti berkata ….”

“Berkata apa?” tukas Yue Lingshan.

“Bisa saja mereka berkata kalau aku belum tentu tulus kepadamu. Bahwa aku berbuat baik sebenarnya hanya untuk mencari muka di hadapan Guru dan Ibu Guru supaya mendapatkan ilmu Awan Lembayung,” jawab Lin Pingzhi.

“Huh, peduli apa dengan anggapan mereka? Yang penting aku tahu kalau kau benar-benar tulus,” ujar Yue Lingshan.

“Bagaimana kau tahu kalau aku benar-benar tulus?” tanya Lin Pingzhi sambil tertawa.

Mendadak terdengar suara pukulan Yue Lingshan mendarat pada badan Lin Pingzhi. “Ya, aku tahu kau ini cuma pura-pura saja. Kau adalah manusia berhati serigala,” katanya.

“Sudahlah, malam sudah larut. Mari kita pulang saja,” kata Lin Pingzhi sambil tertawa. “Tapi kalau kuantar kau pulang ke gedung biro, bila ketahuan Guru dan Ibu Guru tentu bisa celaka.”

“Jadi kau ingin aku cepat pulang? Baiklah, jika kau mengusirku, maka aku akan segera pergi. Tidak perlu kau antar segala,” kata Yue Lingshan.

Mendengar nada suara gadis itu yang terdengar tidak senang, Linghu Chong membayangkan pasti saat ini ia sedang mencibirkan bibirnya yang mungil sambil pura-pura marah. Tentu wajahnya terlihat semakin menawan.

Lin Pingzhi menjawab, “Guru mengatakan, Ketua Sekte Iblis terdahulu, Ren Woxing telah muncul kembali di dunia persilatan. Kabarnya ia sudah berada di wilayah Fujian sini. Orang itu ilmu silatnya sangat tinggi tiada terkira, sifatnya juga kejam dan telengas. Jika tengah malam kau berjalan sendiri dan kebetulan bertemu dia, lantas … lantas bagaimana?”

Linghu Chong berpikir, “Ternyata Guru sudah mendengar soal ini. Ketika aku membuat keributan di Pegunungan Xianxia tempo hari, tentunya semua orang mengira Ren Woxing telah mendekati Fujian. Kalau Guru sudah mengetahui, maka aku tidak perlu mengirim surat lagi.”

Terdengar Yue Lingshan menyahut, “Hm, kalau kau mengantarku pulang dan kebetulan bertemu dia, apakah kau mampu membekuk atau membunuh dia?”

“Ya, aku sadar ilmu silatku rendah. Kau sengaja mengolok-olok aku ya?” kata Lin Pingzhi. “Sudah jelas aku bukan tandingannya. Tapi, asalkan aku bisa bersamamu, biarpun mati juga kita mati bersama.”

Seketika suara Yue Lingshan berubah lembut, “Lin Kecil, bukan maksudku mengatakan ilmu silatmu rendah. Asalkan kau rajin dan tekun berlatih, tentu kelak lebih hebat daripada aku. Meskipun saat ini belum semua ilmu pedang kaukuasai, tapi jika berkelahi sungguh-sungguh juga aku belum tentu sanggup mengalahkanmu.”

Lin Pingzhi tertawa dan berkata, “Ah, kalau kau memegang pedang dengan tangan kiri barulah kita bisa bertanding.”

Yue Lingshan tidak ingin pergi. Ia berkata, “Lin Kecil, mari kubantu mencari lagi. Benda-benda di rumah tuamu ini sudah kau hafal dengan baik, sehingga tidak menarik perhatian lagi bagimu. Mungkin sekali aku dapat menemukan suatu benda yang kuanggap mencolok.”

“Baiklah, kau boleh coba mencari sesuatu yang kau rasa aneh,” ujar Lin Pingzhi.

Linghu Chong segera mendengar suara laci ditarik dan meja-kursi digeser. Beberapa saat kemudian Yue Lingshan berkata, “Semuanya biasa saja, tidak ada yang mecolok. Apakah di rumah ini ada tempat-tempat yang luar biasa?”

Lin Pingzhi menggumam sendiri, kemudian menjawab, “Tempat yang luar biasa? Tidak ada kurasa.”

Yue Lingshan bertanya, “Di mana tempat keluargamu berlatih silat?”

“Tidak ada juga,” jawab Lin Pingzhi. “Sejak Kakek Buyut mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei, keluarga kami pun pindah ke rumah baru dan tinggal di sana. Kakek dan Ayah kalau berlatih silat juga di sana.  Dalam wasiat ayahku, ada kata-kata ‘jangan dibaca dengan seksama’ segala. Memangnya di tempat latihan silat ada yang perlu dibaca?”

“Nah, bagaimana kalau kita lihat-lihat ruang perpustakaan keluargamu?” ajak Yue Lingshan.

“Kami adalah keluarga pengawal turun-temurun. Kami tidak punya ruang perpustakaan, yang ada hanya ruang pembukuan. Ruang pembukuan pun adanya di gedung biro sana,” jawab Lin Pingzhi.

“Kalau begitu sulit untuk mencarinya,” kata Yue Lingshan. “Apakah di rumah ini ada sesuatu yang dapat dibaca dengan seksama?”

Lin Pingzhi menjawab, “Aku memikirkan wasiat Ayah yang disampaikan melalui Kakak Pertama, bahwa aku dilarang membaca dengan seksama barang-barang peninggalan leluhur. Padahal kemungkinan besar justru sebaliknya, aku harus membaca dengan seksama benda-benda peninggalan leluhurku. Tapi di sini juga tidak ada benda-benda kuno yang bisa dibaca. Setelah kupikir-pikir lagi, yang ada hanya beberapa kitab agama Buddha milik Kakek Buyut saja.”

Yue Lingshan langsung melonjak girang dan berkata, “Kitab Buddha? Bagus sekali! Biksu Bodhidharma adalah cikal bakal ilmu silat. Tentu bukan hal yang aneh kalau kitab ilmu pedang keluargamu disembunyikan di dalam kitab agama Buddha.”

Mendengar Yue Lingshan berkata demikian, semangat Linghu Chong seketika ikut bangkit. Ia berpikir, “Jika Adik Lin dapat menemukan kitab pedang itu di dalam kitab Buddha, tentu segala urusan akan menjadi beres dan aku tidak akan dicurigai menggelapkan lagi.”

Tapi lantas terdengar Lin Pingzhi menjawab, “Kitab-kitab itu sudah kuperiksa semua, bahkan sudah kubaca beberapa kali, lembar demi lembar. Tak hanya sekali dua kali, bahkan mungkin sudah puluhan kali. Bahkan aku juga membeli kitab-kitab Buddha seperti Kitab Jinkang, Kitab Xin, Kitab Huafa, dan Kitab Lengqie untuk kubandingkan isinya dengan kitab-kitab peninggalan Kakek Buyut tersebut, kata demi kata. Ternyata, isinya sama persis dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jadi, kitab-kitab yang ada di sini hanyalah kitab-kitab Buddha biasa.”

“Jika demikian tak ada gunanya bagi kita memeriksa lagi kitab-kitab itu?” ujar Yue Lingshan. Setelah termenung sebentar, mendadak ia bertanya, “Apakah lapisan dalam halaman kitab-kitab itu juga sudah kau periksa?”

“Lapisan dalam? Ah, ini belum terlintas dalam pikiranku,” sahut Lin Pingzhi. “Marilah sekarang juga kita memeriksanya lagi.”

Mereka berdua lalu melangkah bersama menuju ruang belakang dengan bergandeng tangan, sedangkan tangan yang lain masing-masing memegang tatakan lilin. Linghu Chong mengikuti perjalanan mereka dari atap rumah. Tampak sinar lilin itu menembus keluar dari balik jendela kamar-kamar, sampai akhirnya berhenti di sebuah ruangan di sudut barat laut. Dengan enteng Linghu Chong melompat turun dan mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela. Ternyata kamar itu adalah sebuah ruang sembahyang agama Buddha. Di tengah ruangan itu tergantung sebuah lukisan cat air Biksu Bodhidharma, cikal bakal Perguruan Shaolin yang terkenal. Tampak Biksu Bodhidharma dilukis dalam posisi membelakangi, sepertinya diambil dari kisah sewaktu ia sedang bersamadi menghadap tembok selama sembilan tahun. Di sebelah kiri ruangan terdapat sebuah bantalan duduk yang sudah sangat tua. Kemudian di atas meja sembahyang terdapat kentongan kayu berbentuk ikan, juga ada genta kecil, serta setumpuk kitab Buddha.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Sesepuh Lin yang mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei pernah menggetarkan dunia persilatan, tentunya tidak sedikit kawanan penjahat yang binasa di tangannya. Rupanya setelah tua ia menghabiskan sisa hidupnya di sini untuk menebus segala pembunuhan yang pernah dilakukannya.” Berpikir demikian ia pun membayangkan seorang jago persilatan yang rambutnya telah memutih duduk menyendiri di ruang sembahyang, menabuh kentongan ikan kayu sambil membaca kitab suci.

Terlihat Yue Lingshan mengambil sebuah kitab dan berkata, “Mari kita bongkar kitab ini. Coba periksa apakah lapisan pada tiap-tiap halamannya terselip suatu benda atau tertulis suatu kalimat. Jika tidak kita temukan apa-apa, kitab ini dapat kita jilid kembali. Bagaimana menurutmu?”

“Baiklah,” sahut Lin Pingzhi. Diambilnya kitab itu dan diputuskannya benang yang digunakan untuk menjilid. Halaman-halaman kitab itu kemudian dibentang di atas lantai. Yue Lingshan juga lantas membuka sebuah kitab lain serta mengangkatnya di depan lilin untuk disoroti kalau-kalau di tengah halaman terdapat tulisan lain.

Linghu Chong dapat menyaksikan potongan tubuh gadis itu dari balik celah jendela. Tangan Yue Lingshan tampak putih bersih, pergelangan kirinya masih memakai gelang perak seperti dulu. Terkadang wajahnya sedikit berpaling dan saling pandang dengan Lin Pingzhi, lalu mereka sama-sama tersenyum penuh arti dan melanjutkan memeriksa lembaran-lembaran kitab tersebut. Entah karena sorotan api lilin atau karena pipi Yue Lingshan yang bersemu merah, tapi wajah gadis itu memang terlihat sangat molek seperti buah persik musim semi. Linghu Chong sampai terkesima sendiri di luar jendela.

Satu per satu kitab-kitab di atas meja telah dibongkar oleh Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Ketika kitab-kitab yang berjumlah dua belas jilid itu hampir semua habis diperiksa, tiba-tiba Linghu Chong mendengar di belakangnya ada suara angin mendesir yang sangat lirih. Ia segera bersembunyi dengan merapatkan tubuh ke dinding. Dilihatnya dua sosok bayangan mendekat dari atap rumah sebelah selatan. Keduanya saling memberi isyarat dengan tangan, lalu melompat turun ke dalam pekarangan tanpa bersuara.

Kala itu Linghu Chong sudah menyelinap ke pojok lain. Dilihatnya kedua orang itu mendekati ruangan sembahyang, kemudian mengintip ke dalam mengamati apa yang sedang dikerjakan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Beberapa saat kemudian terdengar Yue Lingshan berkata, “Sudah habis semua. Kita tidak menemukan apa-apa.” Nadanya terdengar sangat kecewa. Tapi mendadak ia menyambung lagi, “Eh, Lin Kecil, aku ingat sesuatu. Coba kita ambil sebaskom air.” Suaranya terdengar kembali bersemangat.

“Untuk apa?” tanya Lin Pingzhi.

Yue Lingshan menjawab, “Dulu aku pernah mendengar Ayah bercerita bahwa ada sejenis rumput yang jika direndam dengan semacam larutan asam, bisa digunakan untuk menulis. Sesudah kering huruf yang tertulis akan menghilang, tapi kalau dibasahi dengan air, maka hurufnya akan timbul kembali.”

Seketika hati Linghu Chong terasa pedih saat mengenang Sang Guru bercerita demikian. Kala itu Yue Lingshan baru berumur delapan atau sembilan tahun, sementara dirinya berumur lima belas atau enam belas tahun. Kenangan masa silam mendadak membanjiri hatinya. Ia ingat pada hari itu dirinya sedang menangkap jangkrik untuk diadu. Jangkrik yang lebih besar dan kuat diberikannya kepada si adik kecil, sedangkan yang kecil untuk dirinya. Namun tak disangka, justru jangkrik yang besar kalah. Yue Lingshan pun menangis tak henti-hentinya. Dengan susah payah, Linghu Chong menghiburnya hingga bisa tersenyum kembali. Mereka berdua lalu pulang dan meminta Sang Guru bercerita. Terkenang kepada peristiwa masa silam yang menyenangkan itu, membuat kedua matanya basah berkaca-kaca.

Terdengar Lin Pingzhi menyahut, “Benar. Tidak ada salahnya kalau kita coba.”

Yue Lingshan mendahului melangkah, namun kemudian berpaling dan berkata, “Kita pergi bersama.”

Kedua muda-mudi itu lagi-lagi berjalan bergandeng tangan meninggalkan ruangan. Kedua orang yang mengintip di luar jendela tampak menahan napas dan tidak bergerak sedikit pun. Tidak lama kemudian Lin Pingzhi dan Yue Lingshan telah kembali. Mereka masing-masing membawa sebaskom air sambil melangkah masuk ke ruang sembahyang tersebut. Beberapa halaman kitab yang sudah terbongkar itu kemudian mereka rendam ke dalam air.

Hanya merendam sebentar Lin Pingzhi sudah tidak sabar lagi. Segera ia mengambil satu lembar halaman dan menyorotnya di bawah cahaya lilin, namun tidak terlihat tulisan apa-apa selain tulisan aslinya. Sebanyak dua puluh lembar telah mereka periksa namun tetap saja hasilnya tidak tampak sesuatu yang aneh.

Terdengar Lin Pingzhi menghela napas dan berkata, “Sudahlah, tidak perlu dilanjutkan lagi. Tidak ada tulisan lain yang aneh.”

Baru selesai Lin Pingzhi berkata demikian, tiba-tiba kedua orang yang mengintip di luar jendela tadi sudah bergerak memutar ke depan rumah dengan langkah sangat gesit, kemudian mendorong pintu dan menerobos masuk ke dalam.

“Siapa itu?” bentak Lin Pingzhi kaget

Tapi gerakan kedua orang itu sungguh cepat luar biasa. Begitu masuk ke dalam ruangan, mereka langsung menerjang maju bagaikan angin. Baru saja Lin Pingzhi hendak melawan, tahu-tahu iganya sudah kena totokan. Yue Lingshan sendiri baru saja melolos pedangnya setengah, tiba-tiba jari musuh sudah menuju ke arah matanya. Terpaksa ia melepaskan gagang pedang dan mengangkat tangannya untuk menangkis. Berturut-turut pihak lawan mencakar tiga kali, semuanya mengarah ke tenggorokan Yue Lingshan secara keji. Kontan saja Yue Lingshan terperanjat dan mundur dua langkah sampai punggungnya merapat pada meja sembahyang. Mendadak sebelah tangan orang itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Terpaksa Yue Lingshan menangkis sekuatnya dengan kedua tangan. Tak disangka serangan musuh hanyalah pancingan belaka. Jari tangan yang lain bergerak menotok pinggang Yue Lingshan dengan jitu sehingga gadis itu tak bisa berkutik lagi dan jatuh telentang di atas meja.

Semua kejadian itu disaksikan dengan jelas oleh Linghu Chong. Namun dikarenakan jiwa Lin Pingzhi dan Yue Lingshan untuk sementara tidak terancam, maka ia pun berpikir untuk tidak perlu buru-buru menolong mereka. Ia ingin tahu siapa sebenarnya kedua penyergap tersebut dan apa rencana mereka.

Kedua orang itu tampak memandang ke segala penjuru ruang sembahyang seperti mencari-cari sesuatu. Seorang di antaranya segera memungut bantalan kasur di lantai dan merobeknya menjadi dua bagian. Seorang yang lain menghantam kentongan ikan kayu di atas meja hingga pecah berantakan.

Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tidak bisa bicara, juga tidak bisa bergerak. Mereka hanya bisa melihat tenaga kedua orang itu sedemikian kuat, merusak bantalan kasur dan menghancurkan kentongan ikan kayu, jelas bertujuan untuk mencari Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kedua muda-mudi itu berpikir, “Kenapa tak terpikir oleh kami kalau kitab pedang itu tersimpan di dalam bantalan kasur dan kentongan ikan kayu?” Namun mereka merasa lega karena di dalam kedua benda tersebut tidak tersimpan suatu benda.

Kedua orang itu sama-sama berusia lebih dari lima puluh tahun. Seorang di antaranya berkepala botak, sedangkan yang seorang lagi berambut putih bersih. Gerak-gerik kedua orang itu sama-sama cepat luar biasa. Hanya sebentar saja mereka telah menghancurkan segala benda yang ada di dalam ruangan sembahyang itu, tapi tidak menemukan apa-apa.

Ketika sudah tidak ada benda lagi yang bisa dihancurkan, pandangan kedua orang itu serentak mengarah kepada lukisan Bodhidharma yang tergantung di dinding. Si botak menjulurkan tangan hendak mengambil lukisan itu, tapi si rambut putih mencegah dan berseru, “Nanti dulu, coba kau lihat jarinya!”

Pandangan Lin Pingzhi, Yue Lingshan, dan Linghu Chong serentak ikut tercurah kepada lukisan tersebut. Tampak sosok Bodhidharma digambarkan membelakangi dengan tangan kiri memegang sebuah kitab dan tangan kanan teracung ke atas menunjuk ke arah langit-langit rumah.

“Ada apa dengan jarinya?” tanya si botak.

“Aku belum yakin, tapi harus kita coba dulu,” sahut si rambut putih. Ia segera meloncat ke atas dan menghantamkan kedua tangannya ke arah titik yang ditunjuk Bodhidharma dalam lukisan tersebut. Angin tenaga yang dikerahkannya seketika menghancurkan langit-langit rumah tepat di atas lukisan.

Debu pasir dan kotoran pun berhamburan. Si botak berkata, “Mana ada ….” belum habis ucapannya, tiba-tiba selembar kain berwarna merah jatuh dari lubang yang tercipta pada langit-langit rumah akibat pukulan tadi. Ternyata kain tersebut adalah jubah merah yang biasa dipakai para biksu.

Dengan cepat si rambut putih menangkap jubah itu dan memeriksanya di bawah cahaya lilin. Ia kemudian berseru kegirangan, “Ini dia … ini dia! Ternyata di sini!” Karena senangnya, sampai-sampai suaranya terdengar ikut gemetar.

“Apa … apa itu?” tanya si botak.

“Lihatlah sendiri!” kata si rambut putih.

Linghu Chong memicingkan matanya mempertajam penglihatan. Samar-samar ia dapat melihat pada jubah tersebut terdapat rangkaian huruf-huruf kecil yang tak terhitung banyaknya.

Si botak bertanya ragu, “Apakah ini Kitab Pedang Penakluk Iblis?”

Si rambut putih berkata, “Bisa jadi. Sepertinya memang inilah kitab pedang itu. Hahahaha, hari ini kita dua bersaudara telah berjasa besar. Adik, kau saja yang simpan.”

Si botak begitu senang sampai-sampai mulutnya menganga. Ia kemudian menerima jubah itu dan melipatnya dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke balik baju. “Bagaimana dengan mereka? Kita bunuh?” katanya sambil menunjuk Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Linghu Chong sudah menggenggam gagang pedangnya erat-erat. Begitu si rambut putih mengiyakan pertanyaan si botak untuk membunuh Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, maka ia akan segera menerjang ke dalam untuk membinasakan kedua orang tua itu.

Namun ternyata si rambut putih menjawab, “Kitab pedang sudah di tangan, tidak ada gunanya kita mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Biarkan mereka begini saja.”

Kedua orang tua itu lantas melangkah keluar meninggalkan ruang sembahyang dan melompati pagar tembok rumah.

Linghu Chong pun mengejar mereka dengan melompati pagar tembok pula. Langkah kedua orang tua tersebut sangat cepat. Khawatir kehilangan jejak dalam kegelapan malam, Linghu Chong segera mempercepat langkahnya sehingga jarak mereka kini hanya tinggal beberapa meter saja.

Setiap kali kedua kakek itu mempercepat langkahnya, Linghu Chong pun ikut mempercepat langkahnya pula. Tapi mendadak kedua kakek itu berhenti dan membalik tubuh. Tahu-tahu sinar dingin berkelebat. Seketika Linghu Chong merasa kesakitan pada kedua pangkal lengannya. Ternyata kedua lawan telah melakukan sabetan senjata ke arahnya secepat kilat.

Gerakan kedua orang tua itu yang berhenti mendadak, membalik tubuh, dan menyerang secara tiba-tiba benar-benar terjadi dalam hitungan detik. Linghu Chong sendiri memang memiliki tenaga dalam tinggi dan ilmu pedang dahsyat. Namun pengalamannya masih dangkal jika menghadapi serangan kilat dan perubahan yang aneh semacam itu. Pengalaman bertarungnya masih kalah jauh dibandingkan para jago silat kelas satu. Maka kali ini ia benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan kilat lawan. Jangankan menangkis atau balas menyerang, bahkan ujung jarinya belum sempat menyentuh senjata sedikit pun, tahu-tahu kedua pangkal lengannya sudah terluka.

Ilmu golok kedua kakek itu sungguh luar biasa. Sekali serangan pertama mereka berhasil, serangan kedua pun dilancarkan pula. Linghu Chong sendiri terkejut luar biasa. Lekas-lekas ia melompat ke belakang. Untung tenaga dalamnya sangat kuat, sehingga berhasil melompat sejauh beberapa meter. Menyusul ia melompat sekali lagi dalam jarak beberapa meter.

Kedua kakek itu ganti terkejut menyaksikan kekuatan Linghu Chong yang sudah terluka, tapi masih sanggup melompat sedemikian cepat dan jauh pula. Tanpa bicara mereka lantas menerjang maju. Linghu Chong memutar tubuh hendak menghindar. Pundaknya yang terluka itu semula tidak terasa sakit, tapi setelah terkena angin rasa sakitnya berubah menjadi-jadi. Hampir saja ia jatuh pingsan karena rasa sakitnya itu, namun ia berpikir, “Jubah biksu yang dirampas kedua orang ini kemungkinan besar bertuliskan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis. Aku sendiri difitnah karenanya, maka bagaimanapun juga harus dapat kurebut kembali untuk diserahkan kepada Adik Lin.”

Setelah berpikir demikian, ia pun berusaha melolos pedangnya. Tak disangka, pedang itu hanya berhasil dicabut setengah saja, selanjutnya sukar ditarik lagi. Rupanya luka yang cukup parah pada pundaknya membuat lengan terasa lemas tak bertenaga. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dari belakang, rupanya golok musuh kembali disabetkan ke arah kepalanya. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk melompat ke depan sebisanya, sambil tangan kiri menarik kuat-kuat sampai ikat pinggangnya putus. Tangan kirinya kemudian menggenggam gagang pedang dan sekuat tenaga ia menghentakkan tangan sehingga sarung pedang pun terlempar ke tanah. Tapi baru saja hendak membalik tubuh, angin tajam sudah berkesiur menyambar wajahnya. Kedua golok musuh kembali menyerang sekaligus ke arahnya.

Lagi-lagi Linghu Chong melompat mundur selangkah. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing, namun cuaca saat itu masih gelap. Selain kilauan sinar golok yang berkelebat ke sana kemari, boleh dikata sukar melihat apa-apa meskipun ia harus memicingkan mata. Padahal prinsip utama Ilmu Sembilan Pedang Dugu adalah mencari celah kelemahan musuh dan mematahkan setiap jurus serangan lawan. Namun kini gerakan tubuh dan arah serangan musuh sama sekali tak terlihat sehingga ilmu pedangnya yang biasanya dahsyat itu pun tidak dapat digunakan dengan baik. Bahkan tiba-tiba lengan kirinya terasa sakit, rupanya kembali terkena sabetan golok musuh.

Karena sukar mengalahkan kedua lawannya, Linghu Chong pun memilih lari menuju jalan raya dengan tangan kiri memegang pedang, sedangkan tangan kanan mendekap luka di pundak agar darah tidak mengucur terlalu banyak dan membuat tubuhnya jatuh lemas.

Kedua orang tua itu mengejar di belakang. Setelah agak lama, mereka melihat langkah Linghu Chong sedemikian cepatnya, jelas sukar untuk disusul. Kedua kakek itu lantas berpikir kitab pedang yang dicari sudah ada di tangan, untuk apa mencari perkara lain? Maka, mereka pun berhenti tidak mengejar lagi. Keduanya lantas berputar balik hendak kembali ke arah semula.

Tapi Linghu Chong berteriak-teriak, “Hei, kawanan bangsat! Habis mencuri lantas mau lari, ya?” Habis itu ia lantas balik mengejar.

Kedua kakek itu menjadi gusar. Mereka pun berputar balik dan menyabetkan golok masing-masing. Linghu Chong tidak mau bertempur dan memilih kucing-kucingan dengan mereka. Ia segera berputar balik untuk melarikan diri sambil berdoa, “Semoga ada orang lewat dengan membawa lentera.”

Tiba-tiba terlintas akal di dalam benaknya. Dengan cepat ia pun melompat ke atap rumah. Sekilas terlihat di rumah depan sebelah kiri terdapat sinar lampu melalui celah jendela. Segera ia pun berlari menuju ke rumah tersebut, tapi kedua kakek itu tidak mau mengejarnya lagi.

Linghu Chong tidak kurang akal. Segera ia membungkuk dan memungut pecahan genting lalu melemparkannya ke arah mereka sambil berteriak, “Hei, kalian berdua maling pencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga Lin, yang satu botak, yang lain ubanan! Biarpun lari ke ujung langit pun akan tetap dikejar oleh para kesatria dunia persilatan! Bangkai kalian akan dicincang dan dicabik-cabik sampai hancur berantakan!” Sedetik kemudian terdengar pecahan genting yang dilempar tadi jatuh menghantam batu pelapis jalan raya.

Mendengar nama Kitab Pedang Penakluk Iblis disebut-sebut, kedua kakek itu berpikiran sama bahwa orang ini harus dibunuh agar tidak mendatangkan kesukaran di kemudian hari. Segera mereka melompat ke atap rumah dan mengejar Linghu Chong.

Linghu Chong merasa kakinya sudah lemas, tenaganya juga makin lama makin lemah. Dengan sisa tenaga ia berlari sekencang-kencangnya ke arah sinar lampu tadi. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung dan terjungkal dari atap rumah. Namun ia lekas-lekas menggunakan jurus Ikan Emas Melompat, sehingga tubuhnya berjumpalitan dan dapat bangkit kembali, kemudian berdiri bersandar pada tembok.

Kedua orang tua itu pun melompat turun dengan enteng, lalu melangkah maju dari arah kanan dan kiri Linghu Chong. Si botak menyeringai dan berkata, “Hehe, kami sudah memberi jalan kepadamu supaya menyelamatkan diri, tapi kau justru ingin mati.”

Linghu Chong dapat melihat kepala orang itu botak licin mengkilap. Ia pun terkesiap dan baru menyadari kalau pagi telah tiba. Merasa mendapat semangat baru, ia pun tertawa dan menjawab, “Sebenarnya kalian berasal dari aliran mana? Kenapa kalian ingin membunuhku?”

“Tidak perlu banyak bicara dengan dia,” kata si rambut putih yang kemudian mengangkat golok untuk diayunkan ke ubun-ubun Linghu Chong.

Linghu Chong segera memindahkan pedangnya ke tangan kanan dan menusukkannya ke depan secepat kilat. Sungguh di luar dugaan, tahu-tahu leher si rambut putih sudah tertembus pedang. Hanya dalam sekali serang saja, nyawa si rambut putih sudah melayang seketika.

Si botak terkejut tak percaya. Dengan cepat ia memutar goloknya dan menubruk maju. Kembali pedang Linghu Chong menebas dengan tepat mengenai pergelangan tangan orang itu, sehingga terpotong seketika dalam keadaan masih memegang golok. Menyusul kemudian ujung pedang itu sudah mengancam di depan leher si botak. Ia pun membentak, “Dari mana asal-usul kalian berdua? Lekas mengaku terus terang maka jiwamu akan kuampuni!”

Si botak tertawa lalu menjawab dengan nada putus asa, “Selama ini kami dua bersaudara malang melintang di dunia persilatan jarang sekali bertemu tandingan sepadan. Tapi hari ini ternyata kami harus mati di ujung pedangmu, sungguh aku sangat kagum. Hanya saja aku belum tahu siapakah marga dan nama Tuan yang mulia, sampai mati pun aku … aku masih penasaran.”

Meski sebelah tangannya sudah buntung, tapi sikap orang tua botak itu tetap gagah dan tidak mau menyerah. Mau tidak mau Linghu Chong merasa kagum juga terhadap sifat lawannya ini. Ia kemudian berkata, “Aku terpaksa harus membela diri. Sesungguhnya aku tidak pernah mengenal kalian berdua. Mohon maaf jika aku tanpa sengaja mencelakai kalian. Asalkan jubah biksu itu kau serahkan kepadaku, maka kita bisa berpisah secara baik-baik.”

Namun si botak menjawab tegas, “Selamanya Elang Gundul tidak sudi menyerah kepada musuh.” Mendadak tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu sebilah belati telah menancap di ulu hatinya sendiri.

Melihat lawannya bunuh diri, Linghu Chong pun merenung, “Orang ini lebih suka mati daripada menyerah. Hm, dia benar-benar seorang tokoh pilihan yang luar biasa.”

Ia lalu membungkuk untuk mengambil jubah biksu dari balik baju orang itu. Mendadak kepalanya terasa pening karena darahnya sudah terlalu banyak yang keluar. Lekas-lekas ia merobek kain bajunya untuk membalut luka di kedua lengannya tersebut secara sembarangan. Habis itu barulah ia mengambil jubah biksu dari balik baju si botak.

Saat itu kepalanya kembali terasa pusing. Setelah menghirup napas dalam-dalam, ia lalu mencari arah yang benar menuju ke rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang tadi. Namun baru berjalan belasan meter ia sudah merasa payah. “Jika aku roboh di sini, bukan saja jiwaku akan melayang, tapi juga akan dituduh sebagai pencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Barang bukti jelas-jelas berada padaku, setelah mati pun namaku akan menjadi hina.”

Berpikir demikian membuatnya memaksa diri untuk tetap bertahan. Selangkah demi selangkah akhirnya ia berhasil melewati Gang Xiangyang. Akan tetapi pintu rumah tua itu masih tertutup rapat. Lin Pingzhi dan Yue Lingshan jelas tidak bisa berkutik di dalam karena tertotok oleh kedua kakek tadi, sehingga tak ada orang lain lagi yang bisa membukakan pintu. Untuk melompat ke dalam dengan melintasi pagar tembok juga sudah tidak mampu lagi. Terpaksa ia menggedor beberapa kali, kemudian sebelah kakinya mendepak pintu keras-keras hingga tubuhnya berguncang.

Namun bukannya daun pintu itu yang terbuka oleh tendangannya, justru guncangan tadi yang membuatnya roboh pingsan tak sadarkan diri.

Yue Lingshan membantu Lin Pingzhi mencari kitab leluhur.
Kitab pedang pada jubah biksu.
Linghu Chong mengalahkan si botak dan si rambut putih.

(Bersambung)