Bagian 105 - Jago Perempuan dari Huashan

Yue Lingshan mewakili pihak Huashan.

“Terhadap siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk ikut bertanding, perlu ditetapkan suatu peraturan ….” seru Yue Buqun lantang dengan disertai tenaga dalam melimpah sehingga menenggelamkan suara perang mulut di antara para hadirin. Setelah suasana lebih tenang, ia melanjutkan, “Pertandingan ini adalah untuk menentukan Ketua Perguruan Lima Gunung, bukan menentukan gelar ‘pendekar nomor satu di muka bumi’. Oleh sebab itu, yang boleh bertanding hanya terbatas pada anggota Perguruan Lima Gunung saja. Orang luar biarpun memiliki kepandaian setinggi langit harus bisa menahan diri untuk tidak ikut serta.”

“Betul, betul! Kalau bukan anggota Perguruan Lima Gunung dilarang ikut bertanding!” seru banyak orang.

“Tidak setuju! Kita tetap ikut bertarung untuk menentukan siapa pendekar nomor satu di dunia!” seru salah seorang hadirin. Orang ini jelas hanya ingin memancing keributan sehingga para hadirin yang lain tidak ada yang menghiraukannya.

“Mengenai jalannya pertandingan nanti harus dilakukan dalam suasana persahabatan. Untuk ini, silakan Tuan Zuo memberikan tanggapan,” kata Yue Buqun kemudian.

“Kukira Tuan Yue tentu sudah punya cara-cara yang baik. Silakan dilanjut saja,” sahut Zuo Lengchan dengan nada kaku.

Yue Buqun berkata, “Akan sangat baik jika kita meminta Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang, Ketua Xie dari Partai Pengemis, Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng, dan para tamu kehormatan lainnya agar sudi menjadi juri. Siapa yang menang dan siapa yang kalah kita percayakan kepada para juri. Kita hanya menentukan kalah dan menang saja, bukan menentukan hidup dan mati.”

“Shantih, shantih!” ujar Mahabiksu Fangzheng bersabda. “Hanya menentukan kalah dan menang, bukan menentukan mati dan hidup. Kalimat ini sudah cukup menghapuskan kemungkinan terjadinya pertumpahan darah. Entah bagaimana pendapat Tuan Zuo?”

Zuo Lengchan menjawab, “Mahabiksu memikirkan perguruan kami, sudah tentu kami akan mematuhi. Aku rasa dari setiap perguruan dalam Serikat Pedang Lima Gunung masing-masing hanya boleh menampilkan seorang jago saja. Kalau tidak, nanti beratus-ratus orang tentu ingin bertanding semua. Lalu, sampai kapan baru bisa selesai?”

Di antara para hadirin tentu saja banyak yang ingin menonton keramaian. Bagi mereka, kalau pertandingan hanya dilakukan di antara lima jago dari kelima perguruan saja tentu terasa kurang seru. Tapi murid-murid Songshan yang berjumlah ratusan sudah bersorak mendukung usulan ketuanya, terpaksa para hadirin tidak berani menentang dan mau tidak mau ikut berteriak setuju.

Tiba-tiba Dewa Ranting Persik berseru, “Nanti dulu! Ketua Perguruan Taishan adalah Yujizi, apakah kita membiarkan seorang yang sudah buntung seperti dia ikut dalam pertandingan?”

Dewa Daun Persik menyahut, “Biarpun sudah buntung, tapi dia masih memiliki satu kaki. Bukankah dia masih bisa meloncat-loncat dan menyepak-nyepak?”

Maka kembali terdengar suara gelak tawa banyak orang bergemuruh keras.

Yuyinzi menjadi gusar mendengarnya, “Kalian berenam setan alas sudah membuat kakak seperguruanku cacat, sekarang berani mengolok-oloknya pula. Baiklah, aku harus membuntungi tangan dan kaki kalian semuanya. Ayo, kalau berani coba maju untuk bertanding satu lawan satu dengan pendeta tua ini!” Usai berkata ia lantas maju ke depan dengan pedang terhunus. Tubuhnya yang tinggi kurus dengan jubah berkibar-kibar membuatnya tampak gagah berwibawa. Melihat pemandangan itu, tidak sedikit para hadirin yang bersorak-sorak ramai.

“Apakah kau mewakili Perguruan Taishan dalam perebutan juara ini?” tanya Dewa Ranting Persik.

“Apakah kau dipilih oleh kawan-kawanmu atau kau sendiri yang ingin tampil ke muka?” sambung Dewa Daun Persik.

“Peduli apa denganmu?” sahut Yuyinzi gusar.

“Tentu saja peduli,” jawab Dewa Daun Persik. “Tidak hanya peduli, bahkan sangat peduli. Sebab kalau kau yang mewakili Perguruan Taishan dalam pertandingan ini, bila nanti kau kalah, maka Perguruan Taishan tidak boleh mengajukan jago lain.”

Yuyinzi menyahut, “Kalau orang kedua dari perguruan kami tampil untuk bertanding, lantas kalian mau apa?”

Tiba-tiba seorang tokoh Taishan lainnya berseru, “Kami tidak pernah menunjuk Adik Yuyin sebagai jago, sehingga dia bukan jago yang mewakili pihaik Taishan. Kalau Adik Yuyin kalah, maka dengan sendirinya Perguruan Taishan masih bisa mengajukan jago pilihan lain.” Yang berbicara ini adalah Yuqingzi, kakak seperguruan Yuyinzi.

“Haha, tentu jago Perguruan Taishan yang lain itu adalah kau, bukan?” kata Dewa Bunga Persik setengah mengejek.

“Benar, memangnya kakekmu yang akan maju?” jawab Yuqingzi ketus.

“Nah, nah, coba lihatlah, para hadirin! Kembali orang-orang Taishan ribut-ribut sendiri!” seru Dewa Buah Persik. “Baru saja Pendeta Tianmen tewas, kemudian Pendeta Yuji terluka parah, sekarang Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin sudah bertengkar sendiri dan berebut menjadi pemimpin Perguruan Taishan selanjutnya.”

“Omong kosong!” bentak Yuyinzi. Sementara Yuqingzi hanya tertawa dingin tanpa bicara.

“Sebenarnya pihak Perguruan Taishan akan diwakili oleh siapa dalam pertandingan ini?” tanya Dewa Bunga Persik selanjutnya.

“Aku!” seru Yuyinzi dan Yuqingzi bersamaan.

“Aneh, kenapa kalian tidak mau saling mengalah?” ujar Dewa Akar Persik. “Baiklah, kalian bisa saling gebrak lebih dulu, biar kita tahu siapa yang lebih tangguh. Percuma bertengkar dengan mulut, tentukan dengan berkelahi saja!”

Dengan perasaan gusar Yuqingzi melangkah maju dan berseru kepada Yuyinzi, “Adik, kau mundur saja! Jangan menjadi bahan tertawaan orang!”

“Kenapa aku akan ditertawakan orang?” tanya Yuyinzi. “Kakak Yuji terluka parah. Aku hanya ingin menuntut balas untuknya.”

“Tujuanmu hendak menuntut balas atau ingin berebut kedudukan ketua?” sahut Yuqingzi menegas.

“Apa? Hanya dengan sedikit kepandaian kita ini mana mungkin pantas menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?” ujar Yuyinzi. “Kukira kau hanya mimpi di siang bolong. Segenap anggota Perguruan Taishan kita sudah jelas mendukung Ketua Zuo dari Songshan. Untuk apa kita berdua ikut-ikut mempermalukan diri sendiri depan umum?”

“Jika demikian silakan kau mundur saja. Sebagai yang paling tua saat ini, pimpinan Perguruan Taishan aku yang pegang,” kata Yuqingzi.

“Meski kau terhitung paling tua di antara orang-orang Taishan saat ini, tapi segala perbuatan dan tingkah lakumu sukar diterima orang. Apa kau kira anggota-anggota perguruan kita mau tunduk begitu saja kepadamu?” tanya Yuyinzi.

“Apa artinya ucapanmu ini?” bentak Yuqingzi bengis. “Kau berani kurang ajar kepada orang yang lebih tua? Apakah kau lupa pada pasal pertama dari tata tertib perguruan kita?”

“Hahaha, apa kau lupa saat ini kita adalah sama-sama anggota Perguruan Lima Gunung?” ujar Yuyinzi. “Kita masuk Perguruan Lima Gunung pada hari, bulan, tahun, dan waktu yang sama. Atas dasar apa kau anggap dirimu lebih tua daripada aku? Tata tertib Perguruan Lima Gunung juga belum disusun, atas dasar apa pula kau tunjuk pasal satu atau pasal berapa segala? Sedikit-sedikit kau suka menonjolkan undang-undang Perguruan Taishan untuk menindas kawan sendiri. Namun sayangnya, sekarang ini Perguruan Taishan sudah dihapus. Yang ada hanyalah Perguruan Lima Gunung.”

Dewa Daun Persik menyela, “Berdirinya Perguruan Lima Gunung dan hilangnya Perguruan Taishan adalah sesuatu yang baik. Tapi, mengapa Yuyinzi berkata ‘namun sayangnya’? Apakah kalian berniat memecah belah Perguruan Lima Gunung dan membangkitkan kembali Perguruan Taishan? Yuyinzi, coba jelaskan, mengapa kau tadi mengatakan ‘namun sayangnya’?”

Seketika Yuyinzi terdiam tak bisa menjawab, begitu pula dengan Yuqingzi.

Lebih dari seribu orang hadirin sama-sama berteriak, “Hayolah, berkelahi saja! Kenapa bicara melulu? Habis berhantam baru jelas siapa yang lebih hebat!”

Pedang yang ada di tangan Yuqingzi tampak bergetar karena terdorong rasa gusar di hatinya. Meskipun ia terhitung lebih tua, namun memiliki kebiasaan buruk suka bermabuk-mabukan dan gemar main perempuan, sehingga ilmu pedangnya masih kalah bagus dibandingkan dengan Yuyinzi.

Dengan dileburnya Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan Lima Gunung, baik Yuqingzi maupun Yuyinzi sama-sama tidak berani bermimpi menjadi ketua, sebab mereka sadar kepandaian mereka masih kalah jauh dibandingkan Zuo Lengchan. Mereka merasa sudah puas bila sekembalinya ke Gunung Taishan nanti dapat diangkat menjadi pemimpin cabang menggantikan Tianmen yang sudah tewas, atau Yujizi yang sudah cacat itu. Namun, sekarang di bawah hasutan banyak hadirin mereka berdua sampai-sampai bertengkar sendiri. Yuqingzi tidak berani sembarangan menyerang, juga tidak rela menyerah kepada sang adik di depan umum. Karena itu, seketika ia menjadi serbasalah dan terlihat rikuh. Di sisi lain, Zuo Lengchan tampaknya juga lebih menyukai Yuyinzi dan menghendakinya menjadi pemimpin cabang Taishan. Yuqingzi membayangkan betapa malunya jika nanti ia berada di bawah perintah Yuyinzi. Maka itu, ia semakin bersikukuh untuk tidak mundur barang selangkah pun juga.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang melengking tajam berkata, “Huh, kalian berdua sama sekali belum menguasai intisari ilmu pedang Perguruan Taishan, tapi sudah berani menebalkan muka untuk bertengkar di sini. Buang-buang waktu saja!”

Begitu semua orang berpaling ke arah datangnya suara, tampak oleh mereka seorang pemuda berbadan tinggi dengan wajah tampan tapi agak pucat. Bibirnya tersungging menampilkan senyuman sinis pula. Salah seorang hadirin yang mengenalnya lantas berseru, “Itu menantu baru Tuan Yue dari Perguruan Huashan!”

Pemuda berwajah tampan yang berseru tajam tadi memang Lin Pingzhi orangnya.

Linghu Chong terkejut melihatnya, dan berpikir, “Adik Lin biasanya sangat pendiam. Kalau bicara juga selalu berhati-hati. Tak disangka, entah kenapa sifatnya sekarang banyak berubah dan ia berani mengolok-olok orang lain di depan umum?”

Namun demikian, diam-diam Linghu Chong sangat senang melihat Lin Pingzhi mengejek Yuyinzi dan Yuqingzi, karena ia menganggap mereka berdua adalah para pendeta pengkhianat yang bersama Yujizi telah mengakibatkan kematian Pendeta Tianmen.

Terdengar Yuyinzi menjawab, “Kalau aku belum menguasai intisari ilmu pedang Perguruan Taishan sama sekali, memangnya Saudara menguasainya? Kalau begitu Saudara boleh coba-coba memainkan beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Taishan agar dapat disaksikan para kesatria yang hadir di sini.” Berulang-ulang ia sengaja mengucapkan kata-kata “Perguruan Taishan” dengan nada keras. Tujuannya ialah hendak mengolok-olok Lin Pingzhi yang merupakan murid Perguruan Huashan tapi berani ikut campur menanggapi ilmu silat perguruan lain.

Tak disangka Lin Pingzhi malah menyeringai, “Ilmu silat Perguruan Taishan sangat luas dan mendalam, mana bisa dipahami oleh murid pengkhianat seperti dirimu, yang tega mencelakai sesama anggota perguruan sendiri dan bersekongkol dengan orang luar ….”

“Ping’er!” bentak Yue Buqun tiba-tiba. “Pendeta Yuyin adalah sesepuhmu, kau jangan kurang ajar!”

“Baik,” jawab Lin Pingzhi lantas berhenti bicara.

Dengan gusar Yuyinzi berkata kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, bagus sekali murid didikanmu dan menantu kesayanganmu ini. Sampai-sampai dia berani sembarangan mengoceh dan menilai ilmu silat Perguruan Taishan kami.”

“Dari mana kau tahu dia sembarangan mengoceh?” tiba-tiba seorang perempuan ikut menyela. Begitu melangkah ke depan tampak seorang nyonya muda mengenakan gaun panjang menyapu lantai muncul di samping Lin Pingzhi. Perempuan muda ini memakai sanggul berhiaskan setangkai bunga kecil berwarna merah, dengan ikat pinggang melambai-lambai tertiup angin. Ia tidak lain adalah Yue Lingshan, putri tunggal Yue Buqun yang juga istri Lin Pingzhi.

“Dengan ilmu pedang Taishan aku ingin mencoba kepandaianmu dan meminta petunjuk darimu,” ujar Yue Lingshan sambil memegang gagang pedangnya yang melintang di balik punggung.

Yuyinzi mengenali asal-usul nyonya muda ini, serta teringat bahwa Yue Buqun telah menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung dan cukup dihormati oleh Zuo Lengchan, maka ia pun tidak berani sembarangan bertindak kasar. Dengan tersenyum ia menjawab, “Aku sungguh menyesal karena tidak sempat hadir untuk menyampaikan selamat atas pernikahan Nona Yue. Apakah karena ini Nona Yue marah kepadaku? Tentang ilmu pedang Perguruan Huashan kalian memang sangat kukagumi. Tapi mengenai murid Huashan juga mahir ilmu pedang Taishan, wah, sungguh baru kali ini aku mendengarnya.”

Dengan menarik alisnya yang lentik, serta raut muka yang menghina, Yue Lingshan berkata, “Ayahku ingin menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Maka dengan sendirinya setiap ilmu pedang dari kelima perguruan harus dipelajarinya. Kalau tidak, bagaimana Beliau bisa memimpin Perguruan Lima Gunung kelak?”

Ucapan Yue Lingshan ini seketika membuat para kesatria yang hadir menjadi gempar. Segera ada yang berteriak, “Apa? Tuan Yue ingin menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?”

Ada pula yang berseru, “Apakah mungkin Tuan Yue juga mahir ilmu pedang Taishan, Songshan, Hengshan, dan Henshan?”

Yue Buqun berseru, “Ah, anak perempuanku suka membual saja. Omongan anak kecil janganlah dianggap sungguh-sungguh.”

Namun Yue Lingshan berkata lagi, “Paman Guru Zuo, jika kau mampu mengalahkan kami dengan ilmu pedang keempat perguruan yang lain, dengan sendirinya kami akan tunduk dan mengangkatmu sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung. Sebaliknya, kalau kau hanya mampu mengandalkan ilmu pedang Perguruan Songshan melulu, sekalipun kau dapat mengalahkan seluruh sainganmu, paling-paling hanya ilmu pedang perguruanmu saja yang kemudian terkenal.”

Para hadirin berpikir apa yang dikatakan Yue Lingshan memang tidak salah. Kalau ada yang mahir memainkan ilmu pedang dari kelima perguruan, sudah tentu orang inilah yang paling cocok untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Akan tetapi, ilmu pedang setiap aliran adalah hasil ciptaan tokoh-tokoh perguruan masing-masing dari angkatan tua turun-temurun selama ratusan tahun. Jangankan mahir kesemua ilmu pedang aliran-aliran itu, mempelajari ilmu pedang aliran sendiri saja sangat sukar untuk sampai pada tingkat mendalam secara keseluruhan.

Zuo Lengchan sendiri diam-diam berpikir, “Mengapa anak perempuan Yue Buqun ini berani bicara demikian? Di balik ini semua tentu ada maksud dan tujuan tertentu. Jangan-jangan Yue Buqun memang benar-benar ingin berebut jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung denganku.”

Terdengar Yuyinzi berkata, “Wah, ternyata Tuan Yue telah mahir menyelami intisari ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung. Ini benar-benar suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia persilatan. Maka, biarlah aku meminta Nona Yue memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu pedang Perguruan Taishan.”

“Baik!” jawab Yue Lingshan yang kemudian segera melolos pedangnya.

Melihat itu Yuyinzi sangat gusar dan berpikir, “Dengan ayahmu saja aku lebih tua satu angkatan, kenapa anak perempuan ingusan sepertimu berani angkat senjata di depanku?” Semula ia menyangka Yue Buqun tentu akan mencegah perbuatan anak perempuannya itu, sebab di antara tokoh-tokoh Huashan hanya Yue Buqun dan istrinya saja yang pantas menjadi lawannya.

Tak disangka, Yue Buqun hanya menggeleng-geleng saja, kemudian berkata dengan nada menyesal, “Benar-benar anak perempuan yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi. Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin adalah tokoh-tokoh papan atas Perguruan Taishan. Apa kau hendak mencari penyakit jika bermaksud melawan dengan ilmu pedang Taishan mereka.”

Ketika Yuyinzi melirik, dilihatnya pedang di tangan kanan Yue Lingshan menuding miring ke bawah, sementara jari-jari tangan kiri perempuan itu bertekuk-tekuk seperti sedang menghitung. Setelah menghitung satu sampai lima, tangannya lalu mengepal dan kemudian jari-jemarinya membuka satu per satu mulai dari ibu jari sampai kelingking. Setelah kelima jarinya terbuka, ibu jarinya kembali menekuk, dan seterusnya. Kontan saja Yuyinzi terkejut heran dan berpikir, “Hei, darimana anak ini paham jurus Jalur Daizong?”

Jurus Jalur Daizong adalah salah satu ilmu andalan Perguruan Taishan yang paling tinggi. Intisari jurus ini tidak terletak kepada serangan pedang di tangan kanan, tetapi pada tangan kiri yang memperhitungkan letak tempat musuh, perawakan musuh, panjang atau pendek senjata yang digunakan musuh, letak matahari, arah angin, serta bermacam-macam faktor lainnya pula. Perhitungannya sangat rumit, namun apabila tepat, sekali serang tentu mengenai sasaran dan sangat mematikan. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu Yuyinzi pernah mendengar jurus ini dari gurunya. Namun ia sadar bahwa dirinya tidak sanggup menyelami jurus yang memakai perhitungan rumit tersebut. Maka itu, sampai saat ini ia tidak pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

Di sisi lain, sang guru juga tidak terlalu memaksanya. Sepertinya sang guru sendiri juga tidak terlalu mahir menggunakan jurus Jalur Daizong tersebut dan ia hanya berkata, “Jurus Jalur Daizhong ini sangat sulit dipelajari. Sepertinya memang tidak praktis, tapi kekuatannya tak tertandingi. Kalau kau tidak sungguh-sungguh, maka kau tidak akan berjodoh dengan jurus hebat ini. Saudara-saudaramu yang lain tidak seteliti dirimu, sehingga peluang mereka mempelajari jurus Jalur Daizhong lebih kecil lagi. Sayang sekali, jurus perguruan kita yang luas dan mendalam ini harus berakhir dan tidak bisa diwariskan lagi ke angkatan selanjutnya.”

Karena sang guru tidak mengharuskan dirinya berlatih jurus yang sukar itu, tentu saja Yuyinzi merasa kebetulan. Sejak itu ia juga tidak pernah melihat ada orang Taishan yang bisa memainkan jurus rumit tersebut. Tak disangka, setelah berlalu puluhan tahun, tiba-tiba jurus itu kini hendak dimainkan oleh seorang nyonya muda yang berasal dari perguruan lain. Seketika pemandangan ini membuat hatinya gelisah, dan keringat dingin bercucuran pula.

Yuyinzi belum pernah mendengar gurunya mengajarkan cara mengalahkan jurus ini, sehingga ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Ia hanya berpikir bahwa orang lain tidak ada yang mempelajarinya, sehingga ia merasa tidak perlu untuk mempelajari cara untuk mengalahkannya. Akan tetapi, kejadian di dunia sungguh mendadak dan tidak terduga sama sekali. Dalam keadaan terdesak tiba-tiba terlintas akal di benaknya, “Bila aku cepat berganti tempat, lalu lompat ke sini dan loncat ke sana, dengan sendirinya perhitungannya akan meleset.”

Maka, Yuyinzi pun segera bergeser ke kanan tiga langkah, lalu putar balik dan menyerang dengan jurus Terang Bulan Tanpa Mega. Namun ketika tusukannya belum mencapai sasaran segera ia bergeser dan menyerang pula dengan jurus Gunung Tinggi Menjulang di Angkasa secara cepat. Pedangnya menikam maju dan mundur dengan amat gencar. Dilihatnya Yue Lingshan masih tegak berdiri di tempat semula, dengan tangan kiri tetap menghitung-hitung. Jika Yuyinzi bergerak, Yue Lingshan hanya memiringkan badannya mengikuti ke mana gerakan pedang pendeta tua itu, semakin lama semakin cepat.

Pola serangan Yuyinzi ini dikenal dengan sebutan Delapan Belas Tikungan Taishan. Gerakan ini diciptakan oleh seorang sesepuh Taishan pada masa dahulu yang terilhami dari banyaknya tikungan di Gunung Taishan yang rumit seperti usus kambing. Setiap lima langkah berbelok sekali, setiap sepuluh langkah berputar sekali. Sungguh berbahaya. Ilmu pedang ciptaan sesepuh itu pun disusun berdasarkan gambaran medan berat di Gunung Taishan tersebut. Jika delapan belas tikungan di Gunung Taishan semakin lama semakin berbahaya, begitu pula dengan jurus pedang ciptaannya juga semakin lama semakin ganas.  Meskipun demikian, semua serangan Yuyinzi ini seolah mengarah ke titik-titik berbahaya pada tubuh Yue Lingshan, namun kesemuanya tidak ada yang mematikan.

Dalam setiap gerakannya, sepasang mata Yuyinzi terus menerus memandang jari-jemari tangan kiri Yue Lingshan yang membuka dan menekuk tanpa henti. Seketika ia pun teringat pesan gurunya bahwa jurus Jalur Daizhong boleh dibilang sebagai leluhur ilmu pedang Taishan. Sekali menikam akan mengenai sasaran dengan telak dan membunuh lawan tanpa memerlukan jurus kedua. Kalau ilmu pedang seseorang sudah mencapai tingkatan ini, boleh dibilang ia telah melampaui keduniawian dan menjadi orang suci. Sang guru pun berterus terang bahwa dirinya tidak mengetahui seluk beluk jurus Jalur Daizhong secara mendalam, sehingga mempelajarinya jauh lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Teringat akan hal itu membuat keringat dingin Yuyinzi kembali mengalir. Oleh karena itu serangannya tadi tidak ada yang mematikan, karena takut kalau-kalau Yue Lingshan juga melancarkan serangan maut kepadanya.

Delapan Belas Tikungan Taishan ini dibagi menjadi Delapan Belas Lambat, dan Delapan Belas Cepat. Setelah delapan belas gerakan menikung secara lambat tiba-tiba berubah cepat dalam waktu singkat. Setiap langkah semakin cepat. Jurus ini diciptakan berdasarkan jalan setapak di Pegunungan Taishan yang rumit, berliku-liku, dan berubah-ubah dengan cepat. Semakin lama semakin curam tanjakannya, sehingga orang yang di belakang bisa melihat alas kaki orang yang mendaki di depan, sedangkan orang yang di depan bisa melihat ubun-ubun orang yang di belakang.

Linghu Chong khawatir melihat Yue Lingshan tidak menangkis ataupun menghindari serangan Yuyinzi, namun tetap berdiri seperti sedang menghitung-hitung dengan tangan kirinya. Hampir-hampir ia berteriak, “Adik Kecil, hati-hati!” Tetapi kata-katanya ini hanya tertahan di tenggorokan, sulit untuk diucapkan.

Sementara itu, Yuyinzi hampir saja menyelesaikan pola serangannya. Namun demikian, sejak awal ia sudah memutuskan untuk tidak bersungguh-sungguh menyerang Yue Lingshan dan ujung pedangnya selalu berjarak beberapa senti dari kulit nyonya muda itu.

Tiba-tiba Yue Lingshan memutar pedangnya dengan cepat dan kasar. Beruntun ia melancarkan lima kali serangan berturut-turut.

“Jurus Pedang Lima Raksasa!” seru Yuqingzi yang masih berdiri di samping.

Gunung Taishan memiliki lima pohon cemara tua. Konon, cemara-cemara tua itu hidup sejak zaman Dinasti Qin dan diberi nama Lima Cemara Raksasa. Kelima pohon tersebut memiliki cabang dan ranting yang terlihat saling lengket, dengan dedaunan rimbun yang saling menutupi. Kakak seperguruan dari guru Yuqingzi dan Yuyinzi mendapat ilham berkat melihat pemandangan kelima cemara tua itu sehingga kemudian menciptakan Jurus Pedang Lima Raksasa. Gerakan-gerakan dalam jurus pedang ini tampak sederhana namun mengandung perubahan-perubahan yang menakjubkan. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu Yuqingzi pernah mempelajari jurus pedang tersebut sampai cukup mendalam. Maka, ketika Yue Lingshan tiba-tiba memainkan jurus ini ia langsung dapat menilai gerak serangan nyonya muda itu. Apa yang dimainkan Yue Lingshan ternyata tidak sama persis dengan apa yang pernah ia pelajari, namun berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Merasa sangat terkejut, tanpa sadar kakinya pun melangkah maju supaya bisa melihat dengan lebih jelas.

Sementara itu, mendengar jurus serangannya dikenali, seketika Yue Lingshan memiringkan tubuhnya ke samping, lantas pedangnya menusuk Yuqingzi pula sambil berseru, “Apakah ini juga ilmu pedang Perguruan Taishan kalian?”

Segera Yuqingzi menangkis dengan pedangnya sambil menjawab, “Kenapa tidak? Ini adalah jurus Bangau Hinggap di Mata Air. Tapi ....” Meskipun dapat menangkis, tetap saja Yugingzi tergetar hatinya dan keringat dingin pun bercucuran pula. Apa yang dimainkan Yue Lingshan sedikit berbeda dengan yang pernah ia pelajari, namun tampak lebih mematikan. Hampir saja dadanya tertembus pedang nyonya muda itu.

Terdengar Yue Lingshan berseru, “Bagus jika kau pun mengetahuinya!” Sekejap kemudian pedangnya berbalik menebas ke arah Yuyinzi.

“Itu jurus Batu Menghadang Kuda,” seru Yuqingzi kembali berteriak. “Tapi, apa yang kau mainkan itu ... agak keliru ... salah ….”

“Ternyata kau hafal juga nama jurus pedang ini,” ujar Yue Lingshan.

Tiba-tiba pedangnya bergerak dengan cepat sebanyak dua kali. Terdengar Yuyinzi menjerit, paha kanannya telah tertusuk. Pada saat yang sama Yuqingzi tertusuk pula pada bagian lutut kanannya. Pendeta tua itu tampak sempoyongan, akhirnya sebelah kakinya tertekuk dan tubuhnya jatuh dalam keadaan berlutut ke tanah. Lekas-lekas ia menahan tubuhnya dengan menusukkan pedang ke bawah. Namun, terlalu keras ia menggunakan tenaga sehingga ujung pedangnya secara kebetulan bertumpu pada sebongkah batu dan akhirnya patah menjadi dua. Meskipun demikian, mulutnya masih sempat menggumam, “Jurus ... Jurus Tiga Kebahagiaan!”

Yue Lingshan tertawa dingin dan menyarungkan kembali pedangnya di balik punggung.

Sementara itu para penonton sudah bersorak gemuruh. Sungguh luar biasa, seorang nyonya muda berparas jelita telah mengalahkan dua tokoh sepuh Perguruan Taishan hanya dalam beberapa jurus, bahkan menggunakan jurus pedang lawan-lawannya sendiri. Ilmu pedangnya yang sedemikian hebat membuat para penonton berteriak-teriak memuji. Seketika bergemalah suara ribuan para hadirin tersebut bagaikan membelah gunung.

Zuo Lengchan saling pandang dengan beberapa kawannya dalam perasaan sangsi dan heran. Orang-orang Songshan itu berpikir, “Yang dimainkan anak perempuan ini memang benar-benar ilmu pedang Taishan yang hebat dan jarang terlihat. Walaupun permainannya tampak kurang murni, namun jurus-jurus serangan yang ganas dan terlatih itu pasti bukan hasil pemikiran perempuan ini. Kemungkinan besar itu semua adalah hasil pendalaman Yue Buqun. Padahal, untuk mendalami ilmu pedang setinggi ini entah diperlukan waktu berapa lama? Dari sini dapat dibayangkan betapa matang rencana dan maksud tujuan Yue Buqun dalam menghadapi persoalan ini.”

Yuyinzi tampak belum percaya pada kekalahannya. Ia berteriak, “Kau ... kau ... Ini bukan Jurus Jalur Daizong yang asli!”

Setelah terluka barulah Yuyinzi menyadari kalau yang dimainkan Yue Lingshan tadi bukan benar-benar Jurus Jalur Daizong. Jika benar Jurus Jalur Daizhong seharusnya bisa menang hanya dalam sekali serang saja, sehingga untuk apa harus repot-repot menggunakan jurus Lima Pedang Raksasa, Bangau Hinggap di Mata Air, Batu Menghadang Kuda, serta Tiga Kebahagiaan segala?

Semua jurus yang dilancarkan Yue Lingshan tersebut sudah dipelajari selama puluhan tahun oleh Yuqingzi dan Yuyinzi dan telah dihafal luar kepala oleh mereka. Sehingga, tanpa berpikir panjang kedua pendeta Taishan itu pun menggunakan jurus-jurus penangkal untuk mengalahkannya. Justru di sinilah letak perangkap Yue Lingshan, yaitu ia tiba-tiba saja mengubah jurus-jurusnya sehingga kedua lawannya itu pun masuk ke dalam jebakan dan kalah telak.

Yuqingzi dan Yuyinzi boleh dikatakan terluka karena salah mengambil langkah. Kalau saja yang dimainkan Yue Lingshan adalah jurus pedang Perguruan Huashan, tidak mungkin mereka berdua bisa masuk perangkap dan kalah secepat itu. Yang lebih mengesalkan lagi adalah nyonya muda ini telah mengubah bagian-bagian kunci dalam jurus-jurus pedang Taishan yang ia mainkan tadi. Akan tetapi, apa pun alasannya yang ia mainkan benar-benar ilmu pedang Taishan asli yang membuat Yuqingzi dan Yuyinzi marah bercampur malu, terkejut bercampur kecewa, heran bercampur kesal yang tak terlukiskan.

Di sisi lain, Linghu Chong juga merasa bingung melihat bagaimana Yue Lingshan merobohkan kedua lawannya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berbisik di belakangnya, “Tuan Muda Linghu, apakah kau yang telah mengajarkan jurus-jurus itu kepada Nona Yue?” Ketika ia berpaling, ternyata yang berbisik itu adalah Tian Boguang. Menanggapi pertanyaan tersebut ia hanya menggelengkan kepala.

Tian Boguang tersenyum berkata, “Dahulu ketika kau bertarung denganku di Puncak Huashan, aku ingat kau pernah menggunakan jurus Bangau Hinggap … apa tadi, namun waktu itu kau belum menguasainya dengan baik.”

Linghu Chong diam tak menjawab karena pikirannya hanyut dalam kebingungan. Begitu tadi Yue Lingshan memulai pertarungan, ia segera sadar bahwa apa yang dimainkan adik kecilnya itu adalah ilmu pedang Taishan yang terukir pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan yang pernah dilihatnya dulu. Meskipun demikian, ia tidak pernah menceritakan penemuannya itu kepada orang lain. Juga ketika meninggalkan Tebing Perenungan ia pun sempat menutup mulut gua rahasia tersebut menggunakan batu besar.

“Bagaimana Adik Kecil dapat menemukan gua itu? Ah, kalau aku bisa menemukan gua itu, mengapa Adik Kecil tidak dapat menemukannya? Apalagi aku secara tidak sengaja telah menemukan lorong sempit menuju gua rahasia itu, sehingga kemungkinan Adik Kecil menemukannya tentu lebih besar pula,” pikirnya.

Pada dinding gua rahasia tersebut telah terukir bermacam-macam gambar jurus dan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung serta bagaimana para Tetua Sekte Iblis telah mematahkannya. Linghu Chong kembali berpikir, “Aneh sekali. Meskipun aku hafal jurus-jurus yang terukir pada dinding gua itu dengan baik, namun aku tidak mengenali nama-namanya. Tapi mengapa Adik Kecil dapat mengenalnya dengan baik, serta mempergunakannya dengan bagus pula? Serangannya tadi berturut-turut, mengalir seperti air, seperti kusir kereta yang mengemudi dengan lancar karena sudah menghafal jalan. Sungguh mengagumkan.”

Ketika mendengar Yuqingzi menyebut jurus pamungkas yang dipakai Yue Lingshan tadi dengan nama “Tiga Kebahagiaan”, seketika Linghu Chong teringat pernah diajak sang guru mengunjungi Gunung Taishan beberapa tahun silam. Setelah melewati Gua Air, mereka berjumpa jalanan pegunungan yang curam dan diberi nama Jalur Tiga Kebahagiaan. Maksudnya ialah, jalur ini memiliki panjang tiga li, dan setelah melewatinya tentu hati akan merasa begitu bahagia. Tak disangka, jalur curam tersebut menjadi ilham terciptanya sebuah ilmu pedang yang ampuh.

Lamunan Linghu Chong seketika buyar begitu melihat seorang tua kurus berpenampilan dekil maju ke tengah dan berkata, “Tuan Yue telah mendalami setiap ilmu pedang kelima perguruan, sungguh peristiwa besar yang belum pernah terjadi di dunia persilatan. Seumur hidup aku si tua telah berlatih ilmu pedang Perguruan Hengshan, tapi ada beberapa bagian yang belum kumengerti. Sungguh kebetulan jika hari ini aku bisa meminta petunjuk kepada Tuan Yue.” Tangan kirinya memegang sebuah rebab tua yang mengkilap karena sering digosok, dan tangan kanannya secara perlahan mengeluarkan sebilah pedang tipis dari dalam rebab tersebut. Orang tua kurus dekil ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan.

Yue Lingshan memberi hormat dan berkata, “Mohon Paman Guru Mo sudi memaafkan, keponakan telah sembarangan belajar beberapa jurus pedang Perguruan Hengshan. Mohon Paman Guru Mo sudi memberi beberapa petunjuk seperlunya.”

Sebenarnya Tuan Besar Mo tadi mengatakan: “sungguh kebetulan jika hari ini aku bisa meminta petunjuk kepada Tuan Yue” adalah dengan maksud untuk menantang Yue Buqun. Siapa sangka ternyata Yue Lingshan yang menerima tantangan tersebut, bahkan menyatakan hendak menggunakan ilmu pedang Perguruan Hengshan pula.

Tuan Besar Mo memiliki nama besar di dunia persilatan. Apalagi Zuo Lengchan tadi sempat menyebutkan bahwa salah seorang adik seperguruannya, yaitu Fei Bin si Tapak Songyang Besar telah tewas di tangan orang tua dekil ini. Sebagian para hadirin pun berpikir, “Yue Lingshan berhasil mengalahkan dua jago sepuh Perguruan Taishan sekaligus menggunakan jurus pedang mereka. Apakah ia juga mampu mengalahkan Tuan Besar Mo menggunakan jurus pedang Hengshan?”

Tampak Tuan Besar Mo berkata dengan tersenyum, “Bagus sekali, bagus sekali! Hebat, hebat!”

“Jika aku bukan tandingan Paman Guru Mo, maka Ayah yang akan maju,” jawab Yue Lingshan.

Tuan Besar Mo menjawab, “Kau ini tandinganku, kau ini tandinganku.”

Usai berkata demikian pedangnya yang tipis itu perlahan-lahan menjulur ke depan. Tiba-tiba ia sedikit menyendal pedangnya dan seketika terdengar suara mendengung-dengung. Menyusul kemudian pedangnya kembali bergerak menimbulkan dengung dua kali.

Segera Yue Lingshan menangkis. Namun pedang Tuan Besar Mo berkelebat cepat bagaikan hantu, tahu-tahu sudah mengitar ke belakang Yue Lingshan. Lekas-lekas Yue Lingshan memutar tubuh, lalu terdengar suara mendengung lagi dua kali di telinganya. Tampak beberapa helai rambut melayang di udara dan jatuh ke tanah. Ia segera sadar bahwa itu adalah rambutnya yang terpotong oleh pedang Tuan Besar Mo.

Yue Lingshan sangat terkejut bukan main. Diam-diam ia berpikir, “Paman Guru Mo tidak ingin mencelakaiku. Kalau ia bersungguh-sungguh, tentu serangan tadi sudah membunuhku. Ah, ini sungguh kebetulan. Berarti aku bisa menyerang tanpa harus khawatir celaka olehnya.” Maka Yue Lingshan pun segera melancarkan serangan ke arah dahi dan perut Tuan Besar Mo tanpa menghiraukan gerakan pedang lawannya itu.

Tuan Besar Mo terkesiap oleh dua serangan tersebut. Ia pun berpikir, “Hah? Ini adalah jurus Quanming Furong dan Hexiang Zige. Dua jurus ini adalah andalan Perguruan Hengshan. Darimana anak perempuan ini mempelajarinya?”

Gunung Hengshan memiliki dua puluh tujuh puncak, dan lima di antaranya yang paling tinggi adalah Furong, Zige, Shilin, Tianzhu, dan Zhurong. Jurus-jurus pedang Hengshan pada umumnya dikelompokkan dengan menggunakan nama-nama puncak tersebut. Misalnya Jurus Pedang Furong mengandung tiga puluh enam jurus, sementara Jurus Pedang Zige mengandung empat puluh delapan jurus. Dengan memadukan jurus pedang dari kelompok yang berbeda tersebut akan tercipta suatu kekuatan yang dahsyat dan mengerikan.

Jurus Quanming Furong dan Hexiang Zige masing-masing mengandung bagian-bagian mendalam dari kelompok Pedang Furong dan Pedang Zige, yang kemudian dilebur dan disederhanakan menjadi satu, sebagai jurus menyerang sekaligus bertahan. Kekuatannya begitu besar dan menjadi salah satu dari lima jurus paling hebat dalam Perguruan Hengshan, yang disebut dengan istilah “Lima Pedang Sakti Hengshan”.

Dalam pertandingan kali ini Tuan Besar Mo dan Yue Lingshan sama-sama bergerak cepat, membuat para hadirin hanya bisa mendengar suara mereka saja, tanpa tahu siapa yang saat ini menyerang dan siapa yang saat ini bertahan, serta tidak tahu pula berapa jurus yang sudah dilewati kedua orang itu.

Di Puncak Songshan ini Tuan Besar Mo telah hadir dengan perhitungan matang. Sebenarnya ia sama sekali tidak berhasrat menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, karena hatinya sadar ia bukan tandingan Zuo Lengchan atau Linghu Chong. Akan tetapi, sebagai Ketua Perguruan Hengshan ia merasa tidak boleh tunduk begitu saja dan harus tetap menjaga kehormatan perguruannya. Maka, ia pun tampil dalam pertandingan ini setidaknya untuk mengalahkan jago Perguruan Taishan dan Huashan.

Sebenarnya Tuan Besar Mo ingin memberi pelajaran Yuqingzi dan Yuyinzi yang telah terlibat pembunuhan Pendeta Tianmen. Tak disangka, mereka sudah roboh lebih dulu oleh Yue Lingshan. Kini, lawannya yang tersisa hanya tinggal Yue Buqun saja.

Dalam pertandingan tiga babak di Biara Shaolin dulu, Tuan Besar Mo menyaksikan sendiri bagaimana kehebatan ilmu pedang Yue Buqun saat menghadapi Linghu Chong. Ia dapat menyimpulkan bahwa Yue Buqun sepertinya tidak lebih hebat darinya sehingga dalam pertandingan di Puncak Songshan kali ini ia yakin tidak akan kalah melawan Ketua Perguruan Huashan tersebut. Akan tetapi, tak disangka yang maju adalah putri Yue Buqun yang ternyata mampu memainkan jurus pedang Perguruan Hengshan. Dan yang lebih mengerikan lagi, ternyata Yue Lingshan mampu memainkan salah satu intisari jurus pedang Hengshan, yaitu satu jurus mengandung satu kelompok jurus. Mau tidak mau timbul perasaan cemas dan ngeri di dalam hatinya.

Dahulu kala ketika Serikat Pedang Lima Gunung bersatu menghadapi serangan sepuluh gembong Sekte Iblis di Puncak Huashan, saat itu kakek guru Tuan Besar Mo ikut bertempur dan tewas di sana. Guru Tuan Besar Mo sendiri masih sangat muda namun telah mempelajari semua kelompok jurus ilmu pedang Hengshan. Meskipun demikian, apa yang ia pelajari hanya garis besarnya saja, yaitu jurus yang mencakup kelompok jurus, misalnya jurus Quanming Furong dan jurus Hexiang Zige tersebut. Dengan demikian, Tuan Besar Mo pun tidak mendapatkan penjelasan rinci dari gurunya mengenai jurus-jurus itu. Tapi anehnya, mengapa Yue Lingshan yang berasal dari perguruan lain kini mampu memainkan kedua jurus tersebut? Dari mana sebenarnya nyonya muda ini mendapatkan pelajaran? Hanya saja, Yue Lingshan belum memahami jurus-jurus tersebut secara mendalam. Jika tidak, mana mungkin Tuan Besar Mo yang pikirannya sempat kacau masih bisa bertahan sampai saat ini?

Merobohkan jago sepuh dari Taishan.
Yue Lingshan menghadapi Tuan Besar Mo.