Bagian 106 - Mengalah

Tuan Besar Mo mendesak Yue Lingshan.

Meskipun Yue Lingshan mampu memainkan kedua jurus itu secara tepat, namun gagasan di dalamnya belum benar-benar ia pahami. Maka, Tuan Besar Mo pun dapat mengatasinya dengan baik. Pada jurus selanjutnya, pedang Yue Lingshan tampak bergoyang-goyang. Tuan Besar Mo mengenali bahwa itu adalah jurus Shilin Shuseng, disusul dengan jurus Tianzhu Yunqi. Gagasan di dalam rumpun Jurus Pedang Tianzhu diambil dari aneka perubahan awan dan kabut di angkasa.

Begitu melihat Yue Lingshan menggunakan jurus yang susah ditebak tersebut, Tuan Besar Mo memilih untuk menghindar daripada menangkisnya. Namun demikian, ia tetap memutar pedangnya secepat kilat ke barat dan ke timur, demi untuk mengaburkan pandangan para penonton bahwa dirinya sedang berusaha melarikan diri dari serangan si nyonya muda.

Tuan Besar Mo sadar, selain jurus Quanming Furong, Hexiang Zige, Shilin Shuseng, dan Tianzhu Yunqi, masih terdapat lagi jurus ampuh Perguruan Hengshan yang bernama Yanhui Zhurong. Di antara kelima puncak utama Gunung Hengshan, Zhurong merupakan puncak yang paling tinggi. Jurus Yanhui Zhurong juga merupakan jurus pedang paling hebat dari sekian banyak ilmu silat Perguruan Hengshan. Tuan Besar Mo sendiri hanya menerima penjelasan samar-samar dari gurunya karena sang guru sendiri juga kurang terlalu memahami jurus ini dengan jelas. Membayangkan jika Yue Lingshan tiba-tiba memainkannya seketika Tuan Besar Mo menjadi gentar dan khawatir. Meskipun nyawanya mungkin tidak sampai melayang, namun hal itu tentu akan sangat memalukan. Jika sampai kalah oleh ilmu pedang perguruan sendiri, tentu tidak ada lagi alasan baginya untuk tetap berkecimpung di dunia persilatan selamanya.

Akan tetapi, begitu melihat gaya Yue Lingshan yang menyerang dengan ragu-ragu dan kurang yakin, Tuan Besar Mo segera paham bahwa lawannya ini kurang berpengalaman dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. “Rupanya Nyonya Muda masih perlu banyak belajar lagi,” ujarnya setengah bergumam.

Dengan menggunakan jurus Tianzhu Yanqui, Yue Lingshan sebenarnya telah berhasil membuat Tuan Besar Mo terdesak mundur. Meskipun Tuan Besar Mo mampu menutupi kekalahannya dengan mengayunkan pedangnya ke segala arah, namun para tokoh papan atas seperti Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, Yue Buqun, dan Linghu Chong masih tetap bisa melihat gerakan pura-puranya itu. Andai saja Yue Lingshan memahami apa yang terjadi dan segera menarik pedangnya sambil berkata, “Terima kasih, Paman Guru Mo sudi mengalah!” tentu keadaan di antara mereka akan jelas terlihat, siapa yang kalah, siapa yang menang. Bagaimanapun juga Tuan Besar Mo adalah kaum sepuh berkedudukan tinggi, tidak pantas baginya tetap menyerang setelah kalah satu jurus melawan angkatan yang lebih muda. Namun sayangnya, Yue Lingshan tidak menyadari hal itu dan ia tetap bertarung meskipun dengan gerakan yang ragu-ragu.

Karena pihak lawan menunjukkan betapa pengalaman bertarungnya masih dangkal, kesempatan ini pun tidak disia-siakan oleh Tuan Besar Mo. Begitu melihat bibir mungil Yue Lingshan yang berwarna merah delima tersenyum merekah seolah hendak mengatakan sesuatu, seketika itu pula pedang tipis Tuan Besar Mo bergerak dengan cepat. Ini merupakan puncak dari hasil latihannya selama berpuluh-puluh tahun. Gerakannya yang sangat cepat membuat Yue Lingshan terkurung dalam kilatan sinar pedangnya. Suara pedangnya menderu-deru sampai terdengar seperti alunan suara rebab yang menyayat hati.

Yue Lingshan berseru kaget dan mundur beberapa langkah. Akan tetapi, Tuan Besar Mo terus saja mendesaknya agar tidak sempat mengerahkan jurus Yanhui Zhurong. Kali ini Tuan Besar Mo mengerahkan Jurus Tiga Belas Hantu Kabut Hengshan yang dulu digunakannya untuk membunuh Fei Bin di Gunung Hengshan. Para hadirin ikut pusing melihat kecepatan gerak tubuh Tuan Besar Mo itu. Dalam hati mereka ikut kasihan melihat keadaan Yue Lingshan yang terdesak tanpa ampun. Jangankan untuk menyerang, bertahan saja tampak kesulitan. Andai saja ini bukan pertarungan antara laki-laki dan perempuan, atau pertarungan antara sesepuh melawan angkatan muda, tentu para hadirin sudah bertepuk tangan sejak tadi memuji kehebatan Tuan Besar Mo.

Begitu melihat Yue Lingshan menggunakan Jurus Quanming Furong tadi, Linghu Chong tidak ragu lagi bahwa sang adik kecil telah mempelajarinya dari ukiran pada dinding gua rahasia di Tebing Perenungan, di Puncak Huashan. Sambil termenung-menung ia berpikir, “Mengapa Adik Kecil bisa berada di Tebing Perenungan? Guru dan Ibu Guru sangat sayang kepadanya, tidak mungkin Beliau berdua menghukum Adik Kecil. Apa pun kesalahan yang diperbuat Adik Kecil, Guru dan Ibu Guru pasti hanya memarahinya, kemudian memaafkannya. Jarak antara Tebing Perenungan dengan markas Perguruan Huashan lumayan jauh, serta jalan yang menghubungkannya sangat terjal dan berbahaya. Meskipun bukan Adik Kecil yang berbuat salah, murid perempuan lainnya juga tidak sepantasnya dikirim ke sana.”

Sejenak kemudian Linghu Chong kembali melamun, “Apakah mungkin Adik Lin yang telah berbuat kesalahan sehingga dihukum di Tebing Perenungan? Apakah setiap hari Adik Kecil lantas datang menjenguk dan mengantar makanan kepadanya? Tapi, ah, tidak mungkin kalau Adik Lin sampai melanggar peraturan perguruan. Ia seorang pemuda yang santun, dan patuh terhadap aturan. Cepat atau lambat, ia pasti dijuluki Si Pedang Budiman Kecil. Tidak mungkin ... tidak mungkin Adik Lin sampai dihukum di Tebing Perenungan.”

“Jangan-jangan Adik Kecil ... jangan-jangan Adik Kecil ….” tiba-tiba suatu pikiran terlintas di dalam benaknya. Akan tetapi, pikiran ini sangat mustahil dan ia pun berusaha menekannya kembali. Untuk sesaat ia termangu-mangu mengapa memiliki pemikiran seperti itu. Namun ia sendiri juga tidak tahu dengan jelas pikiran macam apa yang terlintas dalam benaknya tadi. Kembali ia berusaha memikirkan hal tersebut, namun semakin dipikirkan justru semakin terkubur dalam-dalam.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan Yue Lingshan membuyarkan lamunan Linghu Chong. Pedangnya lepas dari tangan dan terlempar ke udara. Sebelah kakinya terpeleset dan ia pun jatuh terduduk. Sementara itu, Tuan Besar Mo tampak mengarahkan pedang tipis di tangannya menodong ke arah bahu kiri Yue Lingshan sambil berkata, “Jangan khawatir, silakan bangun!”

Namun sekejap kemudian terdengar suara benturan satu kali. Tampak pedang pendek Tuan Besar Mo itu patah menjadi dua pada bagian tengah. Ternyata Yue Lingshan telah memungut dua buah batu dan melemparkannya ke arah lawan. Satu mengenai pedang pendek yang tipis itu, dan satunya lagi melayang ke samping kiri.

Tuan Besar Mo tersentak kaget bercampur bingung melihat Yue Lingshan melemparkan batunya ke tempat kosong. Tak disangka tiba-tiba iganya terasa sakit. Rupanya batu yang dilemparkan ke samping kiri itu mendadak berputar balik dan secara tepat mematahkan tulang iga sebelah kanan laki-laki tua berbadan kurus itu. Seketika darah pun tersembur keluar dari mulutnya.

Kejadian ini sungguh teramat cepat luar biasa. Mula-mula pedang Yue Lingshan terlempar, orangnya jatuh terduduk, batu melayang, pedang patah, kemudian Tuan Besar Mo muntah darah seolah terjadi dalam sekejap mata. Para penonton ternganga karena kejadian-kejadian ini sungguh sulit untuk diikuti dengan pandangan mata. Menyusul kemudian pedang Yue Lingshan yang terlempar ke atas tadi jatuh pula dan menancap di samping Tuan Besar Mo dan hampir-hampir melukai tubuh Ketua Perguruan Hengshan tersebut

Para hadirin menyaksikan bahwa setelah Tuan Besar Mo menjatuhkan Yue Lingshan, ia tidak lagi melancarkan serangan, tapi menyuruh Yue Lingshan untuk tidak takut dan bangun kembali. Hal ini lazim terjadi manakala seorang tua mengalahkan lawan yang lebih muda. Akan tetapi, serangan Yue Lingshan menggunakan dua potong batu yang seketika membuat lawan terluka parah itulah yang benar-benar sukar diduga sebelumnya.

Hanya Linghu Chong seorang yang mengetahui bahwa kedua serangan pamungkas Yue Lingshan tersebut juga diperoleh dari ukiran pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Dalam gua tersebut, terukir lukisan seorang gembong Sekte Iblis mematahkan pedang tokoh Perguruan Hengshan menggunakan sepasang bandul tembaga. Kali ini Yue Lingshan telah menggunakan batu sebagai pengganti bandul untuk melumpuhkan Tuan Besar Mo. Rupanya Yue Lingshan telah berlatih keras untuk ini, di mana ia bisa memperlakukan sepotong batu bagaikan bandul tembaga seperti milik gembong Sekte Iblis tersebut, yaitu dilemparkan ke samping kiri kemudian berputar balik mengenai sasaran di sebelah kanan.

Tiba-tiba Yue Buqun melesat menghampiri Yue Lingshan dan menampar pipi putrinya itu sambil membentak, “Kurang ajar! Jelas-jelas Paman Guru Mo sengaja mengalah padamu, tapi mengapa kau malah berbuat kasar kepada Beliau?”

Ia kemudian memapah Tuan Besar Mo ke pinggir dan berkata, “Kakak Mo, harap dimaafkan kesalahan anak perempuanku yang tidak kenal adat itu. Sungguh aku sangat menyesal.”

Tuan Besar Mo menjawab sambil meringis, “Seekor harimau melahirkan anak harimau, sungguh perempuan muda yang luar biasa.” Usai berbicara kembali darah tersembur dari mulutnya. Segera dua orang murid Hengshan berlari mendekati dan memapahnya kembali ke tengah rombongan.

Dengan mata melotot Yue Buqun memandang tajam ke arah Yue Lingshan, lalu mengundurkan diri kembali ke dalam rombongan Huashan.

Linghu Chong melihat pipi Yue Lingshan merah membekas gambar lima jari, jelas tamparan sang ayah cukup keras. Air mata perempuan itu tampak meleleh pula, namun giginya berkerut-kerut menunjukkan sikap membantah membuat Linghu Chong teringat kembali kenangan di masa lalu. “Dahulu apabila Adik Kecil berbuat nakal dan dimarahi ayah-ibunya, seringkali ia memperlihatkan sikap yang sama seperti sekarang ini. Lalu untuk menyenangkan hati Adik Kecil, aku sering mengajaknya bertanding pedang. Hal yang bisa membuat hatinya senang kembali adalah jika menang bertanding melawanku. Untuk itu, aku sengaja pura-pura kalah kepadanya.”

Berpikir sampai di sini, kembali terpikir olehnya suatu kemungkinan bagaimana Yue Lingshan bisa menemukan gua rahasia di Puncak Huashan tersebut. Pikirannya yang tadi terkubur dalam-dalam tiba-tiba saja terlintas kembali dengan sangat jelas. “Jangan-jangan Adik Kecil masih merindukan aku meski ia sudah menikah dengan Adik Lin. Kemungkinan besar ia merindukan hubungan baik denganku di masa lampau, lalu secara diam-diam sengaja naik ke puncak untuk mengenang kembali pengalaman-pengalaman bersamaku. Padahal gua rahasia itu sudah kututup kembali sehingga sulit untuk ditemukan kecuali kalau ada orang yang tinggal di sana cukup lama. Apakah Adik Kecil telah menginap di sana cukup lama? Rasanya tidak mungkin. Tidak mungkin kalau Adik Kecil tinggal di sana beberapa malam demi mengenang diriku dan menemukan gua rahasia tersebut. Ataukah mungkin ia datang beberapa kali dan akhirnya berhasil menemukannya?”

Perlahan Linghu Chong menoleh ke arah Lin Pingzhi, dan kembali berpikir, “Adik Lin baru saja menikah dengan Adik Kecil. Seharusnya ia bergembira, tapi mengapa wajahnya tampak bermuram durja? Sebagai suami pun ia tidak menunjukkan perhatian terhadap istrinya ketika Adik Kecil ditampar oleh Guru di depan umum tadi. Sungguh keterlaluan!”

Membayangkan Yue Lingshan naik ke Puncak Huashan untuk mengenang hubungan dengannya di masa lalu – meskipun ini hanya dugaan sendiri – namun dalam benak Linghu Chong sudah timbul gambaran bahwa sang adik kecil pasti di sana sedang menangis sedih karena salah menikah dengan Lin Pingzhi, serta menyesal mengapa dulu menolak cintanya yang mendalam.

Melihat Yue Lingshan kini membungkuk untuk memungut kembali pedangnya dengan air mata bercucuran membasahi tanah berumput, seketika darah pun bergolak di rongga dada Linghu Chong. Ia lantas bertekad di dalam hati, “Aku akan menghiburnya, dan mengubah tangisannya menjadi senyuman.”

Dalam pandangan Linghu Chong saat ini Panggung Fengshan di Puncak Songshan telah berubah bagaikan Puncak Gadis Kumala di Gunung Huashan. Beribu-ribu hadirin yang sedang menonton dianggapnya seperti pepohonan belaka, dan yang ia pikirkan melulu hanyalah si jantung hati yang ia rindukan kini sedang menangis sedih lantaran dipukul ayahnya. Seumur hidup entah sudah berapa kali ia membujuk dan melucu sehingga sang pujaan hati terhibur dan kembali tertawa, mana boleh saat ini hanya diam berpangku tangan?

Maka Linghu Chong pun melangkah maju dan berseru, “Adik … Adik ….” tiba-tiba terpikir olehnya bahwa untuk menyenangkan si jantung hati ia harus bertanding sungguh-sungguh untuk kemudian mengalah. Maka dengan nada menantang ia mengganti suara, “Kau telah mengalahkan ketua-ketua dari Perguruan Taishan dan Hengshan, sudah tentu ilmu pedangmu tidak sembarangan. Perguruan Henshan kami tidak dapat menerima begitu saja. Apakah kau juga sanggup bertanding dengnku menggunakan ilmu pedang Henshan?”

Perlahan-lahan Yue Lingshan menoleh namun tidak berani mengangkat kepala seperti sedang memikirkan sesuatu. Sejenak kemudian barulah ia mendongak dengan raut muka tampak merona merah menahan malu.

Linghu Chong menyambung, “Meskipun ilmu silat Tuan Yue sangat tinggi, namun aku tidak yakin Beliau telah mendalami semua ilmu pedang dari empat perguruan lain dengan sempurna.”

Yue Lingshan menjawab, “Kau sendiri bukan orang Henshan asli, meskipun sekarang telah menjadi ketua di sana. Apakah kau sendiri sudah mahir ilmu pedang Perguruan Henshan yang kau pimpin itu?” Tampak air mata di pipinya sudah berhenti mengalir.

Sejak diusir dari Perguruan Huashan, baru kali ini sang adik kecil bersikap ramah kepadanya. Seketika timbul rasa gembira di hati Linghu Chong. Ia pun berpikir, “Aku harus berkelahi dengan teliti, supaya dia tidak tahu kalau aku sengaja mengalah kepadanya.”

Maka ia kemudian menjawab, “Dikatakan mahir aku sama sekali tidak berani. Tapi sudah sekian lamanya aku berada di Gunung Henshan, dengan sendirinya sudah cukup banyak berlatih ilmu pedang perguruan kami. Sekarang kita harus sama-sama menggunakan ilmu pedang Henshan. Kalau bukan ilmu pedang Henshan maka dianggap kalah, bagaimana?”

Bahwasanya ilmu pedang Linghu Chong jauh lebih tinggi daripada Yue Lingshan cukup banyak diketahui orang. Jika ia mengalah tentu para hadirin dapat dengan mudah mengetahuinya. Maka, ia pun mengucapkan tantangan seperti tadi, sehingga dalam pertandingan nanti ia akan menyelipkan ilmu Sembilan Pedang Dugu atau mungkin jurus pedang Perguruan Huashan, supaya kemenangannya dianggap batal dan ia memiliki alasan untuk mengaku kalah. Dengan demikian tentu hal ini tidak akan menimbulkan keraguan banyak orang bahwa kekalahannya sengaja dibuat-buat.

Terdengar Yue Lingshan menjawab, “Baik, kita bertarung sekarang!” Pedangnya lantas berputar setengah lingkaran dan segera menusuk miring ke arah Linghu Chong.

Serentak terdengar jerit heran murid-murid Henshan melihat gaya serangan Yue Lingshan itu. Meskipun para hadirin jarang mengetahui bagaimana bentuk ilmu pedang Henshan, namun dari jeritan heran para murid perempuan tadi sudah cukup membuktikan bahwa apa yang digunakan Yue Lingshan memang benar-benar ilmu pedang perguruan tersebut. Jurus serangan ini adalah ilmu pedang yang pernah dipelajari Linghu Chong dari dinding gua rahasia itu, dan juga telah diajarkannya kepada murid-murid Henshan pula. Itulah sebabnya mengapa mereka berteriak kaget begitu menyaksikan serangan Yue Lingshan tersebut.

Linghu Chong menahan serangan lawan dengan pedangnya. Ia paham ilmu pedang Henshan memiliki ciri khas banyak gerakan berputar dan melingkar tiada henti serta sangat rapat. Setiap gerakan pedang Perguruan Henshan terlihat lembut tapi mengandung kekuatan dahsyat. Begitu berhadapan dengan musuh, sembilan puluh persen gerakannya adalah untuk bertahan, dan yang sepuluh persen bersifat menyerang. Namun serangan ini seringkali bersifat tiba-tiba dan sangat mengejutkan, serta mengarah pada titik kelemahan lawan.

Linghu Chong telah cukup lama hidup bersama murid-murid Perguruan Henshan, serta pernah melihat pula Biksuni Dingjing ataupun Biksuni Dingxian bertempur melawan musuh. Maka dalam pertandingan ini ia dapat menampilkan jurus-jurus pedang Perguruan Henshan dengan sangat cermat dan teliti. Jelas ia telah menguasai intisari ilmu pedang Henshan secara mendalam. Para pesilat papan atas seperti Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Xie Feng, Zuo Lengchan, dan Yue Buqun dapat menilai kalau Linghu Chong telah berhasil memainkan ilmu pedang Henshan dengan sangat baik. Bahkan, gagasan umum dalam ilmu pedang Henshan yang terkenal dengan istilah “jarum dalam segumpal kapas” telah dipahami secara seksama oleh Linghu Chong. Diam-diam para hadirin berwawasan luas tersebut memberikan pujian dalam hati kepadanya.

Selama ratusan tahun terakhir ini Perguruan Henshan hanya beranggotakan kaum perempuan, dan hampir sebagian besar adalah para biksuni. Bagi penganut ajaran Buddha, sifat welas asih adalah dasar bagi segalanya. Lebih-lebih bagi kaum wanita tentu tidak sepantasnya memainkan jurus pedang yang kasar dan keras. Maka itu, gagasan utama ilmu silat Perguruan Henshan adalah untuk membela diri, bukan untuk menyerang. Prinsip utama ilmu silat perguruan ini adalah menyembunyikan jarum dalam segumpal kapas. Jika ada seseorang yang memegang kapas tersebut dengan lembut maka ia tidak akan terluka. Namun jika ia mencengkeram dengan keras, maka jarum dalam gumpalan tersebut akan menusuk tangannya. Jadi, luka yang tercipta bukan karena tajamnya jarum tetapi karena kuatnya genggaman si tangan. Gagasan ilmu silat Henshan ini sesuai dengan ajaran Sang Buddha, “Kau menciptakan nasibmu sendiri. Seberapa besar karma baik dan buruk berasal dari perbuatanmu sendiri”.

Setelah menguasai Ilmu Sembilan Pedang Dugu, kecerdasan Linghu Chong dalam memahami berbagai macam intisari ilmu pedang meningkat pesat. Ia memainkan ilmu pedang lebih kepada intisari gagasannya, bukan terjebak pada salah atau benar gerakannya. Maka, begitu memainkan jurus-jurus pedang Perguruan Henshan pun gerakannya cenderung berbeda dengan aslinya, namun maksud dan tujuannya tetap tersampaikan. Pada umumnya ilmu silat Henshan jarang tampil dan jarang dikenali orang, sehingga para hadirin yang berwawasan luas pun kebanyakan hanya mengetahui gagasan utamanya saja, tanpa mengetahui apakah gerakan Linghu Chong itu sudah benar atau tidak. Maka, begitu melihat permainan Linghu Chong yang sudah sesuai dengan prinsip dasar ilmu pedang Henshan, diam-diam mereka memuji, “Pendekar muda ini ternyata bukan secara kebetulan dipilih menjadi Ketua Perguruan Henshan, tetapi ia memang benar-benar menguasai ilmu silat perguruan ini. Rupanya Biksuni Dingxian tidak salah pilih orang.”

Di sisi lain, murid-murid Perguruan Henshan yang paling pandai seperti Yihe dan Yiqing jelas mengetahui kalau gerakan Linghu Chong berbeda dengan apa yang telah diajarkan guru mereka. Namun demikian, mereka tetap dapat menilai bahwa intisari dan gagasan dalam ilmu pedang Henshan telah dikuasai dengan baik oleh Linghu Chong, bahkan lebih mendalam.

Linghu Chong dan Yue Lingshan sama-sama mempelajari jurus pedang Perguruan Henshan dari lukisan para gembong Sekte Iblis yang terukir pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Namun dalam hal ini Linghu Chong memainkannya lebih baik daripada Yue Lingshan. Ditambah lagi Linghu Chong telah lama tinggal bersama kaum biksuni di Gunung Henshan sehingga intisari ilmu silat perguruan ini telah dikuasainya dengan baik. Andai saja bukan karena ingin mengalah untuk menghibur hati sang adik kecil, tentu Yue Lingshan sudah roboh pada awal pertarungan tadi.

Setelah melewati lebih dari tiga puluh jurus, Yue Lingshan mulai kehabisan gerakan karena jumlah jurus yang ia pelajari dari dinding gua rahasia cukup terbatas. Maka, untuk serangan selanjutnya ia pun mengulangi kembali gerakan dari awal. Untung saja jurus-jurus dalam ilmu pedang Henshan memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu gerakan-gerakan melingkar dan serangan tiba-tiba. Itulah sebabnya para hadirin tidak menyadari kalau Yue Lingshan telah mengulangi lagi jurus serangannya mulai dari awal. Apalagi permainan pedang Yue Lingshan sangat rapi dan berkesinambungan, sehingga selain Linghu Chong boleh dikata tidak ada lagi orang lain yang mengetahui kalau jurus-jurus yang dilancarkan kali ini adalah ulangan belaka.

Jurus pedang yang digunakan Yue Lingshan sangat rapat, sementara Linghu Chong mengatasinya dengan gerakan yang sama. Keduanya memainkan jurus-jurus yang sama dan mengandung intisari ilmu pedang Perguruan Henshan pula. Pertandingan kali ini terlihat sangat rumit tapi indah, sedap dipandang mata, sehingga para penonton pun bersorak-sorak memuji dan banyak yang bertepuk tangan.

Seorang penonton berkata, “Linghu Chong adalah Ketua Perguruan Henshan. Wajar kalau ia bisa memainkan jurus pedang Henshan dengan bagus. Tapi Nona Yue adalah orang Perguruan Huashan, mengapa ia juga mahir ilmu pedang Henshan?”

Penonton lain menjawab, “Apa kau lupa kalau Linghu Chong adalah murid pertama Tuan Yue? Tentu saja Tuan Yue sendiri yang telah mengajarkan ilmu pedang ini kepadanya. Kalau tidak, mana mungkin mereka berdua bisa bertanding sedemikian serasi?”

Penonton yang lain menyahut, “Benar, Tuan Yue sudah mahir ilmu pedang Huashan, Taishan, Hengshan, dan Henshan. Sepertinya ia juga mahir ilmu pedang Perguruan Songshan. Aku yakin jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung hanya pantas dijabat olehnya. Tidak ada pilihan yang lain!”

“Ah, belum tentu,” sahut seorang lagi. “Ilmu pedang Ketua Zuo dari Perguruan Songshan masih jauh lebih hebat daripada Tuan Yue. Dalam pertarungan, kualitas ilmu silat lebih penting daripada kuantitas. Sekalipun kau mampu memainkan segala macam ilmu silat di dunia ini, tapi kalau pengetahuanmu hanya beberapa jurus saja apa gunanya? Tentu akan seperti kucing berkaki tiga. Maka, aku yakin Ketua Zuo yang hanya mengandalkan ilmu pedang Songshan saja sudah sanggup untuk mengalahkan ilmu pedang empat perguruan yang dipelajari Tuan Yue.”

“Huh, dari mana kau tahu? Berani sekali omong kosong tak tahu malu?” gerutu orang yang berbicara sebelumnya.

“Omong kosong tak tahu malu bagaimana? Jika berani, mari kita bertaruh lima puluh tahil perak,” jawab yang satunya.

“Kenapa tidak berani?” teriak orang yang pertama. “Aku bayar seratus tahil perak, kontan! Siapa yang kalah menjadi murid Perguruan Henshan.”

“Boleh! Seratus tahil juga boleh,” seru yang lain tak mau kalah. “Tapi, apa maksudmu dengan menjadi murid Perguruan Henshan?”

“Siapa yang kalah menjadi biksuni!” ejek yang pertama.

“Sialan!” maki lawan bicaranya sambil meludah ke tanah.

Sementara itu serangan Yue Lingshan sudah bertambah cepat. Linghu Chong melihatnya begitu cantik dan lincah, membuat ia terkenang saat berlatih bersama di Gunung Huashan pada masa silam. Tanpa terasa pikirannya pun terbuai melayang-layang. Maka, ketika Yue Lingshan menusuknya, segera ia balas menyerang sekenanya. Tak terasa jurus yang dipakainya ini bukan lagi ilmu pedang Perguruan Henshan.

Yue Lingshan mengelak dan berkata lirih, “Mundu Hijau Laksana Kacang!” Menyusul kemudian ia pun membalas dengan suatu jurus, menebas ke arah dahi Linghu Chong.

Linghu Chong mengelak dan menggumam, “Daun Willow Lentik Alis!”

Mundu Hijau Laksana Kacang dan Daun Willow Lentik Alis adalah jurus-jurus dalam rangkaian ilmu pedang Chong Ling, yakni ilmu pedang hasil ciptaan Linghu Chong dan Yue Lingshan saat bersama dulu. Nama ilmu pedang Chong Ling ini diambil dari singkatan nama diri masing-masing, yaitu “Chong” dan “Lingshan”. Ilmu pedang ini sebenarnya tidak memiliki sesuatu yang istimewa, namun telah mereka latih dengan sangat matang. Tanpa terasa mereka kini telah memainkannya di hadapan banyak orang.

Linghu Chong jauh lebih cerdas daripada sang adik kecil. Apa pun yang ia kerjakan, pasti dilakukannya dengan riang gembira, tanpa rasa keterikatan terhadap aturan dan norma. Itu sebabnya ia selalu tampil dengan gagasan-gagasan baru. Meskipun ilmu pedang Chong Ling ini adalah gabungan nama mereka, namun hampir sembilan puluh persen lahir dari pikiran Linghu Chong. Saat itu ilmu silat keduanya masih terhitung rendah sehingga tidak ada yang istimewa dalam jurus-jurus yang mereka ciptakan itu. Namun keduanya sangat sering berlatih bersama di tempat tersembunyi sehingga sudah hafal luar kepala terhadap ilmu pedang tersebut.

Maka dalam pertandingan kali ini, Linghu Chong tanpa sadar sudah memainkan jurus Mundu Hijau Laksana Kacang, dan Yue Lingshan langsung menghadapinya dengan jurus Daun Willow Lentik Alis. Meskipun kedua jurus ini biasa-biasa saja, namun raut muka mereka berdua tampak merona merah. Linghu Chong lantas memainkan jurus Memandang dalam Kabut, sementara Yue Lingshan mengimbangi dengan jurus Pertemuan Pertama Hujan Reda.

Linghu Chong dan Yue Lingshan telah melatih ilmu pedang ciptaan mereka ini dalam waktu yang cukup lama, namun tidak berani terang-terangan karena takut mendapat teguran dari Guru dan Ibu Guru. Akan tetapi, kali ini keduanya tidak mampu menahan diri lagi dan memainkan jurus-jurus ciptaan mereka itu di hadapan banyak pendekar. Dalam waktu singkat mereka telah memainkan sekitar sepuluh jurus. Tidak hanya Linghu Chong yang tiba-tiba terkenang pemandangan alam Gunung Huashan, ternyata Yue Lingshan juga sudah tidak ingat kalau dirinya kini telah menikah dan menjadi istri orang lain. Mereka benar-benar lupa daratan bahwa kini sedang berada di hadapan beribu-ribu kaum persilatan. Yue Lingshan tidak ingat lagi kalau dirinya sedang bertanding demi nama baik sang ayah. Yang ada dalam pandangannya hanyalah sosok sang kakak seperguruan yang selalu riang gembira dan melayaninya memainkan ilmu pedang ciptaan bersama.

Linghu Chong melihat raut muka sang adik kecil semakin lembut dan semakin lunak. Tampak kilatan sinar bahagia terpancar pada sorot mata Yue Lingshan. Jelas si nyonya muda ini telah melupakan perlakuan kasar ayahnya tadi. Diam-diam Linghu Chong pun berpikir, “Saat aku melihatnya tadi pagi, ia tampak murung dan tidak bahagia. Namun kini ia terlihat begitu senang dan gembira. Aih, kalau jurus Pedang Chong Ling adalah sumber kebahagiaannya, rasanya aku tidak ingin menghentikan permainan ini seumur hidup.” Sejak mendengar sang adik kecil menyanyikan lagu rakyat Fujian di Tebing Perenungan waktu itu, baru kali ini Linghu Chong merasa diperlakukan dengan baik seperti dulu kala. Sungguh hatinya merasa sangat bahagia tiada terkira.

Setelah melewati dua puluh jurus berikutnya, pedang Yue Lingshan menebas ke arah kaki kiri Linghu Chong. Segera Linghu Chong mengangkat kakinya untuk kemudian mendepak batang pedang lawan. Namun Yue Lingshan segera menekan pedangnya ke bawah kemudian menebas telapak kaki sang kakak. Pedang Linghu Chong segera menusuk pula ke pinggang Yue Lingshan sehingga terpaksa si nyonya muda memutar pedangnya ke atas untuk menangkis. Maka kedua pedang itu pun beradu sehingga sama-sama tergetar ke atas. Keduanya kemudian sama-sama menusukkan pedang masing-masing ke depan mengarah ke tenggorokan lawan dengan kecepatan luar biasa.

Melihat arah pedang keduanya, dapat dibayangkan masing-masing dari mereka sukar untuk menghindarkan diri dan pasti akan gugur bersama. Tanpa terasa para penonton ikut menjerit khawatir. Namun mendadak terdengar suara benturan logam perlahan yang diikuti dengan percikan kembang api. Tidak hanya itu, batang pedang masing-masing sampai melengkung dan saling mendorong. Kemudian keduanya sama-sama menjulurkan tangan kiri dan saling meminjam tenaga lawan untuk mendarat di tanah.

Sungguh apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, bahwa akhir dari serangan maut keduanya itu bisa saling berbenturan ringan pada saat tubuh masing-masing melayang di udara. Kemungkinan terjadinya peristiwa ini sungguh sangat kecil. Dalam ribuan pertarungan, tidak pernah ada ceritanya pada saat-saat yang menentukan antara hidup dan mati tiba-tiba saja kedua ujung pedang bisa bertemu dan berbenturan hingga melengkung dengan sedemikian tepat.

Orang lain tidak tahu bahwa Linghu Chong dan Yue Lingshan dulu telah berlatih ribuan kali tanpa mengenal lelah untuk bisa membenturkan ujung pedang masing-masing, sehingga gerakan yang sulit dan berbahaya itu berhasil mereka mainkan dengan baik. Dalam memainkan jurus ini mereka berdua harus dalam posisi yang tepat. Tenaga mereka juga harus seimbang, sehingga begitu kedua ujung pedang bertemu dan saling dorong, seketika batang kedua pedang itu ikut melengkung oleh tenaga masing-masing. Ilmu pedang semacam ini tidak lazim digunakan untuk menyerang musuh, namun Linghu Chong dan Yue Lingshan merasa tertarik dan terhibur jika dapat melakukannya meskipun ini akan sulit luar biasa. Tidak hanya itu, mereka juga berlatih mempertemukan ujung pedang saat tubuh melayang di udara.

Setelah menciptakan jurus aneh ini, Yue Lingshan pernah bertanya, “Jurus ini kita beri nama apa?”

Linghu Chong balik bertanya, “Menurutmu bagaimana?”

Yue Lingshan menjawab, “Bagaimana kalau ‘Kehancuran Besar’?”

Linghu Chong menanggapi, “Kehancuran Besar? Rasanya ini seperti pertarungan antara musuh bebuyutan. Bagaimana kalau diberi nama ‘Jurus Kau Hidup Aku Mati’?”

Yue Lingshan keberatan, “Tidak setuju, tidak setuju! Harusnya kau yang mati, aku yang hidup!”

Linghu Chong berkata, “Memangnya aku tadi berkata apa? Kau yang hidup, aku yang mati, bukan?”

Yue Lingshan menanggapi, “Perjataan ‘kau’ dan ‘aku’ itu membingungkan. Dalam jurus ini tidak seorang pun dari kita yang mati. Lebih baik diberi nama ‘Jurus Sehidup Semati’ saja.”

“Bagus sekali! Aku setuju!” seru Linghu Chong sambil bertepuk tangan.

Namun saat itu Yue Lingshan tiba-tiba merasa malu karena nama jurus usulannya terdengar mesra. Ia pun membuang pedangnya lantas berlari pulang.

Kini di Puncak Songshan para hadirin melihat mereka berdua berada di ambang kematian namun kemudian berhasil lolos dari lubang jarum. Keringat dingin pun membasahi tangan mereka sampai-sampai lupa untuk bersorak-sorai seperti sebelumnya. Tempo hari di Biara Shaolin ketika terjadi pertandingan antara Linghu Chong melawan sang guru, waktu itu Yue Buqun memang memainkan jurus-jurus ilmu pedang Chong Ling, namun tidak sampai menggunakan Jurus Sehidup Semati ini. Yue Buqun memang pernah mengintip saat Linghu Chong dan Yue Lingshan berlatih bersama namun ia merasa tidak perlu menggunakan jurus yang konyol dan tidak berguna itu. Itulah sebabnya para tokoh seperti Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, dan yang lain sangat terkejut menyaksikan pemandangan tadi.

Sementara itu Ren Yingying dalam penyamarannya merasa khawatir juga tidak nyaman saat melihat pemandangan di tengah gelanggang itu. Ia melihat Linghu Chong dan Yue Lingshan melayang turun sambil bibir saling tersenyum mesra saat kedua mata saling berpandangan. Dari sikap dan gerak tubuh mereka, tampaknya masing-masing bagaikan sedang diselimuti suasana hangat angin sepoi-sepoi musim semi.

Keduanya kini mengangkat pedang dan bertarung kembali. Ketika menciptakan ilmu pedang ini dulu, mereka adalah sepasang kakak beradik yang sangat akrab dan enggan untuk berpisah. Itulah sebabnya jurus-jurus ciptaan mereka pun lebih banyak bersifat suka cita, dan bukan gerakan untuk membunuh. Sekarang dalam pertandingan ini tanpa disadari kenangan lama pun terulang kembali. Pedang mereka bergerak lemah gemulai, alis mereka sama-sama terangkat, dan kenangan terpendam ketika masih bersama dulu pun kembali menggelora. Tanpa terasa mereka pun saling mengungkapkan perasaan kasih sayang semasa kanak-kanak dulu. “Pertandingan pedang” di atas Puncak Songshan yang mereka lakukan ini lebih pantas disebut “menari dengan pedang”, atau lebih tepatnya lagi, “tarian pedang”. Akan tetapi tarian pedang ini bukan untuk menghibur penonton, melainkan untuk menghibur diri sendiri.

Tiba-tiba di tengah para penonton terdengar seseorang bersuara dingin, “Hei!”.

Kontan saja Yue Lingshan terkejut sebab suara itu tidak lain adalah suara Lin Pingzhi, suaminya. Seketika ia pun berpikir, “Caraku bertarung dengan Kakak Pertama memang tidak sepantasnya.”

Segera ia pun mengayunkan pedangnya membentuk setengah lingkaran dan menyerang dengan kekuatan penuh dan bertenaga. Ternyata yang ia mainkan kali ini adalah salah satu jurus indah dari Perguruan Huashan yang tergabung dalam rumpun Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala.

Linghu Chong juga mendengar suara Lin Pingzhi tadi dan gara-gara itu Yue Lingshan mengganti permainannya dengan melancarkan jurus serangan tanpa ampun. Kali ini si nyonya muda sudah tidak lagi memperlihatkan sikap mesra sebagaimana saat menggunakan Jurus Pedang Chong Ling tadi.

Seketika hati Linghu Chong menjadi pilu. Segala macam kenangan masa lalu lantas terbayang-bayang di benaknya. Saat itu ia kembali terkenang saat-saat menjalani hukuman di Tebing Perenungan, setiap hari sang adik kecil selalu mengantarkan makanan untuknya. Pernah juga Yue Lingshan bermalam bersamanya di dalam gua. Setelah kejadian itu sang adik kecil jatuh sakit dan entah kenapa dan entah bagaimana Lin Pingzhi berhasil merebut perhatiannya. Sejak itu hubungan Linghu Chong dengan Yue Lingshan pun menjadi renggang karena lebih sering terjadi kesalahpahaman di antara mereka.

Linghu Chong juga teringat pada hari berikutnya Yue Lingshan datang lagi ke puncak setelah berlatih Jurus Pedang Gadis Kumala dari ibunya. Di Puncak Huashan itu Yue Lingshan menguji kehebatan ilmu pedang barunya dengan melawan Linghu Chong. Namun saat itu Linghu Chong sedang dirasuki rasa cemburu sehingga tanpa sengaja ....

Seketika Linghu Chong tersentak dari lamunannya karena pedang Yue Lingshan ternyata telah berada dua senti di depan dadanya. Tanpa pikir panjang Linghu Chong langsung menyentil batang pedang Yue Lingshan itu hingga terlepas dari pegangan dan terlempar jauh ke angkasa.

“Oh, tidak!” seru Linghu Chong menyesal melihat raut muka Yue Lingshan yang bersemu merah, dengan mulut ingin tersenyum tapi tidak bisa tersenyum. Seketika Linghu Chong kembali teringat pada kejadian saat Yue Lingshan menguji Jurus Pedang Gadis Kumala di Tebing Perenungan dulu. Saat itu Linghu Chong yang sedang cemburu kepada Lin Pingzhi tanpa sengaja menyentil pedang Yue Lingshan sehingga jatuh ke dasar jurang yang tak terkira dalamnya. Padahal pedang tersebut adalah pedang pusaka bernama Pedang Telaga Hijau, hadiah ulang tahun pemberian sang ayah. Sejak kejadian itulah tercipta dinding pemisah di antara mereka berdua. Tak disangka kejadian yang sama kini terulang kembali. Saat mendengar suara Lin Pingzhi berseru sinis, dan saat melihat raut muka Yue Lingshan berubah tanpa belas kasih, seketika penyakit cemburu Linghu Chong kambuh kembali. Jika dulu saja ia dapat menyentil pedang Yue Lingshan hingga jatuh terpental ke dasar jurang, apalagi sekarang ini saat tenaga dalamnya sudah jauh melimpah ruah. Maka, pedang Yue Lingshan yang terlempar ke udara itu pun tadi sampai sekian lamanya baru terlihat jatuh kembali ke bawah.

Dalam keadaan serbasalah itu Linghu Chong berpikir, “Sebenarnya aku masuk ke dalam gelanggang ini hanyalah untuk menyenangkan hati Adik Kecil. Apalagi tadi ia mau bersikap ramah kembali padaku. Tapi mengapa, aku justru membuat pedangnya terlempar dan mempermalukan dirinya di hadapan banyak orang? Sungguh tidak patut aku membalas keramahannya dengan cara seperti ini.”

Tampak pedang Yue Lingshan sudah meluncur ke bawah. Tanpa pikir panjang Linghu Chong mengajukan diri sambil berseru, “Jurus pedang Henshan yang sangat bagus!” Usai berteriak demikian ia belagak seolah hendak menghindar, namun sebenarnya sengaja mengajukan diri menyambut pedang yang meluncur jatuh itu. Maka sekejap kemudian, pedang tersebut langsung menancap di belakang bahu kanannya, dan seketika tubuhnya pun tersungkur ke depan seakan-akan terpaku di tanah oleh pedang Yue Lingshan itu.

Kejadian ini benar-benar terlalu cepat sehingga para penonton menjerit kaget dan ternganga melihatnya.

Yue Lingshan juga terkejut dan berseru, “Ka… Kakak Pertama, kenapa ….” segera dilihatnya seorang laki-laki berewok bertubuh gemuk melompat maju mendekati dan membangunkan Linghu Chong. Pedang yang menancap di pundak belakangnya itu dicabut, lalu ia pun memapah tubuh Linghu Chong menepi ke pinggir gelanggang.

Darah segar mengucur deras dari luka di bahu Linghu Chong itu. Belasan murid Perguruan Henshan menyongsong maju pula untuk memberikan pertolongan kepada sang ketua. Beberapa di antara mereka segera menaburkan obat di tempat luka. Yue Lingshan yang merasa khawatir bermaksud mendekat untuk melihat. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat mengarah kepadanya. Disusul kemudian terdengar seorang biksuni berseru sambil merintanginya, “Perempuan keji!” Yue Lingshan tersentak dan mundur beberapa langkah. Seketika ia merasa serbasalah dan tidak tahu apa yang harus diperbuat lagi.

Pada saat itulah terdengar suara Yue Buqun tertawa nyaring dan berseru, “Shan’er, kau telah menggunakan jurus pedang Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan untuk mengalahkan para ketua mereka masing-masing. Sungguh pekerjaan yang tidak ringan.”

Bahwasanya jurus terakhir yang digunakan Yue Lingshan itu apakah termasuk ilmu pedang Henshan atau bukan, sebenarnya para penonton juga tidak tahu dengan jelas. Mereka hanya teringat kedua orang yang bertanding tadi sama-sama memainkan tarian pedang yang tidak istimewa namun  sangat indah itu. Kemudian mereka melihat pedang Yue Lingshan terlempar ke udara dan jatuh kembali mengenai pundak Linghu Chong. Kenyataan yang pasti ialah, Linghu Chong terluka oleh pedang Yue Lingshan. Mengenai luka itu apakah akibat jurus Perguruan Henshan atau bukan, tiada yang tahu secara pasti. Memang ada sebagian hadirin yang dapat melihat jurus pedang tersebut tidak mengandung ciri khas ilmu pedang Henshan, namun mereka juga tidak memiliki pengetahuan dari aliran manakah jurus pedang tadi berasal. Maka itu, tiada seorang pun yang berani menanggapi ucapan Yue Buqun tersebut.

Dengan perasaan bingung Yue Lingshan memungut kembali pedangnya yang tergeletak di tanah dan berlumuran darah. Seketika hatinya menjadi khawatir dan bertanya-tanya, “Bagaimanakah keadaannya? Asalkan dia tidak mati, aku akan … aku akan .…”

Pada saat itu terdengar suara seorang yang berseru lantang, “Tuan Yue tidak cuma menguasai ilmu pedang Perguruan Huashan sendiri, bahkan ilmu pedang Taishan, Hengshan, dan Henshan juga dikuasainya dengan sempurna. Sungguh sangat mengagumkan dan patut dipuji. Maka itu, jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung rasanya sangat pantas untuk diduduki Tuan Yue dan tiada pilihan lain lagi.” Orang yang berbicara ini adalah Xie Feng, Ketua Partai Pengemis. Baik dirinya ataupun Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sama-sama berpikiran bahwa kekacauan di dunia persilatan akan segera terjadi setelah Zuo Lengchan berhasil melebur lima perguruan pedang menjadi satu. Maka, ia pun berusaha ikut serta menggagalkan ambisi Zuo Lengchan itu melalui kata-kata dengan cara menaikkan wibawa Yue Buqun dan menjadikannya pantas menjabat sebagai ketua.

Sejak ratusan tahun yang lalu Partai Pengemis memiliki pengaruh besar di dunia persilatan. Tentu saja apa yang diucapkan Xie Feng ini tidak sembarangan orang berani menanggapinya.

Jurus Pedang Chong Ling.

Jurus Sehidup Semati.

Mengalah.

(Bersambung)