Bagian 72 - Perwira Sinting Melawan Musuh

Linghu Chong menyerang serabutan dengan golok bersarung.

Tidak lama kemudian, tujuh orang murid Henshan kelompok pertama sudah sampai di depan Linghu Chong. Di bawah sinar bulan mereka dapat melihat seorang perwira tidur telentang di atas tanah. Padahal, jalan pegunungan itu sangat sempit dan hanya cukup dilalui seorang saja. Tentu untuk mendaki ke atas mereka harus melompati tubuh sang perwira. Namun demikian, mereka paham laki-laki dan perempuan tidak boleh berdekatan, apalagi melompati kepala orang lain, jelas ini sangat melanggar aturan tata krama.

Maka, seorang biksuni setengah baya dalam kelompok itu lantas berkata, “Maaf, Tuan Perwira, sudilah memberi jalan kepada kami!”

Linghu Chong berdehem dua kali, lalu mendengkur keras-keras.

Biksuni itu bergelar Yihe, yang bermakna “lembut”, padahal wataknya agak berangasan. Ketika melihat seorang perwira tidur malam-malam di tengah jalan, dengan suara dengkuran yang jelas dibuat-buat, membuat hatinya sangat kesal. Namun ia berusaha keras menahan rasa gusar dengan berkata, “Jika kau tidak mau menyingkir, terpaksa kami harus melompati badanmu.”

Sambil terus mendengkur, Linghu Chong menggumam sendiri seperti orang mengantuk, “Di jalanan ini banyak setan dan iblis, janganlah kalian ke sana! Oooahm, lautan derita tiada berbatas, berpalinglah … maka kau masih bisa menepi.”

Yihe tercengang karena merasa ucapan perwira itu seakan-akan bermakna ganda. Seperti omongan orang sinting, tapi seolah-olah bermaksud memperingatkan tentang adanya bahaya di depan sana.

Seorang biksuni yang lebih muda lantas menarik-narik lengan baju Yihe. Ketujuh perempuan itu pun mundur beberapa langkah. Seorang dari mereka berbicara dengan suara lirih, “Kakak, orang ini benar-benar aneh.”

Yang lain menyahut, “Benar, mungkin dia siluman Sekte Iblis yang hendak menyergap kita di sini.”

Seorang lagi menanggapi, “Tidak mungkin. Penjahat Sekte Iblis tidak mungkin menjadi perwira kerajaan. Kalaupun menyamar juga akan memilih pakaian lain.”

“Tidak usah pedulikan dia,” kata Yihe kemudian. “Jika dia tetap tidak mau menyingkir, maka kita lompati saja.” Ia kemudian melangkah maju dan berkata dengan lantang, “Kalau kau benar-benar tidak mau menyingkir, terpaksa kami berlaku kurang sopan.”

Linghu Chong menggeliat, kemudian merangkak dan duduk dengan bersikap malas-malasan. Khawatir jangan-jangan Yilin ada di kelompok ini dan mengenalinya, ia pun memutar tubuh dan duduk menghadap ke atas bukit, sehingga membelakangi murid-murid Perguruan Henshan tersebut. Dengan tangan kanan menahan bebatuan tebing, tubuhnya pura-pura sempoyongan seperti orang mabuk, sambil berkata, “Arak enak, arak enak!”

Pada saat itulah tujuh orang murid Henshan dari kelompok kedua tiba. Seorang murid dari golongan awam lantas bertanya, “Kakak Yihe, apa yang dilakukan orang itu di sini?”

“Entahlah, aku juga tidak tahu sedang apa dia di sini!” jawab Yihe sambil mengerutkan dahi.

Tiba-tiba Linghu Chong berseru lantang, “Aku baru saja menyembelih anjing. Perutku sekarang kembung kekenyangan. Aku juga terlalu banyak minum arak, wah, wah, sepertinya aku ingin muntah. Aih, celaka, aku benar-benar ingin muntah!” Lalu ia sengaja bersuara, “Hoeek! Hoeek!”

Murid-murid Perguruan Henshan itu pada dasarnya tidak minum arak atau makan daging, apalagi daging anjing. Kontan saja mereka buru-buru menutup hidung dan melangkah mundur begitu mendengar ocehan Linghu Chong tadi.

Linghu Chong sendiri kembali bersuara, “Hoeek! Hoeek!” Namun dari mulutnya tidak keluar apa-apa.

Selagi keempat belas murid Henshan itu berbisik-bisik sendiri, kelompok ketiga pun tiba pula. Segera terdengar seseorang di antaranya berkata dengan suara lemah lembut, “Orang ini sedang mabuk, sungguh kasihan. Biarlah kita tunggu dia istirahat dulu. Kita juga tidak akan terlambat.”

Mendengar suara yang sangat dikenalinya itu, hati Linghu Chong agak tergetar. Ia pun berpikir, “Adik Yilin benar-benar welas asih.”

Namun kemudian terdengar Yihe berkata ketus, “Orang ini sengaja mengacau di sini. Agaknya bermaksud tidak baik.” Habis itu ia lantas melangkah maju dan membentak, “Lekas menyingkir!” Bersama dengan itu tangannya menjulur hendak mendorong bahu kanan Linghu Chong.

Linghu Chong pura-pura menggeliat sambil berseru, “Aih, celaka!” Tubuhnya lantas terhuyung-huyung ke depan sehingga jalan pegunungan yang sempit itu semakin tersumbat. Untuk melanjutkan perjalanan, rombongan perempuan itu harus melompati kepalanya. Tidak ada jalan lain.

Yihe menyusul maju dan membentak lagi, “Minggir!”

“Baik, baik!” jawab Linghu Chong sambil terus melangkah ke atas. Semakin menanjak, jalan setapak itu semakin tertutup tubuhnya. Mendadak ia berteriak, “Hei, kawan-kawan yang bersembunyi di atas sana! Awas, orang-orang yang kalian tunggu-tunggu sekarang sudah datang! Begitu kalian keluar sekarang dan membunuh mereka, tentu tiada seorang pun yang bisa lolos!”

Mendengar teriakan Linghu Chong itu, Yihe dan teman-temannya buru-buru melangkah mundur. Seorang di antara mereka berkata, “Tempat ini memang sangat berbahaya. Kalau benar ada musuh bersembunyi di sini dan menyergap kita secara mendadak, jelas kita sukar bertahan.”

“Jika benar ada orang bersembunyi di sini mana mungkin dia berteriak-teriak seperti itu?” sahut Yihe. “Kukira dia hanya menggertak belaka. Tidak mungkin di atas ada orang. Bila kita kelihatan takut justru akan ditertawai musuh.”

“Benar,” tukas dua biksuni setengah umur yang lain. “Mari kita bertiga membuka jalan di depan, biar para adik menyusul di belakang.”

Mereka bertiga lantas menghunus pedang, kemudian bergerak mendekati Linghu Chong.

Linghu Chong pura-pura terengah-engah dan berkata, “Wah, terjal benar bukit ini. Aku sudah tua, tidak kuat lagi.”

Seorang biksuni yang mendesaknya berkata, “Kau minggir saja agar kami bisa lewat.”

Linghu Chong menjawab, “Aih, orang beragama jangan suka marah-marah begitu. Berjalan cepat kalian akan sampai di tempat tujuan, berjalan lambat juga akan sampai di tempat tujuan. Aih, aih, kalau ingin pergi ke gerbang akhirat, lebih baik berjalan agak lambat.”

“Apa kau hendak memaki kami?” kata biksuni tadi sambil menusukkan pedangnya ke punggung Linghu Chong dari samping Yihe. Tujuannya hanya untuk menakut-nakuti Linghu Chong agar menyingkir. Maka ketika pedangnya hampir mencapai sasaran, segera ia menahan diri menghentikan serangan.

Kebetulan pada saat yang sama Linghu Chong telah memutar tubuh. Begitu melihat sebilah pedang mengancam tepat di depan dadanya, segera ia membentak, “Aih, kau … kau mau apa? Aku adalah pembesar kerajaan. Kau berani berbuat kurang ajar padaku? Hayo prajurit, tangkap biksuni ini!”

Tentu saja di pegunungan sunyi itu tiada seorang pun prajurit yang menggubrisnya. Justru beberapa biksuni muda tertawa cekikikan. Mereka merasa geli melihat sikap Linghu Chong yang masih saja berlagak seperti tuan besar itu.

“Tuan Perwira, kami ada urusan penting dan harus buru-buru. Sudilah kau minggir dulu untuk memberi jalan kepada kami,” ujar seorang biksuni membujuk dengan tertawa.

“Perwira apa? Aku adalah panglima. Kau harus memanggil ‘jenderal’ kepadaku, tahu?” bentak Linghu Chong.

Beberapa biksuni lainnya semakin tertawa dan serentak berkata, “Yang Mulia Jenderal, mohon sudi memberi jalan.”

Linghu Chong bergelak tawa sambil membusungkan dada, lagaknya angkuh seperti penguasa dunia. Namun mendadak kakinya terpeleset, lalu tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah.

Para murid Perguruan Henshan menjerit khawatir bersama-sama, “Awas!” Dua di antaranya lantas memburu maju untuk memegangi lengan Linghu Chong.

Linghu Chong pura-pura terpeleset sekali lagi, setelah itu baru berdiri tegak sambil memaki, “Nenekmu, licin sekali tanah ini. Pembesar setempat benar-benar tak becus bekerja. Jalanan pegunungan seburuk ini tidak pernah diperbaiki.”

Setelah terjatuh dua kali, waktu berdiri lagi badannya pun bersandar pada dinding tebing yang lekuk, sehingga kesempatan ini segera digunakan oleh murid-murid Perguruan Henshan untuk lewat di samping tubuhnya, dan terus berlari ke atas satu per satu.

Seorang murid yang lewat berkata, “Pejabat setempat harusnya mengirim sebuah joli yang diusung delapan orang untuk menandu Yang Mulia Jenderal melewati pegunungan ini. Itu baru benar.”

Seorang yang lain menanggapi, “Benar. Jenderal ini memang lain daripada yang lain. Kalau menunggang kuda bisa-bisa nanti terjatuh dia.”

Linghu Chong pura-pura marah dan berkata, “Omong kosong! Siapa bilang aku tidak bisa naik kuda? Bulan lalu binatang sialan itu kabur gara-gara melihat harimau sehingga aku terjatuh dan lenganku terluka. Tapi itu bukan masalah bagiku.” Ucapannya ini disambut gelak tawa para murid perempuan tersebut.

Ketika melihat sesosok tubuh yang langsing melayang lewat, segera Linghu Chong mengikuti di belakang, karena sosok tersebut tidak lain adalah Yilin. Dengan demikian, para murid yang berbaris di belakang Yilin menjadi terhalang langkah mereka. Apalagi Linghu Chong berpura-pura melangkah kaku dengan napas terengah-engah pula. Setiap berjalan tiga langkah ia terjatuh dua kali. Ia pun berjalan agak merangkak, tapi cukup cepat juga gerakannya.

Melihat itu para murid perempuan yang berjalan di belakangnya bergelak tawa sambil menggerutu, “Aih, jenderal kok begini? Aduh … dalam setiap hari kau jatuh berapa kali?”

Yilin menoleh ke belakang dan berkata, “Kakak Yiqing, kau jangan mendesak-desak Jenderal. Jika terburu-buru nanti ia bisa benar-benar tergelincir ke bawah. Lereng ini sangat terjal, kalau sampai terjatuh bisa berbahaya.”

Linghu Chong memandang sepasang mata Yilin yang besar dan bening bagai mata air itu. Wajahnya yang ayu nampak begitu cantik jelita di bawah temaram sinar rembulan, Seketika Linghu Chong pun terkenang kejadian dahulu ketika mereka berdua menghindari kejaran orang-orang Perguruan Qingcheng. Waktu itu Yilin menggendongnya keluar meninggalkan Kota Hengshan, dan ia pun memandangi sepasang mata biksuni muda itu tanpa berkedip. Teringat peristiwa itu membuat di hatinya kini timbul rasa kasih. “Di lereng gunung yang terjal ini banyak musuh sedang mengintai. Apa pun yang terjadi aku harus melindungi keselamatan Adik Yilin, walaupun harus bertaruh nyawa.”

Yilin sendiri memandang “Sang Jenderal” sedang menatapnya dengan pandangan kosong. Ia pun balas mengangguk dengan disertai senyuman kecil. Bibirnya yang mungil kembali berkata, “Kakak Yiqing, kalau Jenderal sampai tergelincir jatuh, tolong kau segera menariknya berdiri.”

Yiqing menjawab, “Tubuh Jenderal lebih besar. Mana aku kuat menariknya berdiri?”

Sebenarnya peraturan di Perguruan Henshan sangat ketat. Para murid perempuan biasanya tidak sembarangan bicara dengan orang luar. Tetapi Linghu Chong sendiri bertingkah seperti badut dan tidak henti-hentinya menggoda mereka. Apalagi penampilannya yang seperti bapak-bapak, sedangkan para murid tersebut kebanyakan adalah perempuan muda, membuat suasana canggung hilang dengan sendirinya. Beberapa gurauan konyol dari Linghu Chong membuat mereka menjadi senang dan lebih bersemangat melewati jalanan terjal tersebut.

Kembali Linghu Chong berkata dengan nada gusar, “Kalian bocah-bocah perempuan banyak omong kosong! Aku seorang jenderal hebat. Belasan tahun silam aku berjaya di medan pertempuran, membunuh banyak penjahat. Kalau saja waktu itu kalian melihat kegagahan dan keganasanku, pasti kalian akan terkagum-kagum dan bersujud di depanku. Jalanan gunung ini cuma hal kecil, mana bisa membuatku jatuh tergelincir? Huh, kalian hanya bicara sembarangan …. Aih, celaka!” Lagi-lagi ia terpeleset gara-gara menginjak kerikil kecil. Tangannya pun melambai-lambai mencari pegangan. Para murid perempuan di belakangnya seketika menjerit-jerit dengan suara melengking.

Yilin segera berbalik dan mengulurkan tangannya untuk membantu “Sang Jenderal” berdiri. Linghu Chong meraih tangan biksuni muda itu dan tangannya yang lain mendorong tanah untuk bangkit berdiri. Wajahnya terlihat malu kemerah-merahan.

Mendengar para murid tertawa cekikikan di belakangnya, Linghu Chong pun berkata, “Sepatu bot kulit ini terlalu berat untuk dipakai mendaki gunung. Kalau aku memakai sepatu rami seperti kalian, tidak mungkin aku terjatuh. Lagipula aku hanya terpeleset, bukan terjatuh; apa yang kalian tertawakan?”

Yilin menanggapi, “Jenderal memakai sepatu bot untuk menunggang kuda, memang tidak nyaman untuk mendaki gunung.”

Linghu Chong menyahut, “Memang tidak enak dipakai, tapi tetap kelihatan gagah. Kalau aku rakyat jelata seperti kalian, maka aku tidak peduli harus memakai sepatu rami atau sepatu rumput.”

Lagi-lagi para murid perempuan itu bergelak tawa mendengar tingkah konyol Linghu Chong menutupi malu.

Tiba-tiba Linghu Chong berbicara dengan suara keras, “Di sekitar tempat ini banyak maling ayam dan pencuri anjing. Mereka bisa saja tiba-tiba muncul dan merampas harta benda orang lewat. Walaupun kalian kaum biarawati, tapi harus tetap berhati-hati. Jangan sampai derma yang kalian peroleh dengan susah payah direbut mereka.”

Yiqing tertawa dan berkata, “Kalau ada Jenderal bersama kami, mana mungkin ada maling ayam berani menunjukkan batang hidung di sini?”

Linghu Chong kembali berteriak-teriak, “Hei, hei, awas! Di atas sana sepertinya banyak orang mengintai!”

Seorang murid menanggapi, “Jenderal ini memang bawel. Mana mungkin kami takut kepada maling ayam?”

Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar jeritan dua murid perempuan yang lain, “Aduh!” dan tubuh mereka terguling-guling jatuh ke bawah. Dengan cekatan dua temannya bergegas menangkap mereka.

Beberapa murid di depan pun berseru, “Awas, ada musuh melepaskan senjata rahasia!” Belum habis ucapannya kembali terlihat seorang murid terguling ke bawah.

Yihe berseru, “Semua tiarap! Awas senjata rahasia musuh!”

Serentak mereka bersama-sama merendahkan tubuh.

Linghu Chong pun memaki-maki, “Maling ayam kurang ajar! Apa kalian tidak tahu ada jenderal di sini?”

Yilin menarik-narik lengan bajunya sambil berkata cemas, “Lekas tiarap, lekas!”

Beberapa murid Perguruan Henshan yang berada di depan balas melepaskan senjata rahasia berupa panah kecil dan manik-manik besi. Tapi musuh bersembunyi di balik batu-batuan padas, seorang pun tidak terlihat. Sudah tentu serangan mereka hanya mengenai tempat kosong.

Begitu mendengar adanya serangan musuh, Biksuni Dingjing bergegas maju dengan melompati kepala para murid. Sampai di belakang Linghu Chong, secepat kilat ia lantas melayang pula melewati kepalanya.

Kontan Linghu Chong berteriak-teriak, “Wah, sial, sial!” Lalu ia meludah beberapa kali karena sudah menjadi tradisi bahwa dilompati kepala akan mendatangkan kesialan.

Terlihat Biksuni Dingjing terus menyerbu ke atas melewati hamburan senjata rahasia musuh sambil mengibaskan lengan bajunya berkali-kali. Senjata-senjata berukuran kecil itu ada yang menancap di kain lengan bajunya yang longgar, ada pula yang ditangkisnya jatuh. Hanya beberapa kali meloncat, tubuhnya sudah sampai di atas bukit.

Akan tetapi, baru saja sebelah kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba terasa kesiuran angin menyambar. Rupanya sebatang toya tembaga telah menghantam ke atas kepalanya. Dari suara angin yang menderu itu dapatlah diketahui bahwa toya tersebut pasti sangat berat.

Biksuni Dingjing tidak berani menangkis begitu saja. Ia hanya berkelit dan bergeser ke samping. Tapi tahu-tahu dua tombak berantai lantas menusuknya pula dari atas dan bawah. Ternyata di puncak bukit itu telah muncul tiga orang jago mengeroyok dirinya.

“Dasar pengecut!” bentak Dingjing sambil mencabut pedangnya. Sekali tangkis serangan kedua tombak lawan dapat dibelokkannya ke samping. Tapi toya tembaga tadi lagi-lagi menyapu ke arah pinggangnya. Dengan tetap bersikap tabah, ia pun mengayunkan pedangnya untuk menangkis toya musuh, disusul dengan tebasan ke bawah. Tapi tombak lawan tahu-tahu menusuk pula ke bahunya.

Sementara itu, di bawah terdengar ramai suara jeritan murid-murid Perguruan Henshan, disertai suara gemuruh. Ternyata musuh yang bersembunyi di atas tebing telah menjatuhkan batu-batu besar ke arah mereka.

Terjebak di jalan pegunungan yang sempit, terpaksa para perempuan itu berlompatan ke sana kemari untuk menghindari serangan. Namun demikian, dalam sekejap beberapa orang terluka karena terkena tumbukan batu-batu tersebut.

Mendengar jeritan para murid, Biksuni Dingjing lantas mundur dua langkah dan berseru, “Putar balik! Kita turun dulu ke bawah!” Segera ia memainkan pedang di belakang untuk menahan kejaran musuh.

Akan tetapi, suara gemuruh masih tetap terdengar. Batu-batu besar terus berjatuhan dari atas tebing. Menyusul terdengar suara benturan senjata yang ramai, ternyata di kaki bukit juga ada musuh menghadang. Rupanya mereka menunggu rombongan Perguruan Henshan sudah memasuki jalanan sempit dan mendaki ke atas bukit. Begitu teman di atas bertindak, mereka pun keluar dari tempat persembunyian untuk menyumbat jalan mundur rombongan tersebut.

“Bibi Guru, musuh yang menghadang di bawah berilmu tinggi. Kita tidak bisa turun,” kata seorang murid melapor.

“Dua orang kakak seperguruan telah terluka,” sahut murid yang lain menyambung.

Dingjing menjadi gusar bukan kepalang. Secepat kilat ia berlari ke bawah bagaikan terbang. Dilihatnya dua laki-laki bersenjata golok sedang mendesak mundur dua murid perempuan. Sambil membentak, Dingjing lantas menerjang dengan menusukkan pedang. Tapi mendadak dari bawah melayang sebuah gandin segi delapan berantai menghantam mukanya. Terpaksa Dingjing menangkis dengan pedang. Sebuah gandin yang lain mendadak melayang ke atas untuk kemudian menghantam ke bawah.

“Kuat sekali tenaga mereka!” seru Dingjing dalam hati. Gandin-gandin itu masing-masing berukuran berat, tapi mereka dapat memainkannya melalui rantai yang lemas, sehingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaga musuh yang menghadang tersebut.

Jika di tanah datar Biksuni Dingjing tentu tidak sukar untuk melayani serangan-serangan demikian. Ia tinggal melancarkan ilmu pedangnya yang lincah dari arah samping. Namun di tengah jalan setapak yang sedemikian sempit, mau tidak mau harus berhadapan dari satu jurusan dan tiada lagi jalan lain. Padahal sepasang gandin lawan itu diputar sedemikian rapatnya dan menari-nari di udara dengan ganas, berkali-kali menghantam ke arah wajah Sang Biksuni. Rasanya percuma Dingjing memiliki ilmu pedang yang tinggi namun tidak dapat dipergunakan, terpaksa ia pun mundur kembali ke atas bukit selangkah demi selangkah.

Tiba-tiba terdengar suara mengaduh susul-menyusul di atas. Kembali beberapa murid perempuan jatuh terguling-guling ke bawah karena terkena senjata rahasia musuh. Dingjing berusaha menenangkan diri. Ia menduga musuh yang berjaga di atas tentu ilmu silatnya lebih lemah dibanding yang menghadang di bawah tadi. Maka dengan cepat ia pun menerjang ke atas dengan melompati kepala beberapa murid.

Ketika Linghu Chong kembali dilompati kepalanya, ia pun berteriak-teriak, “Hei, macam apa kau ini? Melompat-lompat seperti katak? Sudah tua masih suka main-main segala! Kepalaku kau lompati ke sana kemari. Kalau judi aku tentu kalah! Sungguh sial!”

Karena ingin buru-buru menerjang musuh, Dingjing tidak peduli pada apa yang diucapkannya itu. Sebaliknya, Yilin yang lantas berbicara kepadanya, “Maaf, bibi guru kami tidak sengaja melompatimu.”

Tapi Linghu Chong masih pura-pura mengomel, “Sudah sejak tadi aku bilang di sini banyak maling ayam, tapi kalian tidak mau percaya.” Dalam hati ia sendiri tidak menduga kalau di bawah bukit ternyata juga bersembunyi beberapa orang Sekte Iblis. Terkepung di tengah jalan sedemikian sempit, biarpun berjumlah banyak tetap saja orang-orang Perguruaan Henshan tidak mampu berkutik. Untuk membantu mereka juga serbasusah.

Saat Biksuni Dingjing hampir tiba di atas bukit, tiba-tiba terasa ada bayangan toya berkelebat. Rupanya sebatang pentungan biksu telah diayunkan musuh di atas kepalanya. Kali ini seorang musuh berkepandaian tinggi sudah dipersiapkan untuk menghadang dirinya. Dengan cepat Dingjing pun berkelit, sambil  pedangnya menusuk dari samping. Pada jarak beberapa senti yang genting itu ia berhasil menghindarkan diri dari serangan musuh. Bersamaan itu ia sudah menubruk maju bersama pedangnya untuk terus menusuk musuh, yang ternyata seorang biksu berambut bertubuh besar gemuk.

Serangan Dingjing ini boleh dikata sangat berbahaya, yaitu cara berkelahi yang tidak menghiraukan keselamatan sendiri, dan bisa membuat dirinya gugur bersama musuh. Karena tidak terduga-duga akan mendapat serangan nekat tersebut, si biksu berambut tidak sempat menarik kembali tongkatnya untuk menangkis. Maka, pedang Sang Biksuni pun tepat menancap di bawah iganya.

Namun demikian, Biksu berambut itu benar-benar tangkas dan pemberani. Meski terluka ia masih berteriak sambil menghantam keras sehingga pedang Dingjing patah menjadi dua. Disusul kemudian tangan biksuni sepuh itu terluka pula.

“Lekas, berikan pedangmu!” seru Dingjing.

Secepat kilat Yihe melompat ke atas sambil menyodorkan pedangnya dan berseru, “Bibi Guru, terimalah!”

Baru saja Dingjing memutar tubuh hendak menerima pedang itu, tiba-tiba sebuah tombak berantai menyerang ke arah Yihe, dan tombak berantai yang lain menusuk pula ke arah pinggangnya. Terpaksa Yihe menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Tapi musuh bersenjata tombak berantai itu menyerang lebih gencar sehingga Yihe terdesak mundur kembali ke bawah, dan usahanya untuk menyerahkan pedang kepada Dingjing gagal pula.

Menyusul kemudian dari atas menerjang maju tiga orang musuh. Dua orang bersenjata golok, dan seorang lagi memakai sepasang pena penotok. Dingjing seorang diri terkepung di tengah. Tanpa senjata ia mengerahkan Jurus Pukulan Tianchang milik Perguruan Henshan untuk menghadapi mereka. Usianya sudah enam puluhan tetapi tenaga dan kegesitannya tidak kalah dibanding dengan orang yang lebih muda. Meskipun ketiga jago Sekte Iblis mengeroyoknya, namun tak disangka mereka tidak mampu mengatasi seorang biksuni sepuh bertangan kosong.

Melihat pemandangan itu Yilin berseru cemas dengan suara tertahan, “Aih, bagaimana ini?”

Segera Linghu Chong pun berteriak, “Hei, kawanan berandal kurang ajar! Minggir, minggir, biar Jenderal naik ke sana untuk membekuk berandal-berandal itu.”

Yilin buru-buru mencegah, “Eh, jangan! Mereka bukan berandal biasa, tapi jago silat semua. Begitu maju tentu Jenderal akan dibunuh mereka.”

Tapi Linghu Chong lantas membusungkan dada dan berkata, “Sungguh terlalu kawanan bandit ini! Di siang bolong ….” Ia lantas mendongak dan melihat langit masih gelap menjelang fajar, mana bisa disebut siang bolong? Namun ia tidak peduli dan terus berkata, “Berani sekali bandit-bandit kecil itu menghadang dan merampok kaum perempuan? Apa mereka tidak takut pada hukum kerajaan?”

Yilin menyahut, “Mereka bukan bandit kecil yang merampok, dan kami juga bukan perempuan biasa ….”

Linghu Chong tetap melangkah maju dan mendesak melewati murid-murid Perguruan Henshan itu dengan susah payah. Para murid terpaksa menempel rapat ke dinding tebing untuk memberi jalan kepadanya. Sesampainya di atas bukit, Linghu Chong bermaksud menghunus goloknya. Ketika sudah tercabut sebagian, ia pura-pura tidak bisa menarik lagi. Mulutnya pun lantas memaki, “Sial, golok karatan ini juga main gila! Keadaan gawat seperti ini mengapa dia tidak mau keluar!”

Yihe yang sedang bertempur sengit melawan dua orang musuh dapat mendengar omelan Linghu Chong di belakangnya itu. Ia menjadi kesal bercampur geli. “Lekas kau menyingkir saja, di sini terlalu bahaya bagimu!” teriaknya.

Karena berbicara, ia sedikit lengah sehingga tombak musuh telah menusuk ke arah pundaknya dan hampir saja ia terluka. Untungnya biksuni itu lekas melompat mundur, namun lawannya tetap memburu maju.

Linghu Chong lantas berteriak-teriak, “Wah, wah! Macam apa ini? Berandal kurang ajar, apa kalian tidak melihat jenderalmu berada di sini?” Sekali menyelinap, tahu-tahu ia telah menghadang musuh di depan Yihe.

Musuh yang bersenjata tombak itu menjadi tercengang karena mendadak muncul seorang perwira tentara di hadapannya. Saat itu keadaan sudah mulai remang-remang sehingga penampilan “sang jenderal” dapat terlihat jelas. Maka orang itu tidak jadi menusukkan tombaknya, hanya diacungkan saja ke dada Linghu Chong sambil membentak, “Siapa kau? Apakah orang yang berkaok-kaok di bawah tadi adalah kau si pembesar anjing?”

“Nenekmu, kau sebut aku pembesar anjing? Kau sendiri berandal anjing!” balas Linghu Chong dengan lagak angkuh. “Kalian berani merampok di sini, aku sudah datang masih juga kalian tidak lekas kabur. Sungguh besar nyali kalian! Tunggu saja jenderalmu ini akan membekuk batang leher kalian dan memasukkan kalian ke penjara kabupaten. Nanti setiap orang akan mendapat hadiah lima puluh cambukan sampai pantat kalian berdarah-darah, baru tahu rasa!”

Laki-laki bertombak itu tidak ingin membunuh pejabat kerajaan karena bisa mendatangkan masalah. Maka, ia pun menjawab, “Kau pejabat anjing, pergi jauh sana! Kalau kau tidak segera enyah dari sini, maka aku si tua akan membuat tiga lubang besar di tubuh anjingmu!”

Sekilas Linghu Chong melihat Biksuni Dingjing belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Kawanan Sekte Iblis juga tidak lagi melepaskan senjata rahasia atau batu-batuan ke bawah, maka ia pun membentak, “Bandit kurang ajar, mengapa kalian tidak lekas berlutut dan menyembah minta ampun kepada jenderalmu? Kalau di rumah kalian tinggal seorang nenek berusia delapan puluh tahun, mungkin aku masih bisa bermurah hati kepada kalian. Tapi kalau tidak, maka kepala anjing kalian akan kupenggal satu per satu ….”

Mendengar ucapan itu, murid-murid Perguruan Henshan mengerutkan dahi dan berkata dalam hati, “Orang ini sinting.”

Yihe lantas melangkah maju dengan pedang terhunus, siap melindungi Linghu Chong jika musuh mulai menusukkan tombaknya.

Linghu Chong pura-pura menarik-narik goloknya sekuat tenaga sambil memaki, “Nenekmu, di saat maju ke medan perang seperti ini golok warisan leluhur justru berkarat. Hm, coba kalau golok ini tidak berkarat, biarpun sepuluh kepala kawanan anjing macam kalian juga sudah kupenggal semua.”

Musuh bersenjata tombak itu terbahak-bahak geli, lalu membentak, “Persetan kau!” Bersama itu ia menyabetkan batang tombaknya ke pinggang Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri menghentakkan tangan sekuat tenaga sambil menjerit kaget, sehingga golok itu ikut tertarik beserta sarungnya. Kemudian tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hendak tersungkur jatuh.

“Hati-hati!” seru Yihe.

Tapi sewaktu tubuhnya terhuyung-huyung, Linghu Chong dengan cekatan menotok titik-titik pada pinggang lawan menggunakan ujung sarung goloknya. Laki-laki itu mengerang kesakitan, lalu tubuhnya jatuh terkulai dan roboh di tanah.

Linghu Chong sendiri ikut jatuh ke tanah. Seperti orang kelabakan, lekas-lekas ia merangkak bangun, sambil berseru heran, “Hei, kau juga terguling jatuh! Kalau begitu kita seri. Aku si tua belum mau mengaku kalah. Mari kita coba-coba lagi!”

Yihe cukup cerdik dan cekatan. Segera ia mencengkeram bahu laki-laki itu dan melemparkannya ke belakang. Ia berpikir dengan seorang tawanan tentu urusan akan lebih mudah diselesaikan.

Sementara itu dari pihak Sekte Iblis telah menerjang maju tiga orang dengan maksud hendak menolong kawan mereka itu.

Linghu Chong berteriak, “Aha, kawanan anjing benar-benar kurang ajar!” Segera goloknya memukul ke kanan dan menyabet ke kiri, caranya sama sekali tidak teratur.

Ilmu Sembilan Pedang Dugu memang tidak memiliki gaya serangan tertentu. Apakah dimainkan secara indah dan anggun, atau dimainkan secara aneh dan konyol juga tidak ada bedanya. Semuanya sama-sama ampuh dan bisa mengalahkan musuh. Ini disebabkan karena intisari ilmu pedang ini terletak pada tujuan, bukan gayanya.

Sebenarnya Linghu Chong tidak terlalu mahir dalam menotok. Apalagi dalam pertarungan gencar seperti itu sangat sulit mengincar titik-titik penting pada tubuh lawan yang bergerak cepat. Namun serangan Linghu Chong selalu disertai tenaga dalam yang melimpah ruah sehingga membuat kekuatannya sungguh dahsyat. Meskipun serangannya tidak secara tepat menotok titik lawan, namun tetap saja membuat pihak musuh tidak dapat bertahan dan roboh oleh tenaga dalamnya.

Langkah Linghu Chong tampak sempoyongan tidak menentu. Goloknya yang masih terselubung sarung itu diputarnya serabutan dan semakin kacau. Tiba-tiba ia seperti tersandung dan menubruk seorang musuh. “Bluk!”, ujung sarung goloknya secara kebetulan mengenai pula titik pada lengan atas orang itu. Orang yang ditubruknya hanya sempat menarik napas panjang-panjang, lalu jatuh terkapar di tanah.

Sambil menjerit kaget, “Aih!” Linghu Chong melompat mundur dan gagang goloknya tahu-tahu membentur pula punggung seorang lawan yang lain. Kontan orang itu pun terguling-guling di tanah.

Selanjutnya kedua kaki Linghu Chong tersandung tubuh musuh yang terguling itu. Ia memaki, “Nenekmu!” kemudian terhuyung-huyung lagi ke depan dan kembali sarung goloknya tepat mengarah menuju tubuh seorang musuh bersenjata golok. Musuh ini adalah satu di antara jago Sekte Iblis yang mengeroyok Biksuni Dingjing. Karena punggungnya tertumbuk, golok yang dipegangnya pun terlempar ke udara. Dingjing segera memanfaatkan kesempatan ini untuk melancarkan pukulannya ke dada orang itu. Tanpa ampun, orang itu pun muntah darah dan kehilangan nyawa.

“Eh, awas, awas!” Linghu Chong berteriak-teriak sambil mundur beberapa langkah ke arah musuh yang memakai senjata pena penotok.

Tanpa pikir panjang orang itu lantas menotok punggung Linghu Chong dengan senjatanya. Namun Linghu Chong sempat menggeliat dan kembali terhuyung-huyung ke depan sambil menyabet-nyabetkan sarung goloknya membentur musuh yang lain. Lagi-lagi dua anggota Sekte Iblis roboh ke tanah.

Musuh bersenjata pena penotok itu secepat kilat menubruk maju. Linghu Chong pura-pura menjerit ketakutan, “Tolooong!” sambil terus berlari ke depan. Orang itu semakin kesal dan mengejar. Di luar dugaan, tiba-tiba saja Linghu Chong menghentikan langkah dan berdiri tegak. Gagang goloknya sedikit menongol ke belakang melalui bawah ketiak. Karena tidak pernah menduga Linghu Chong akan berhenti mendadak, kontan musuh yang mengejar itu menjadi kelabakan. Betapa pun tinggi ilmu silatnya juga tidak sempat untuk berganti haluan. Akibatnya, dada dan perutnya pun menubruk keras pada gagang golok tersebut. Orang itu memperlihatkan raut muka yang sangat aneh, seakan-akan tidak percaya terhadap apa yang sedang terjadi padanya. Akhirnya, perlahan-lahan badannya pun terkulai lemas dan jatuh di tanah.

Kemudian Linghu Chong memutar tubuh. Dilihatnya pertempuran di atas bukit sudah berakhir. Hampir separuh murid-murid Perguruan Henshan sudah naik ke situ dan berdiri berhadapan dengan kawanan Sekte Iblis. Murid-murid yang lain juga berturut-turut menyusul ke atas bukit dengan langkah cepat.

Linghu Chong lantas berteriak-teriak, “Hei, kawanan anjing kurang ajar! Melihat jenderalmu ada di sini mengapa kalian tidak segera tunduk dan menyembah minta ampun kepadaku? Apa kalian minta mampus semua?” Habis itu ia pun mengayun-ayunkan golok bersarungnya dan menyerbu masuk ke tengah-tengah gerombolan Sekte Iblis.

Kali ini pihak musuh tidak berani gegabah. Beramai-ramai mereka mengacungkan senjata masing-masing untuk menjemput serangan Linghu Chong. Murid-murid Perguruan Henshan bermaksud maju untuk membantu. Tapi Linghu Chong sudah berlari ke luar dari kepungan musuh itu sambil berteriak-teriak, “Wah, wah, lihai sekali kawanan anjing kurang ajar ini!”

Linghu Chong berlari dengan langkah yang berat dan agak diseret. Mendadak ia pura-pura jatuh terbanting, dan goloknya yang bersarung itu terpental balik dan tepat mengenai dahinya sendiri. Seketika ia pun jatuh terkapar di tanah. Namun tak disangka, dalam serbuannya yang singkat ke dalam kepungan Sekte Iblis itu, ia telah merobohkan lima orang musuh.

Kedua pihak sama-sama tertegun menyaksikan apa yang telah terjadi.

Yihe dan Yiqing bergegas maju sambil berseru, “Jenderal, kau tidak apa-apa?”

Tapi Linghu Chong memejamkan mata dengan rapat dan pura-pura pingsan.

Si kakek yang memimpin gerombolan Sekte Iblis itu termenung untuk memutuskan bagaimana langkah selanjutnya. Dalam pihaknya sudah mati satu orang terkena pukulan Biksuni Dingjing, serta sebelas orang lainnya roboh terkena totokan si perwira sinting. Ia sendiri baru saja mengerahkan segala jurus untuk merobohkan perwira sinting itu ketika masuk ke dalam kepungannya. Namun si perwira sinting justru berhasil menotoknya dengan ujung sarung golok. Meskipun totokan itu tidak mengenai titik tertentu pada tubuhnya, namun ia merasakan betapa kuat tenaga dalam yang dimiliki si perwira sinting. Gerakan orang itu juga gencar dan aneh, sama sekali tidak pernah dijumpai semur hidup olehnya. Seberapa tinggi ilmu silat si perwira sinting benar-benar sukar diukur. Apalagi lima orang anggotanya yang tertotok telah ditawan pula oleh pihak Perguruan Henshan, jelas urusan hari ini tidaklah menguntungkan.

Maka dengan suara lantang kakek itu lantas berkata, “Biksuni Dingjing, murid-muridmu yang terkena senjata rahasia perlu obat penawar racun atau tidak?”

Dingjing melihat murid-murid yang terkena senjata rahasia masih terbaring tak sadarkan diri, dan luka mereka mengalirkan darah hitam, jelas bahwa senjata rahasia musuh telah dicelupkan ke dalam racun sebelum digunakan. Maka, begitu pihak lawan menawarkan obat penawar, Dingjing langsung paham maksudnya. Ia pun menjawab, “Berikan obat penawar untuk ditukar dengan tawanan!”

Si kakek manggut-manggut, lalu berbisik kepada seorang anak buahnya. Tak lama kemudian majulah anak buahnya itu dengan membawa sebuah botol porselen kecil ke hadapan Biksuni Dingjing, dan menyerahkannya dengan sikap hormat.

Dingjing menerima botol obat itu, lalu berkata dengan suara tegas, “Jika obat penawar ini benar-benar manjur, tentu akan kubebaskan orang-orangmu.”

Si kakek menjawab, “Baik! Biksuni Dingjing dari Perguruan Henshan tentunya bukan orang yang suka ingkar janji.”

Orang tua itu lalu melambaikan tangan. Beberapa anak buahnya segera berlari maju untuk menggotong kawan-kawan mereka yang mati dan terluka. Orang-orang Sekte Iblis itu kemudian berjalan menuruni bukit. Dalam sekejap mereka semua sudah menghilang tanpa bekas.

Linghu Chong pura-pura siuman dari pingsan, lalu bangkit perlahan-lahan sambil merintih, “Aduh, sakit sekali!” Diraba-rabanya benjolan pada dahi sendiri, lalu menyambung, “Hei, ke mana perginya kawanan bandit anjing itu?”

Yihe tertawa cekikikan, lalu berkata, “Jenderal, kau ini benar-benar aneh dan lucu. Kau tadi menyerbu masuk ke dalam kepungan musuh dan menyerang mereka serabutan. Ternyata kawanan berandal itu dapat kau takut-takuti sehingga lari tunggang langgang.”

Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Ia lalu berkata sambil menepuk dada, “Bagus sekali, bagus sekali! Begitu jenderalmu datang menunggang kuda, wibawanya memancar ke segala penjuru, tidak seperti orang biasa. Kawanan berandal anjing itu langsung kabur seperti debu tertiup angin.” Tiba-tiba ia memegang dahi sambil menyeringai, “Aduh ….”

Yiqing bertanya, “Jenderal, apakah kau terluka? Kami ada obat luka.”

“O, tidak apa-apa, hanya masalah kecil,” sahut Linghu Chong dengan menyengir. “Seorang laki-laki sejati dalam pertempuran seperti mayat dalam kulit kuda, itu sudah biasa.”

Yihe mencibir kemudian bertanya, “Bukankah istilah yang benar ‘mayat yang dibungkus kulit kuda’?”

Yiqing melotot dan berkata, “Kakak, kau ini paling suka mencari-cari kesalahan orang. Mengapa di saat-saat begini kau bicara demikian?”

Linghu Chong berkata, “Kami orang utara menyebut ‘mayat dalam kulit kuda’. Mengapa kalian orang selatan agak berbeda menyebutnya?”

Yiqing menjawab dengan tersenyum, “Kami juga orang utara.”

Sementara itu Biksuni Dingjing telah menyerahkan obat penawar kepada seorang muridnya dan menyuruhnya mengobati kawan-kawan yang terluka. Lalu ia mendekati Linghu Chong dan memberi hormat, “Dingjing, biksuni tua dari Perguruan Henshan tidak berani bertanya marga dan nama pendekar muda yang mulia.”

Linghu Chong terkesiap mendengarnya. Diam-diam ia berpikir, “Biksuni Dingjing benar-benar bermata tajam. Meskipun aku berdandan seperti ini, ia masih dapat mengetahui usiaku yang masih muda, bahkan tahu kalau aku ini seorang jenderal gadungan.” Maka dengan cepat ia pun membalas hormat dan menjawab, “Hormatku, Biksuni. Aku bermarga Wu, bernama Tiande. Aku baru saja diangkat menjadi komandan militer di Kota Quanzhou. Sekarang juga aku akan ke sana untuk menduduki jabatanku.”

Dingjing merasa orang ini sengaja menyembunyikan jati diri. Namun karena Linghu Chong menjawab dengan sikap sopan dan penuh hormat, ia pun tidak ingin bertanya lebih lanjut. Maka, biksuni tua itu lantas berkata, “Hari ini Perguruan Henshan telah dihadang masalah besar, namun semua dapat diselesaikan berkat pertolongan Jenderal. Entah bagaimana cara kami kelak bisa membalas budi Jenderal yang sedemikian besar ini? Ilmu silat Jenderal sangat tinggi sukar diukur. Meskipun biksuni tua ini tidak dapat menerka asal-usul perguruanmu, tapi aku benar-benar sangat kagum.”

Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Biksuni yang baik terlalu memuji. Tapi sesungguhnya ilmu silatku memang sangat lihai. Di atas memakai Bunga Es Menutupi Kepala, di bawah memakai Akar Pohon Tua, dan di tengah memakai Harimau Hitam Mencuri Hati … aih, ya! Sambil berbicara demikian, tangan dan kakinya memukul dan menendang, kemudian mulutnya meringis kesakitan seolah-olah terkilir gara-gara gerakan pamer itu. Sekilas ia memandang ke arah Yilin, dan biksuni muda belia itu nampak terkejut. Ia pun berpikir, “Adik Yilin sungguh berhati lembut. Kalau saja ia tahu ini aku, entah bagaimana perasaannya?”

Biksuni Dingjing jelas mengetahui kalau itu semua hanya berpura-pura. Ia pun tersenyum dan berkata, “Jenderal seorang terhormat yang tidak mau mengungkapkan jati diri, maka biksuni tua ini hanya bisa membakar dupa siang malam dan berdoa supaya Jenderal selalu sehat dan mendapat peruntungan, serta semoga semua cita-cita Jenderal dapat terkabul.”

Linghu Chong menjawab, “Terima kasih banyak, terima kasih banyak. Tolong kau berdoa kepada Dewi Guanyin supaya memberkati aku lekas naik pangkat dan kaya raya, setiap judi pasti menang, istri muda bertambah sepuluh lagi. Hahahaha! Aku juga berharap semoga Biksuni dan para murid lekas sampai di tempat tujuan, nasib buruk menjadi baik, dan semua urusan berjalan lancar. Hahahaha! Hahahaha!” Sambil bergelak tawa ia lantas melangkah pergi dengan sikap angkuh. Meskipun demikian, ia sudah terbiasa menjadi anggota Serikat Pedang Lima Gunung sehingga tidak berani bersikap kurang sopan kepada seorang sesepuh Perguruan Henshan.

Biksuni Dingjing menghadapi kepungan musuh.

Linghu Chong membentak-bentak para pengepung.

(Bersambung)