Bagian 3 - Tapak Penghancur Jantung

Lin Zhennan dihadap para pegawai biro.
Lin Zhennan berjalan ke depan sampai di aula gedung, di mana para pegawai telah berkumpul menunggu perintahnya. Segera ia memerintahkan mereka untuk menyebar menyelidiki kemungkinan adanya wajah-wajah asing mencurigakan yang berkeliaran di dalam kota, serta menambah jumlah para penjaga untuk meronda di sekitar gedung. Rupanya para pegawai ini merasa dipermalukan, karena kedua tiang bendera telah dirobohkan musuh sementara mereka tidak mengetahui sama sekali. Dengan perasaan gusar, mereka telah berseragam lengkap dan mempersiapkan senjata masing-masing. Perintah yang telah disampaikan sang ketua segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Lin Zhennan terharu menyaksikan semangat persatuan para pegawainya yang merasa ikut memiliki Biro Ekspedisi Fuwei itu. Setelah mendengar sumpah mereka yang siap bekerja dan berkorban demi kehormatan perusahaan, ia lantas masuk kembali menemui istri dan putranya di ruang tengah.
“Ping’er, kesehatan ibumu selama beberapa hari ini agak menurun,” ujarnya kepada Lin Pingzhi. “Setiap saat musuh bisa datang menyerang. Bagaimana kalau kau tidur di depan pintu kamar sekaligus menjaga ibumu?”
Mendengar ini Nyonya Wang langsung menyela, “Aku tidak perlu...” namun ia langsung paham akan maksud sesungguhnya dari ucapan sang suami. Sebenarnya Lin Zhennan bukan meminta agar Lin Pingzhi melindungi ibunya, melainkan supaya putranya itu dekat dengan sang ibu dan ini akan membuatnya lebih aman. Mereka sadar Lin Pingzhi bersifat angkuh dan sudah pasti merasa direndahkan jika secara terang-terangan ia disuruh berlindung kepada sang ibu demi keselamatan dirinya. Tentu putranya itu akan tersinggung dan memilih keluar rumah menantang musuh. Jelas ini sangat berbahaya. Menyadari maksud sang suami, Nyonya Wang pun menahan kata-katanya.
“Benar, Ping’er. Ibu sedang tidak enak badan. Ayahmu biar memimpin para pegawai, sementara kau menjaga di luar kamar Ibu. Bagaimana kalau musuh sampai datang dan menyusup kemari? Tentu Ibu sangat membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu kemudian.
“Sudah pasti aku akan menemani Ibu di sini,” jawab Lin Pingzhi tanpa ragu.
Malam itu Lin Pingzhi pun tidur di atas ranjang yang telah diletakkan di luar kamar orang tuanya. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Nyonya Wang bisa melihat keadaan putranya setiap saat. Lin Zhennan sendiri berjaga di luar bersama para pegawai. Sampai cukup lama mereka tidak menemukan tanda-tanda musuh kembali menyerang. Merasa keadaan sudah lebih aman, Lin Zhennan pun masuk ke dalam kamar dan tidur di samping sang istri. Meskipun demikian, pedangnya tetap dipersiapkan di samping bantal.
Begitu matahari terbit tiba-tiba terdengar suara seorang pegawai memanggil-manggil dari luar jendela dengan suara lirih, “Tuan Muda! Tuan Muda!”
Lin Pingzhi yang semalaman tidak bisa tidur, pagi itu masih pulas karena baru bisa memejamkan mata saat fajar menyingsing. Bukan ia yang terbangun oleh panggilan itu melainkan Lin Zhennan yang segera bangkit dan bertanya, “Ada masalah apa?”
“Kuda putih milik Tuan Muda... kuda itu sudah... sudah mati,” jawab pegawai itu dari luar. Kalau yang mati kuda lainnya tentu tidak menjadi persoalan. Namun karena yang mati adalah kuda putih kesayangan Lin Pingzhi, buru-buru ia melapor kepada sang majikan muda.
Mendengar suara ribut-ribut, Lin Pingzhi terbangun pula dari tidurnya dan berkata, “Akan kulihat ke sana.”
Lin Zhennan berpikir kematian kuda putih ini tentu ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ia pun bergegas menuju ke kandang bersama Lin Pingzhi. Sesampainya di sana mereka menyaksikan si kuda putih sudah tergeletak tanpa nyawa. Sebagaimana kasus kematian yang terjadi sebelumnya, kali ini juga tidak ditemukan bekas luka apa pun pada tubuh hewan tersebut.
“Apakah semalam terdengar suara ringkikan kuda atau keributan lain yang mencurigakan?” tanya Lin Zhennan.
“Tidak, Tuan! Tidak ada sama sekali,” jawab si tukang kuda.
Lin Zhennan memegangi tangan Lin Pingzhi yang meraba-raba bangkai kuda kesayangannya itu. “Sudahlah, Nak! Ayah akan membelikan kuda baru yang lebih bagus untukmu,” ujarnya menghibur.
Lin Pingzhi hanya diam termangu sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba seorang pegawai yang tidak lain adalah Chen Qi datang dengan napas terengah-engah. Ia berkata dengan suara gemetar, “Ketua, ini celaka! Sungguh celaka! Para pengawal kita telah... telah terbunuh semua! Mereka mati dibunuh hantu gentayangan itu..!”
“Apa katamu? Mati semua?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi bersamaan.
“Benar, mati semua!” jawab Chen Qi tegang.
“Siapa saja yang mati?” sahut Lin Pingzhi gusar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah baju Chen Qi dan menariknya ke depan.
“Tuan Muda... Tuan Muda... mati,” jawab Chen Qi ketakutan.
Lin Zhennan sangat gusar mendengar jawaban ini. Dalam dunia persilatan, seseorang yang masih hidup dikatakan mati adalah suatu pantangan besar karena dianggap dapat memendekkan umur orang itu. Namun karena Chen Qi mengucapkannya tanpa sengaja, ia pun menahan amarahnya dan berusaha menenangkan pikiran.
Sejenak kemudian, kembali terdengar suara ribut-ribut di luar. “Di mana Ketua? Kami harus segera melapor,” seru seorang pegawai dari luar kandang. “Hantu gentayangan ini sangat ganas. Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku di sini!” jawab Lin Zhennan berteriak. “Ada apa lagi ini?”
Seorang pengawal dan tiga orang pengiring segera masuk ke dalam kandang. Pengawal itu berkata, “Ketua, para pengawal yang tadi malam meronda tidak ada yang kembali dengan selamat.”
Lin Zhennan terperanjat. Semula ia berpikir ada seorang pegawai lagi yang mati, namun ternyata yang menjadi korban adalah semua pegawainya yang berangkat meronda tadi malam. Padahal, ia ingat semalam telah mengirim dua puluh tiga orang pengawal untuk meronda di sekeliling kota.
“Apa kau yakin mereka mati semua?” sahutnya kemudian. “Mungkin saja mereka masih meronda dan belum kembali sampai siang ini.”
Pengawal itu menggeleng dan menjawab, “Tapi kami telah... telah menemukan tujuh belas sosok mayat....”
“Tujuh belas mayat?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi kembali bersama-sama. Perasaan ngeri tergambar jelas di raut wajah mereka.
“Benar, Ketua! Jumlahnya ada tujuh belas mayat. Di antaranya terdapat Pengawal Fu, Pengawal Qian, dan Pengawal Wu. Mayat-mayat tersebut telah kami tempatkan di ruang depan,” jawab si pengawal mempertegas laporannya.
Tanpa banyak bertanya lagi Lin Zhennan bergegas menuju ke ruang depan gedung perusahaannya. Tampak di ruangan itu terbaring tujuh belas sosok mayat pegawai Biro Fuwei dalam keadaan membujur kaku, sementara meja dan kursi telah disisihkan ke tepi merapat dinding.

Para pegawai yang meronda kembali tanpa nyawa.
Meskipun sudah kenyang pengalaman dan sering mengalami kesulitan dalam hidup, tetap saja perasaan Lin Zhennan tergetar dibuatnya. Tanpa disadari tangannya gemetar dan lututnya terasa lemas menyaksikan pemandangan tersebut.
“Kenapa... kenapa... kenapa?” ujarnya bertanya-tanya. Suaranya kering dan nyaris tak terdengar oleh yang lainnya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara ribut di luar, “Ya ampun! Pengawal Gao yang baik juga menjadi korban.”
Kali ini yang masuk adalah lima orang tetangga dengan menggotong selembar papan pintu di mana jasad Pengawal Gao terbaring di atasnya.
“Sewaktu membuka pintu tadi pagi, saya terkejut karena melihat mayat Tuan Gao sudah tergeletak di jalanan. Mungkin ia terkena penyakit menular atau diganggu makhluk halus. Saya pun meminta bantuan para tetangga yang lain untuk membawa jenazahnya kemari,” ujar salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada Lin Zhennan.
“Terima kasih banyak!” jawab Lin Zhennan sambil memberi hormat. Kepada seorang pegawai ia memberi perintah, “Sampaikan kepada kasir untuk memberikan tiga tael perak, masing-masing kepada para tetangga yang baik ini; sebagai rasa terima kasih dariku.”
Namun para tetangga tidak tega menerima hadiah tersebut. Dengan wajah ngeri, mereka lekas-lekas mohon diri setelah menyaksikan belasan mayat memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian datang lagi empat jenazah, sehingga hanya tinggal seorang saja yang belum ditemukan. Pegawai yang seorang lagi itu adalah Pengawal Zhu, dan mereka yakin tidak lama lagi mayatnya akan segera ditemukan.
Lin Zhennan masuk ke kamar dan meneguk secangkir teh hangat untuk menenangkan perasaan. Meskipun demikian, jantungnya masih juga berdebar-debar. Dengan perasaan gelisah ia berjalan ke halaman depan dan memandang ke sekeliling. Hatinya terguncang menyaksikan panji-panji kebesaran Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berkibar dengan gagah, sekarang sudah tiada lagi. Musuh telah membunuh lebih dari dua puluh orang pegawainya namun tidak pernah menampakkan diri sama sekali. Mereka juga tidak pernah mengumumkan latar belakang dan tujuan pembantaian ini.
Perlahan Lin Zhennan berpaling ke arah papan nama bertuliskan huruf emas yang terpasang di atas pintu gedung. Sambil menghela napas ia berpikir, “Puluhan tahun lamanya nama besar Biro Ekspedisi Fuwei berjaya di mana-mana. Apakah hari ini akan hancur di tanganku?”
Tiba-tiba terlihat seekor kuda muncul dari ujung jalan menuju ke arah gedung biro. Kuda itu berjalan pelan-pelan dengan mengangkut sesosok mayat yang tersampir di atas pelana. Lin Zhennan bergegas menghampirinya dan ternyata kuda itu mengangkut jasad Pengawal Zhu. Rupanya musuh telah membunuh pegawainya itu dan meletakkan mayatnya di atas punggung kuda. Kuda ini hafal jalan pulang sehingga akhirnya sampai di hadapan sang majikan.
Lin Zhennan menghela napas panjang dan meneteskan air mata membasahi mayat Pengawal Zhu. Seorang diri ia menggendong mayat pegawainya itu ke dalam gedung sambil berkata, “Adik Zhu, jika aku tidak bisa membalaskan kematianmu, biarlah aku mati penasaran. Namun sayangnya, kau kembali ke sini tanpa bisa menyebutkan siapa orangnya yang telah membunuhmu.”
Sebenarnya Pengawal Zhu hanyalah seorang pegawai biasa, dan juga tidak terlalu akrab dengan Lin Zhennan. Adapun sumpah dan air mata yang dikeluarkan itu jelas dikarenakan perasaan gusar dan putus asa yang sudah memenuhi rongga dadanya.
Lin Zhennan kemudian melihat istrinya berdiri di depan ruang aula sambil memegang sebilah golok emas di tangan kiri. “Dasar penjahat busuk, kau hanya berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi! Jika kau memang laki-laki, lekas keluar! Tunjukkan batang hidungmu! Apa kau lebih suka disebut sebagai pengecut, hah?” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan.
Lin Zhennan bertanya, “Istriku, apa kau melihat sesuatu?”
Nyonya Wang menjawab, “Tidak. Kawanan bangsat itu tidak berani menampakkan diri karena takut terhadap Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kita.” Sambil mengacungkan goloknya, wanita itu melanjutkan, “Dia juga takut terhadap golok emas di tanganku ini!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari salah satu sudut atap rumah. Disusul kemudian sebuah senjata rahasia melesat menyambar ke arah Nyonya Wang dan mengenai golok yang dipegangnya. Seketika golok emas pun terlepas dari pegangan sementara Nyonya Wang merasa tangannya tergetar kesakitan. Golok emas tersebut terus melayang sampai jatuh di tengah halaman.
Tanpa pikir lagi, Lin Zhennan menerjang ke atas dan menusukkan pedangnya. Yang ia mainkan adalah jurus Menyapu Bersih Kaum Iblis, di mana ujung pedangnya terlihat bagaikan sari bunga bertebaran di udara. Sudah beberapa hari Lin Zhennan menyimpan dendam terhadap musuh yang tidak terlihat itu. Kini begitu ada kesempatan, amarahnya langsung meledak dan ia pun menyerang dengan sekuat tenaga. Namun pedang di tangannya ternyata hanya mengenai tempat kosong, sementara musuh yang ia cari telah menghilang entah ke mana.
Nyonya Wang dan Lin Pingzhi ikut naik ke atap untuk membantu, namun mereka bertiga tidak menemukan apa-apa.
“Jahanam! Anak anjing! Kalau kau memang laki-laki lekas keluar dan bertarung denganku! Pengecut macam apa pula kau ini?” bentak Nyonya Wang. “ Ke mana bajingan itu pergi? Siapa dia sebenarnya?” ujarnya kemudian –bertanya kepada sang suami.
Lin Zhennan menggeleng dan menjawab, “Simpan tenagamu.”
Ketiganya terus mencari ke segenap penjuru atap gedung namun tidak menemukan siapa-siapa. Mereka lalu melompat turun dan mendarat di halaman depan.
Lin Zhennan lantas bertanya kepada sang istri, “Senjata rahasia macam apa yang telah menjatuhkan golokmu tadi?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Benar-benar keparat!” jawab Nyonya Wang setengah memaki.
Mereka segera memeriksa di sekitar pelataran namun tidak menemukan suatu senjata rahasia apapun. Hanya saja di bawah salah satu pohon ditemukan pecahan batu bata yang sebagian telah lembut seperti pasir. Sepertinya si penyerang gelap memang menggunakan batu bata itu untuk menjatuhkan golok emas di tangan Nyonya Wang. Lin Zhennan merasa kagum sekaligus ngeri membayangkan tenaga dalam si penyerang yang mampu menjatuhkan senjata istrinya hanya dengan sepotong batu bata kecil saja. Nyonya Wang sendiri yang sejak semula sibuk mencaci-maki kini terdiam tanpa suara. Perasaan gusar di hatinya telah berubah menjadi takut menyaksikan remukan batu bata tersebut. Tanpa bicara sedikit pun, wanita itu lalu masuk kembali ke dalam ruangan.
Setelah suami dan putranya ikut masuk, Nyonya Wang segera menutup pintu dan berkata, “Musuh terlalu kuat. Kita tidak bisa menandinginya. Apa... apa yang harus kita lakukan?”
Lin Zhennan menjawab, “Terpaksa kita harus meminta bantuan para sahabat. Sudah sewajarnya dalam hidup ini kita saling membantu dan meminta bantuan kepada pihak lain.”
“Kita memang memiliki banyak sahabat. Namun dari sekian banyak jumlah mereka, memangnya berapa orang yang berkepandaian di atas kita?” ujar Nyonya Wang. “Jika kita mendatangkan para sahabat yang berkepandaian biasa saja atau bahkan di bawah kita, tentu mereka tidak akan banyak membantu.”
“Pendapatmu memang tidak salah,” jawab Lin Zhennan. “Tapi dengan adanya banyak orang tentu akan menghasilkan banyak pikiran. Tiada salahnya kalau kita mendatangkan mereka untuk berunding bersama.”
“Benar juga! Kalau begitu, siapa saja yang menurutmu pantas untuk kita undang?” tanya sang istri.
“Kita bisa mengundang yang paling dekat dulu,” jawab Lin Zhennan. “Tentu saja kita datangkan para jago yang bergabung di cabang Hangzhou, Nanchang, dan Guangzhou. Kemudian kita undang pula para pendekar dari luar perusahaan yang berasal dari Fujian sini, serta tiga provinsi terdekat lainnya.”
Nyonya Wang mengerutkan kening dan bertanya, “Tapi apakah kau tidak takut, dengan mendatangkan sedemikian banyak bala bantuan justru akan menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”
“Istriku, bukankah saat ini kau berusia tiga puluh sembilan tahun?” tiba-tiba Lin Zhennan bertanya masalah lainnya.
“Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya kau bertanya soal umur segala!” gerutu sang istri. “Aku lahir di tahun macan, memangnya kau sudah lupa?”
Lin Zhennan menjawab, “Tentu saja tidak. Aku berniat mengirimkan kartu undangan perayaan ulang tahunmu yang keempat puluh kepada para sahabat....”
“Apa? Kenapa ulang tahunku dimajukan? Apa aku sudah kelihatan tua?” sahut sang istri menukas.
“Bukan, bukan itu maksudku. Rambutmu masih hitam dan belum beruban, mana mungkin orang menganggapmu sudah tua?” ujar Lin Zhennan sambil menggeleng. “Aku hanya menjadikan ulang tahunmu sebagai alasan untuk mendatangkan bala bantuan. Kalau mereka sudah berkumpul, barulah kita ceritakan maksud yang sebenarnya secara diam-diam. Nah, dengan demikian nama baik perusahaan kita tidak akan tercemar.”
Nyonya Wang terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Bagus juga. Terserah bagaimana pendapatmu. Kalau begitu, hadiah macam apa yang akan kau berikan kepadaku?”
“Sudah pasti hadiah yang paling berharga,” jawab Lin Zhennan dengan berbisik di telinga istrinya. “Tahun depan kita akan memiliki bayi yang gemuk dan lucu.”
“Huh, dasar bandot tua! Keadaan sudah seperti ini masih juga bercanda!” gerutu Nyonya Wang dengan muka merah.
Lin Zhennan tertawa sambil melangkah menuju kantor untuk menyuruh kasir menyiapkan kartu undangan. Ia sengaja bergurau demi mengurangi kegelisahan istrinya, meskipun perasaannya sendiri sangat tertekan. Diam-diam ia merasa bimbang juga dengan keputusannya itu. “Air dari tempat jauh susah memadamkan kebakaran di tempat dekat. Malam ini tentu akan terjadi peristiwa lagi. Bila harus menunggu datangnya bala bantuan, aku khawatir saat mereka datang, perusahaan ini sudah tinggal nama,” katanya dalam hati.
Begitu tiba di depan pintu kantor, tiba-tiba Lin Zhennan disambut dua orang pegawainya yang terlihat sangat pucat karena ketakutan. Mereka berkata, “Celaka... celaka, Ketua!”
“Ada apa lagi ini?” tanya Lin Zhennan dengan jantung berdebar-debar.
“Tadi... Kasir Dong menyuruh Lin Fu pergi membeli peti mati. Tapi... tapi baru saja sampai di ujung Jalan Timur, mendadak Lin Fu roboh dan meninggal,” jawab salah seorang di antara mereka.
“Di mana? Di mana mayatnya sekarang?” tanya Lin Zhennan mendesak kedua pegawainya itu.
“Masih... masih di tempat dia terbunuh,” jawab si pegawai.
“Kenapa masih di sana? Lekas kalian bawa kemari!” seru Lin Zhennan memberi perintah. Dalam hati ia semakin geram karena si pembunuh kini berani menghabisi nyawa anak buahnya di siang hari.
Kedua pegawai pun menyahut, “Baik! Baik, Ketua!” Meskipun menjawab demikian, namun kaki mereka tidak bergeser sedikit pun.
“Ada apa lagi ini? Lekas pergi!” bentak Lin Zhennan.
Salah seorang kembali menjawab dengan suara gemetar, “Sebaiknya... sebaiknya Ketua pergi sendiri untuk melihatnya.”
Lin Zhennan yakin telah terjadi lagi suatu peristiwa aneh. Ia pun mendengus dan bergegas melangkah ke luar kantor. Di dekat pintu utama gedung telah berdiri tiga pengawal dan lima pengiring yang masing-masing memandang ke luar dengan wajah pucat.
“Ada apa ini?” tanya Lin Zhennan kepada mereka.
Belum sampai ada yang menjawab, ia menyaksikan sendiri altar batu di depan pintu kantornya telah ditulisi seseorang dengan menggunakan darah. Tulisan tersebut terdiri atas enam kata yang berbunyi: “Keluar pintu lebih sepuluh langkah, mati!”
Selain tulisan di altar, juga ditemukan garis panjang melintang yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari pintu gedung. Garis ini juga dibuat dari darah dengan lebar sekitar dua atau tiga senti, disertai tulisan: “Lewati garis ini dan kau akan mati”.
“Sejak kapan tulisan dan garis itu dibuat? Apa ada di antara kalian yang melihatnya?” tanya Lin Zhennan segera.
Salah seorang pegawai menjawab, “Ketika Lin Fu terbunuh, kami beramai-ramai langsung menuju ke tempat ia ditemukan. Akibatnya, tidak seorang pun dari kami yang melihat ke arah sini. Entah siapa pula yang berani bercanda membuat tulisan ini.”
Lin Zhennan semakin geram dan penasaran. Ia pun berteriak lantang, “Aku yang bermarga Lin sudah bosan hidup! Bunuh saja aku karena berani melewati garis yang kau buat! Aku ingin tahu seperti apa kau membunuhku!” Usai berteriak, ia pun melangkah dengan yakin mendekati garis darah tersebut.
“Ketua! Ketua!” seru dua orang pengawal mencoba mencegah sang majikan.
Namun Lin Zhennan tidak peduli. Ia sudah melangkah melewati garis darah yang masih basah tersebut. Dengan sepatunya ia berusaha menghapus tulisan darah di atas altar sambil berkata kepada para pegawainya, “Bajingan itu hanya menggertak saja. Kalian tidak perlu takut. Segeralah pergi membeli peti mati, sekalian mampir ke Biara Langit Damai di sisi barat kota untuk mengundang para biksu. Minta kepada mereka untuk mengadakan upacara doa besar-besaran selama beberapa hari di sini. Biarlah mereka yang mengusir semua pengaruh jahat dan arwah gentayangan di gedung ini.”
Tiga orang pengawal bergegas merapikan pakaian dan mengambil senjata, untuk kemudian melaksanakan perintah sang majikan. Keberanian mereka timbul setelah menyaksikan sendiri bagaimana Lin Zhennan melewati garis darah itu tanpa mendapat celaka. Dengan berjalan berdampingan mereka bertiga melewati garis itu pula. Setelah melihat ketiganya menghilang di ujung jalan, barulah Lin Zhennan masuk kembali ke dalam gedung.
Kepada jurutulisnya yang bermarga Huang, ia lantas berkata, “Jurutulis Huang, tolong kau tuliskan beberapa undangan kepada para sahabat dan pegawai kita di beberapa cabang untuk minum arak di sini, merayakan ulang tahun istriku.”
“Baik, Ketua! Lalu, tanggal berapa mereka harus datang kemari?” tanya Jurutulis Huang.
Belum sempat Lin Zhennan menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar ruangan. Lin Zhennan memiringkan kepala agar dapat mendengar lebih jelas. Terdengar suara seseorang roboh di lantai. Ia pun bergegas keluar dan melihat Pengawal Di, salah satu dari tiga orang pegawai yang tadi berangkat membeli peti mati telah tergeletak tak berdaya.
“Adik Di, bagaimana keadaanmu?” tanya Lin Zhennan sambil memapah bangun pegawainya itu.
“Mereka... mereka sudah mati semua. Hanya... hanya saya yang bisa berlari pulang,” jawab Pengawal Di dengan suara lemah.
“Apa kau mengenali para penyerang itu?” tanya Lin Zhennan mendesak.
“Sa... saya... tidak... tidak... ta...” jawab Pengawal Di dengan suara terputus-putus. Akhirnya ia pun menghembuskan napas terakhir pula menyusul kawan-kawannya yang lain.
Dalam waktu singkat peristiwa ini langsung tersebar. Lin Pingzhi dan ibunya bergegas keluar untuk melihat bagaimana wujud garis darah ancaman dari musuh tersebut. Tidak seorang pun pegawai yang berani keluar untuk mengambil mayat dua orang rekan Pengawal Di.
“Biarlah aku sendiri yang mengambil mayat mereka,” ujar Lin Zhennan dengan suara lantang.
“Jangan, Ketua! Ketua tidak boleh pergi!” sahut Jurutulis Huang mencegah. Ia lalu berseru kepada para pegawai, “Hei, semuanya! Barangsiapa bersedia mengambil jenazah kedua kawan kita di luar itu, maka dia akan mendapat hadiah tiga puluh tael perak.”
Meskipun Jurutulis Huang mengulangi pengumumannya sampai dua kali, namun tidak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu. Tiba-tiba terdengar suara Nyonya Wang mencari-cari anaknya. “Mana Pingzhi? Ke mana perginya Pingzhi? Ping’er!... Ping’er!” teriak perempuan itu dengan suara penuh kecemasan.
“Tuan Muda! Tuan Muda!” seru para pegawai ikut berteriak-teriak memanggil. Mereka ikut panik karena sang majikan muda tiba-tiba menghilang entah ke mana.
“Aku di sini!” seru Lin Pingzhi dari luar gedung.
Semua orang gembira mendengarnya dan beramai-ramai menuju ke luar gedung. Terlihat Lin Pingzhi muncul dari ujung jalan sambil memanggul mayat kedua pegawainya masing-masing di bahu kiri dan kanan. Lin Zhennan dan istrinya pun menyambut dengan senjata di tangan demi melindungi putra mereka itu. Serentak para pegawai bersorak memuji, “Tuan Muda memang seorang pemberani! Sungguh tidak kenal takut!”
Lin Zhennan dan Nyonya Wang juga merasa bangga melihat keberanian putra mereka itu. Terdengar Nyonya Wang menegur, “Nak, kau sangat gegabah. Kedua pengawal ini memang orang baik. Tapi usahamu untuk mengambil jasad mereka sungguh terlalu berbahaya.”
Lin Pingzhi hanya tersenyum. Dalam hati ia berpikir sedih, “Gara-gara perbuatanku membunuh satu orang, sekarang banyak pegawai yang menjadi korban balas dendam. Kalau aku tidak berani bertanggung jawab, sungguh tidak pantas aku disebut manusia.”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang, “Hah!... Kakek... Kakek Hua juga meninggal!” Seorang pesuruh dengan muka pucat berlari-lari melapor kepada Lin Zhennan, “Ketua, Kakek Hua telah keluar melalui pintu belakang hendak pergi ke pasar berbelanja sayuran. Tahu-tahu ia sudah ditemukan mati pada jarak belasan langkah dari pintu. Ternyata... ternyata di belakang juga ada garis darah dengan kalimat ancaman yang sama!”
Kakek Hua yang dimaksud adalah jurumasak Keluarga Lin. Kepandaiannya dalam menciptakan masakan lezat menjadi daya tarik tersendiri untuk memikat para pejabat sehingga menggunakan jasa layanan Biro Ekspedisi Fuwei. Bisa dikatakan Kakek Hua ini adalah senjata rahasia andalan Lin Zhennan untuk menarik perhatian para tamu dari kalangan terhormat.
Mendengar laporan tersebut Lin Zhennan menggigil dan berpikir, “Kakek Hua hanya seorang jurumasak. Dia bukan pengawal, juga bukan pengiring kereta. Dalam tata krama perampokan sekalipun hanya para pengawal yang boleh dibunuh, sedangkan kusir kereta dan kuli angkut biasanya dibiarkan hidup. Tapi kali ini, mengapa semua penghuni gedung seolah hendak dibinasakan semua?”
Kematian Kakek Hua membuat semua pegawai bertambah panik. Lin Zhennan pun berseru, “Tetap tenang, jangan gelisah! Kawanan bangsat itu hanya berani main sergap secara sembunyi-sembunyi. Bukankah kalian melihat sendiri bagaimana aku tadi bersama istri dan anakku tidak diserang meskipun berani melewati garis darah di halaman depan? Mereka tidak berani berbuat apa-apa.”
Semua pegawai mengangguk membenarkan ucapan Lin Zhennan. Namun, tetap saja tiada seorang pun dari mereka yang berani melangkah keluar. Lin Zhennan dan Nyonya Wang hanya bisa saling pandang. Pasangan suami-istri itu kini benar-benar merasa lemah dan terdesak.
Malam harinya Lin Zhennan menunjuk dua puluh orang pegawainya untuk menjaga keamanan. Namun ketika ia keluar untuk memeriksa, ternyata para pegawai itu tidak melakukan ronda sebagaimana mestinya. Mereka terlihat hanya duduk bergerombol di ruang tengah. Tidak seorang pun yang berani berjaga di luar; bahkan, untuk ke kamar kecil saja setiap orang minta ditemani.
Ketika melihat sang majikan muncul, para pegawai itu merasa malu, namun tetap saja tidak seorang pun lantas keluar untuk meronda. Lin Zhennan sendiri merasa maklum karena musuh memang benar-benar ganas dan berilmu tinggi; sementara ia sendiri merasa tidak memiliki jalan keluar yang lebih baik. Maka itu, ia pun tidak memarahi mereka, bahkan mengambilkan arak dan makanan untuk dinikmati bersama. Karena dicekam ketakutan, mereka makan dan minum tanpa bersuara. Tidak lama kemudian, sebagian besar dari mereka sudah tertidur pulas karena mabuk.
Hari berikutnya lima orang pegawai biro tampak memacu kuda masing-masing meninggalkan gedung kantor. Setelah diselidiki ternyata mereka memutuskan untuk mengungsi daripada menderita tekanan batin seperti itu. Lin Zhennan hanya menggelengkan kepala dan menghela napas panjang, lalu berkata, “Ketika datang gangguan, burung-burung beterbangan ke segala arah. Kami dari Keluarga Lin tidak mampu melindungi kalian. Saudara-saudara silakan pergi kalau merasa lebih aman jika meninggalkan gedung ini!”
Para pegawai tidak menjawab. Beberapa pengawal tampak mencaci maki kelima rekan mereka yang dianggap pengecut dan tidak setia kawan itu. Beberapa pegawai lainnya hanya terdiam dan menghela napas panjang. Dalam hati mereka pun ingin secepatnya terbebas dari ancaman maut yang mengintai setiap saat itu.
Tiba-tiba pada sore harinya datang lima ekor kuda mengangkut mayat kelima pegawai yang kabur tadi siang. Kelima orang itu berusaha kabur dengan harapan bisa menyelamatkan diri namun justru mengantarkan nyawa lebih cepat kepada si pembunuh.

Lin Pingzhi menantang musuh misterius.
Melihat ini, perasaan dendam Lin Pingzhi semakin menjadi-jadi. Dengan menghunus pedang ia menerjang keluar dan berdiri beberapa langkah di luar garis darah sambil berteriak menantang si pembunuh, “Hei, kau yang ada di sana! Aku, Lin Pingzhi, adalah orang yang telah membunuh si marga Yu dari Szechwan. Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Jika kau ingin membalas dendam, maka tusukkan pedangmu ke jantungku! Aku tidak akan menolak! Tapi kau telah membantai orang-orang yang tidak bersalah. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Huh, kaum pengecut macam apa pula kalian ini? Selama kalian tidak berani menampakkan diri, maka kalian pantas disebut sebagai kawanan anjing busuk!”
Lin Pingzhi berteriak semakin keras dan lantang; bahkan, sambil membuka baju dan menepuk-nepuk dada. “Lekas kalian keluar dan bawa golokmu kemari! Aku seorang laki-laki sejati, tidak takut mati! Apakah kalian takut berdiri di hadapanku dan bertarung secara jantan? Dasar kalian memang pengecut busuk! Binatang rendah!”
Orang-orang yang lewat di jalanan hanya memandang dengan heran tanpa berani mendekat karena telah tersiar kabar bahwa Biro Ekspedisi Fuwei adalah perusahaan maut. Lin Zhennan dan sang istri bergegas keluar pula untuk melindungi putra tunggal mereka itu. Kemarahan mereka bertiga yang sudah tertumpuk selama beberapa hari ini akhirnya meledak sudah. Dengan sangat gusar ketiganya berteriak-teriak menantang musuh yang tak terlihat itu.
Para pegawai biro hanya menyaksikan dari dalam gedung dengan perasaan sangat kagum terhadap ketiga majikan tersebut. Mereka mengetahui bahwa Lin Zhennan seorang yang berkepandaian tinggi, sementara Nyonya Wang terkenal sebagai wanita pemberani. Akan tetapi perbuatan Lin Pingzhi benar-benar menarik perhatian. Biasanya, sang majikan muda bersikap lemah lembut seperti perempuan, namun kali ini terlihat begitu gagah dan tidak kenal takut.
“Garis kematian apa pula ini? Aku telah melangkahinya dan aku ingin tahu bagaimana kalian membunuhku,” lanjut Lin Pingzhi sambil melangkah lebih jauh lagi melewati garis tersebut sambil mengacungkan pedang.
“Benar, benar!” sahut sang ibu. “Para pengecut itu hanyalah kaum rendahan. Kalian takut berhadapan muka dengan putraku.” Usai berkata ia pun maju dan menggandeng tangan Lin Pingzhi, kemudian mengajak putranya itu kembali ke dalam gedung.
Lin Pingzhi terlihat gemetar karena kemarahannya sudah memuncak. Begitu masuk ke dalam kamar ia langsung merebahkan diri di atas ranjang dan menangis keras-keras.
Lin Zhennan memahami perasaan putra tunggalnya itu. Sambil membelai kepala Lin Pingzhi, ia berkata, “Nak, kau tadi sungguh berani. Keluarga Lin bangga kepadamu. Tapi apa boleh buat? Musuh tetap tidak mau menampakkan batang hidungnya. Sebaiknya kita beristirahat saja untuk saat ini.”
Lin Pingzhi terus saja menangis sampai akhirnya tertidur karena letih.
Malam harinya setelah makan bersama, Lin Pingzhi mendengar pembicaraan ayah dan ibunya tentang rencana beberapa orang pengawal yang hendak membuat jalur rahasia berupa terowongan di bawah tanah. Dengan cara ini mereka bisa meloloskan diri tanpa harus melangkahi garis ancaman. Jika mereka tetap berada di dalam gedung kantor, cepat atau lambat, kematian akan mendatangi mereka.
Nyonya Wang berkata, “Biarkan saja kalau mereka hendak menggali terowongan rahasia. Tapi, aku takut... aku takut....”
Lin Zhennan menyadari perasaan sang istri. Rupanya Nyonya Wang khawatir jangan-jangan rencana kabur melalui terowongan ini juga akan mengalami kegagalan seperti yang dilakukan lima pengawal siang tadi.
“Sebaiknya aku pergi memeriksa,” sahut Lin Zhennan. “Jika terowongan bawah tanah itu selesai digali, tentu ini bisa menjadi jalan keluar yang aman untuk semua pegawai kita.”
Usai berbicara, ia pun melangkah pergi dan sejenak kemudian kembali lagi sambil berkata, “Rencana hanya tinggal rencana. Tidak seorang pun yang berani turun tangan untuk mulai menggali.”
Malam itu, Lin Pingzhi dan kedua orang tuanya merasa sangat letih. Ketiganya pun tertidur pulas sejak makan malam berakhir. Sementara itu para pegawai biro seolah sudah berputus asa. Mereka hanya pasrah menunggu nasib sehingga tidak seorang pun yang menjalankan tugas meronda sebagaimana yang telah dijadwalkan.
Tepat tengah malam Lin Pingzhi dibangunkan seseorang. Seketika ia pun mengambil pedang yang terselip di bawah bantal. Namun hal itu segera dibatalkannya karena yang datang tidak lain adalah sang ibu sendiri.
“Ping’er, ini Ibu. Tolong jangan bersuara!” Setelah melihat anaknya tenang, Nyonya Wang melanjutkan, “Ayahmu sudah pergi sejak tadi namun sampai kini belum juga kembali. Mari kita cari bersama-sama!”
“Ayah ke mana?” tanya Lin Pingzhi dengan perasaan khawatir.
“Entahlah,” jawab sang ibu.
Sambil memegang senjata masing-masing, Lin Pingzhi dan Nyonya Wang melangkah ke luar kamar. Mula-mula mereka mencari Lin Zhennan ke ruang depan, namun yang ada hanya para pegawai saja. Di bawah cahaya lilin, tampak belasan pegawai sedang sibuk bermain kartu. Rupanya mereka sudah sangat putus asa sehingga tidak peduli lagi dengan ancaman si pembunuh. Nyonya Wang mengajak Lin Pingzhi mencari ke tempat lain. Sengaja mereka tidak menceritakan tentang hilangnya Lin Zhennan karena khawatir para pegawai menjadi panik dan keadaan pun bertambah rumit.
Lin Pingzhi dan ibunya mencari ke berbagai tempat namun tidak juga menemukan di mana sang ayah berada. Keduanya sama-sama gelisah memikirkan keselamatan Lin Zhennan. Pikiran buruk pun datang menghantui.
Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh dari arah ruang senjata. Lin Pingzhi pun menghampiri dan mengintip ke dalam. Betapa gembira hati pemuda itu ketika mengetahui Lin Zhennan ternyata berada di dalam sana.
“Rupanya Ayah ada di sini!” serunya perlahan.
Lin Zhennan tampak sedang mengerjakan sesuatu dan langsung menoleh ketika putranya memanggil. Lin Pingzhi sendiri langsung terdiam melihat raut muka sang ayah tampak tegang dan menyeramkan, seolah baru saja menemukan sesuatu yang aneh. Rasa gembiranya seketika berubah menjadi ngeri.
Nyonya Wang segera masuk ke dalam untuk memeriksa. Tampak darah berceceran di lantai. Lin Zhennan sendiri sedang sibuk mengamati sesosok mayat yang terbaring di atas tiga bangku berjajar. Mayat tersebut adalah Pengawal Huo yang tadi siang mencoba kabur bersama keempat rekannya, namun kembali dalam keadaan tewas. Perlahan-lahan, Lin Pingzhi ikut masuk pula dan menutup pintu, kemudian berdiri di belakang sang ayah.
Lin Zhennan telah membedah dada Pengawal Huo dan mengeluarkan jantungnya. Tampak jantung itu sudah hancur menjadi beberapa bagian. Dengan suara gugup Lin Zhennan pun berkata, “Tidak salah lagi! Ini adalah... ini adalah...”
“Tapak Penghancur Jantung!” seru istrinya. “Ini adalah ilmu kebanggaan Perguruan Qingcheng.”
Lin Zhennan mengangguk dan terdiam. Kepalanya menunduk untuk sekian lama.
Lin Pingzhi baru sadar kalau ayahnya sejak tadi menghilang karena sibuk meneliti mayat Pengawal Huo dengan tujuan untuk mencari tahu penyebab kematiannya.

Lin Zhennan memeriksa jantung Pengawal Huo.
(Bersambung)

bagian 2 ; halaman muka ; bagian 4