Bagian 102 - Perpecahan di Pihak Taishan

Zuo Lengchan Ketua Perguruan Songshan.

Zuo Lengchan melanjutkan, “Urusan yang paling penting saat ini adalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Tuan Besar Mo, kita ini sama-sama ketua perguruan, tentunya harus lebih mengutamakan urusan bersama dan mengesampingkan masalah pribadi. Apa pun itu asalkan menguntungkan perguruan, sudah sepantasnya harus didahulukan, sedangkan masalah budi dan dendam harus dihindari. Maka dari itu, Saudara Mo, urusan yang sudah-sudah tidak perlu kau pikirkan lagi. Adik Fei memang saudara seperguruanku. Tapi kalau nanti Serikat Pedang Lima Gunung sudah dilebur, dengan sendirinya Saudara Mo menjadi saudara seperguruanku pula. Yang sudah meninggal biarlah meninggal, yang masih hidup untuk apa harus saling bunuh?”

Kata-kata Zuo Lengchan ini terdengar lembut, namun sebenarnya bernada mengancam. Maksudnya ialah, kalau Tuan Besar Mo setuju dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, maka masalah terbunuhnya Fei Bin tidak akan pernah diusut lagi dan tidak akan dilakukan perhitungan pula.

Dengan mata melotot Zuo Lengchan menatap Tuan Besar Mo dan bertanya, “Bagaimana, Saudara Mo setuju atau tidak?”

Tuan Besar Mo hanya mendengus tanpa menjawab.

Dengan senyum yang dibuat-buat, Zuo Lengchan berkata, “Mengenai masalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung kita agaknya Perguruan Hengshan sudah setuju. Lalu bagaimana dengan Perguruan Taishan? Pendeta Tianmen, bagaimana pendapatmu?”

Pendeta Tianmen lantas berdiri. Dengan suara keras ia berkata, “Sekitar tiga ratus tahun yang lalu Perguruan Taishan didirikan oleh leluhur kami, Pendeta Dongling. Sungguh menyesal, aku terlalu bodoh dan kurang bijaksana sehingga tidak mampu mengembangkan Perguruan Taishan menjadi lebih gemilang. Namun begitu, Perguruan Taishan yang sudah bersejarah tiga ratus tahunan ini bagaimanapun juga tidak boleh putus di tanganku. Soal melebur Taishan dengan perguruan-perguruan lain sama sekali kami tidak dapat menerimanya.”

Tiba-tiba di tengah-tengah rombongan Taishan berdiri seorang pendeta berjenggot putih yang kemudian berseru, “Ucapan Keponakan Tianmen ini kurang tepat. Perguruan Taishan kita memiliki lebih dari empat ratus anggota. Janganlah karena memikirkan kepentingan dirimu sendiri lantas mengorbankan kepentingan banyak orang.”

Wajah pendeta berjenggot itu tampak kurus kering dan keriput, tapi suaranya ternyata keras dan kuat, pertanda ia memiliki tenaga dalam yang melimpah. Di antara para hadirin ada yang mengenalinya dan lantas berbisik-bisik pada teman di dekatnya, “Dia bernama Pendeta Yujizi, masih terhitung paman perguruan Pendeta Tianmen.”

Pendeta Tianmen yang berwajah merah bercahaya begitu mendengar kata-kata Yujizi itu, seketika mukanya bertambah merah. Segera ia pun berseru, “Paman Guru, apa artinya ucapanmu ini? Sejak aku menjabat sebagai Ketua Perguruan Taishan, dalam hal apa aku pernah mengabaikan kepentingan golongan kita? Aku menolak peleburan Serikat Pedang Lima Gunung justru demi mempertahankan Perguruan Taishan kita. Bagaimana aku bisa disebut lebih suka mementingkan urusan pribadi?”

Yujizi terkekeh-kekeh dan berkata, “Peleburan kelima perguruan menjadi satu, akan membuat Perguruan Lima Gunung kita menjadi semakin berwibawa. Itu berarti setiap murid Perguruan Lima Gunung juga akan ikut merasakan manfaatnya. Namun sebaliknya, jabatanmu sebagai Ketua Perguruan Taishan mau tidak mau menjadi lenyap, bukan?”

Pendeta Tianmen semakin gusar. Ia pun berteriak murka, “Jadi kau menuduh aku hanya memikirkan kepentingan pribadi saja, begitu?” Sekejap kemudian ia mengeluarkan sebilah pedang pendek berwarna hitam legam dari balik bajunya dan berseru, “Ini, mulai saat ini aku tidak sudi menjadi ketua lagi! Kalau kau menginginkannya, kau boleh mengambilnya!”

Meskipun pedang pendek itu tidak menarik sedikit pun, namun benda ini merupakan pusaka yang diwariskan turun-temurun oleh Pendeta Dongling, pendiri Perguruan Taishan. Selama tiga ratus tahun benda ini selalu menjadi tanda pengenal ketua.

Tampak Yujizi maju selangkah dan mencibir, “Hm, apa kau benar-benar rela meninggalkan kedudukanmu?”

“Kenapa tidak?” jawab Tianmen gusar.

“Baik, kau bisa serahkan itu padaku!” kata Yujizi. Mendadak sebelah tangannya menjulur ke depan, tahu-tahu pedang pendek di tangan Tianmen itu telah dirampas olehnya.

Tianmen sama sekali tidak mengira kalau Yujizi benar-benar akan merampas pedang pusakanya. Ia tertegun oleh perbuatan sang paman guru. Tanpa berpikir lagi tangannya lantas melolos pedang panjang yang tergantung di pinggang.

Namun dengan cepat Yujizi sudah melompat mundur, dan pada saat itu dua sosok bayangan lantas berkelebat pula. Rupanya dua pendeta tua lainnya telah berdiri menghadang di depan Tianmen dengan pedang terhunus. Secara bersamaan mereka membentak, “Tianmen, kau berani melawan angkatan yang lebih tua? Apakah kau sudah lupa pada tata tertib perguruan kita?”

Kedua pendeta tua itu adalah dua orang paman guru Tianmen lainnya yang seangkatan dengan Yujizi. Mereka bernama Yuqingzi dan Yuyinzi.

Pendeta Tianmen gemetar menahan marah. “Paman Guru berdua tentu menyaksikan sendiri, apa … apa yang telah diperbuat oleh Paman … Paman Guru Yuji tadi?” teriaknya.

Yuyinzi menjawab, “Kami memang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa kau telah menyerahkan jabatan Ketua Perguruan Taishan kepada Kakak Yuji. Kau sendiri rela mengundurkan diri dan memberikan tempatmu kepada orang yang lebih bijaksana. Sungguh tindakanmu ini patut dipuji.”

Yuqingzi ikut bicara, “Kakak Yuji adalah paman perguruanmu. Sekarang dia telah menjabat sebagai ketua pula. Tapi kau berani menggunakan senjata dan bersikap kasar kepadanya. Ini namanya perbuatan durhaka kepada orang tua.”

Tianmen sadar kedua paman perguruannya itu sudah sepaham dengan Yujizi dan berusaha memojokkannya. Dengan perasaan semakin gusar ia berteriak, “Aku tadi bicara dalam keadaan marah. Pikiranku sedang kacau. Padahal kedudukan Ketua Perguruan Taishan kita mana boleh diserahkan begitu saja kepada setiap orang? Seandainya akan kuberikan pada orang lain juga sama sekali tidak … huh, keparat! Sama sekali tidak akan kuberikan kepada Paman Yuji.” Karena tidak kuasa menahan marah, dari mulutnya pun keluar kata-kata kasar.

“Lihat, perkataan seperti itu apa pantas diucapkan seorang ketua?” sahut Yuyinzi.

Tiba-tiba seorang pendeta setengah umur di tengah rombongan Taishan berteriak, “Ketua perguruan kita selama ini adalah guruku. Kalian ini sebenarnya hendak main gila atau apa?” Pendeta yang baru saja bicara ini bernama Jianchu, murid Tianmen nomor dua.

Menyusul seorang pendeta lainnya juga berdiri dan berseru, “Kakak Tianmen telah menyerahkan jabatannya kepada guruku. Peristiwa ini telah disaksikan beribu-ribu pasang mata dan telinga yang hadir di Gunung Songshan ini. Mana mungkin persoalan ini bisa dipalsukan? Dengan jelas Kakak Tianmen tadi menyatakan, ‘mulai saat ini aku tidak sudi menjadi ketua lagi. Kalau kau menginginkannya, kau boleh mengambilnya.’ Coba katakan, betul tidak?” Pendeta yang satu ini jelas murid dari Yujizi.

Seketika itu orang-orang Taishan menjadi ribut sendiri. Mereka terpecah menjadi dua bagian. Bagian yang lebih sedikit mendukung Tianmen, sementara yang lebih banyak berteriak-teriak, “Ketua lama mengundurkan diri, ketua baru pegang pimpinan! Ketua lama lekas mundur, biar ketua baru menggantikannya!”

Tianmen memang murid tertua dalam angkatannya dan juga memiliki pengaruh besar dalam Perguruan Taishan. Akan tetapi, sekitar enam atau tujuh orang pamannya diam-diam bersekongkol untuk menyingkirkan dirinya. Dari kedua ratus orang Taisahan yang datang ke Gunung Songshan itu, sebanyak lebih dari seratus enam puluh orang mendukung pihak Yujizi.

Yujizi sendiri lantas mengangkat tinggi-tinggi pedang pendek yang dirampasnya dari Tianmen tadi sambil berteriak, “Ini adalah pusaka Leluhur Dongling. Wasiat guru besar kita berbunyi: ‘melihat pedang ini sama dengan melihat Dongling’. Menurut kalian pantas atau tidak kalau kita taat kepada wasiat leluhur kita?”

“Benar, tepat sekali ucapan Ketua!” serentak ratusan anak buahnya berteriak.

Ada juga yang berteriak, “Murid murtad Tianmen berani melawan pimpinan dan tidak tunduk kepada peraturan. Dia harus ditangkap dan dihukum!”

Melihat suasana seperti itu, Linghu Chong menduga ini semua tentu sudah diatur sedemikian rupa oleh Zuo Lengchan. Watak Pendeta Tianmen terkenal berangasan. Jika sedang marah ia suka mengeluarkan kata-kata yang tidak disadarinya sehingga justru membuatnya masuk perangkap lawan. Kini pihak lawan sedang di atas angin. Tianmen sendiri bukan seorang yang pintar menghadapi kejadian-kejadian luar biasa seperti itu, sehingga dirinya hanya bisa marah-marah, namun tidak tahu harus berbuat apa.

Ketika Linghu Chong memandang ke kalangan orang-orang Perguruan Huashan, dilihatnya sang guru berdiri berpeluk tangan. Raut muka Yue Buqun pun terlihat datar. Linghu Chong lantas berpikir, “Tentu Guru tidak dapat menyetujui tindakan Yujizi dan kawan-kawannya itu. Namun Beliau tampaknya tidak ingin ikut campur persoalan orang lain, dan memilih menunggu untuk melihat gelagat selanjutnya. Biarlah aku menunggu pula dan mengikuti perintah Guru.”

Sementara itu Yujizi telah memberi isyarat. Serentak sekitar seratus enam puluh orang murid Perguruan Taishan yang menjadi begundalnya berpencar dengan pedang terhunus. Seketika yang masih tersisa, yang jumlahnya tidak lebih dari lima puluh orang pun terkepung di tengah-tengah. Yang terkepung ini tentu saja murid-murid Pendeta Tianmen.

Dengan perasaan murka Tianmen membentak, “Apakah kalian benar-benar ingin berkelahi? Baiklah, silakan maju!”

Dengan suara lantang Yujizi berteriak, “Dengarkan, Tianmen! Selaku Ketua Perguruan Taishan, kuperintahkan dirimu untuk membuang senjata dan menyerahkan diri! Apakah kau berani membangkang di depan pedang pusaka peninggalan Guru Besar kita ini?”

“Huh, siapa yang mengakuimu sebagai Ketua Perguruan Taishan?” jawab Tianmen gusar.

Yujizi kembali berseru, “Dengarkan, murid-murid Tianmen! Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan kalian. Asalkan kalian meletakkan senjata dan menggabungkan diri, maka kesalahan kalian tidak akan diusut. Jika tidak, tentu kalian pasti akan menerima ganjaran setimpal.”

Dengan suara keras Pendeta Jianchu menyahut, “Asalkan kau mau bersumpah di bawah pedang pusaka Guru Besar bahwa kau tidak akan menghancurkan Perguruan Taishan yang dibangun dengan susah payah, maka tidak menjadi soal bila kau menjabat sebagai ketua kita. Namun, baru sekejap saja kau mengaku sebagai ketua, serentak kau hendak menjual Perguruan Taishan kita kepada Perguruan Songshan. Kau sungguh sangat berdosa terhadap Guru Besar di alam baka. Kau pasti akan dikutuk oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai anggota Perguruan Taishan.”

Yuyinzi memaki, “Bocah kurang ajar! Kau pikir dirimu siapa berani mengoceh di hadapan orang tua angkatan ‘Yu’? Apa jeleknya jika Serikat Pedang Lima Gunung dilebur menjadi satu? Bukankah Perguruan Songshan sendiri nanti juga ikut hilang terlebur di dalamnya? Perguruan Lima Gunung itu sudah menunjukkan kalau Taishan ada di dalamnya. Lantas, apa jeleknya peleburan ini?”

Tianmen menjawab kasar, “Hm, diam-diam kalian telah main gila dan menjual diri kepada Zuo Lengchan. Huh, pendek kata, bila perlu kalian bisa membunuhku, tapi aku tidak akan tunduk kepada Perguruan Songshan. Jangan harap!”

Yujizi berteriak, “Kalian tidak mau tunduk kepada perintah pedang pusaka Guru Besar, jangan menyesal bila sebentar nanti kalian semua akan mampus tak terkubur!”

Tianmen berseru pula, “Setiap murid Taishan yang setia, hari ini biarlah kita bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan di Puncak Songshan ini!”

“Benar, bertempur sampai titik darah penghabisan!” teriak murid-murid Tianmen yang berdiri di sekitarnya. Meski jumlah mereka jauh lebih sedikit, namun tekad mereka bulat, sedikit pun tidak gentar.

Apabila Yujizi memberi komando agar anak buahnya menyerang, rasanya sukar juga membunuh habis anak buah Tianmen ini. Selain itu, beribu-ribu kesatria yang hadir, terutama tokoh-tokoh seperti Mahabiksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu tentu tidak akan tinggal diam menyaksikan pembunuhan besar-besaran di antara sesama golongan tersebut.

Maka Yujizi, Yuyinzi, dan Yuqingzi serta para pendukung mereka hanya bisa saling pandang saja dengan perasaan ragu-ragu. Dalam hati mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak.

Tiba-tiba jauh di sebelah kiri sana terdengar suara seseorang berseru dengan nada bermalas-malasan, “Seumur hidup aku yang tua ini sudah banyak menjelajahi dunia. Jumlah kesatria dan pahlawan yang pernah kutemui juga tak terhitung banyaknya. Namun, babi yang suka menjilat kembali ludah sendiri dalam waktu singkat baru kali ini kulihat.”

Pandangan semua orang beralih ke arah datangnya suara itu. Terlihat di sana seorang laki-laki berbaju kain kasar berdiri bersandar pada sebongkah batu cadas. Tangan kirinya memegang dan mengibas-kibaskan sebuah caping. Sepasang matanya kecil, tubuhnya jangkung, sikapnya pun acuh tak acuh.

Para hadirin tidak kenal asal-usul orang bertubuh jangkung itu, juga tidak paham ucapannya tersebut ditujukan kepada siapa. Terdengar si jangkung kembali berkata, “Huh, sudah jelas kau telah menyerahkan jabatan ketua kepada orang lain, memangnya apa yang sudah kau katakan tadi hanya kentut belaka? Kalau begitu, sebaiknya kau jangan memakai nama ‘tian’, tetapi diganti menjadi ‘kentut’ saja.”

Mendengar orang itu mendukung pihaknya, Yujizi dan yang lain segera bergelak tawa terbahak-bahak.

Semakin gusar Tianmen menjawab, “Ini urusan Perguruan Taishan kami, tidak perlu orang luar ikut campur!”

Namun si jangkung masih berbicara dengan sikap malas, “Setiap urusan yang kuanggap tidak adil pasti aku akan ikut campur. Hari ini adalah hari bahagia peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, tapi kau sengaja membuat masalah di sini dan mengacaukan suasana baik ini. Sungguh keterlaluan!”

Tiba-tiba pandangan semua orang terasa kabur. Ternyata si jangkung melompat maju dengan kecepatan yang sukar dilukiskan ke tengah kalangan orang-orang Taishan itu. Capingnya terangkat dan serentak ia menghantam ke atas kepala Tianmen.

Tianmen tidak menangkis serangan si jangkung, namun pedangnya lantas menusuk ke dada orang itu. Di luar dugaan si jangkung menjatuhkan diri ke bawah, menerobos dengan sangat cepat melalui selangkangan Tianmen. Ketika ia berbalik, sebelah kakinya pun mendepak, dan dengan tepat titik nadi di punggung Tianmen tertendang olehnya.

Beberapa gerakan itu sungguh teramat cepat dan caranya juga lain daripada yang lain. Kontan semua orang terperangah. Dalam keadaan yang tidak terduga-duga Pendeta Tianmen telah dibekuk olehnya.

Melihat sang guru mengalami kekalahan, serentak beberapa murid mengangkat pedang dan menusuk si jangkung. Tapi orang bertubuh jangkung itu bergelak tawa dan kemudian menyodorkan punggung Tianmen ke depan sebagai perisai. Tentu saja murid-murid Tianmen kelabakan dan lekas-lekas menarik kembali pedang masing-masing.

“Lekas buang senjata kalian, atau kupenggal putus kepala guru kalian ini!” bentak si jangkung sambil menjambak rambut Tianmen dan mengancam hendak memuntir kepala pendeta itu.

Dalam keadaan seperti itu, percuma saja Tianmen memiliki kepandaian tinggi, namun sama sekali tidak bisa berkutik di tangan musuh. Wajahnya yang merah kini berubah pucat pasi.

“Caramu menyerang secara licik itu bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati. Siapakah namamu, wahai Tuan yang terhormat?” ujar Pendeta Jianchu.

“Plak”, tiba-tiba si jangkung menampar muka Tianmen satu kali. Masih dengan sikap bermalas-malasan ia menjawab, “Siapa berani kurang ajar padaku, segera kuhajar gurunya!”

Melihat sang guru dianiaya, murid-murid Tianmen saling merasa khawatir sekaligus murka. Kalau serentak mereka menusuk dengan pedang masing-masing, bukan mustahil si jangkung seketika akan penuh tertancap pedang bagaikan seekor landak. Namun mereka tidak berani sembarangan bertindak mengingat keselamatan sang guru berada di tangan musuh. Karena gusar seorang pendeta muda pun berteriak, “Kau binatang ….”

“Plak”, kembali Tianmen ditampar oleh si jangkung. “Itu untuk muridmu yang pintar mengucapkan kata-kata kotor!” ujarnya.

Pada saat itulah tiba-tiba Tianmen berteriak satu kali. Si jangkung terkejut dan bermaksud melepaskan cengkeramannya, tapi sudah terlambat. Tianmen telah memutar kepalanya sehingga kini ia berhadapan muka dengan si jangkung. Darah menyembur keluar dari mulut Tianmen dan langsung membasahi wajah si jangkung pula. Pada saat yang sama Tianmen secepat kilat mencekik leher orang itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Terdengar suara “krak” satu kali, yaitu bunyi tulang leher si jangkung telah dipatahkan mentah-mentah olehnya.

Ketika Tianmen mengayunkan tangannya, orang itu terlempar ke belakang dan jatuh menggelepar. Setelah berkelojotan beberapa kali, ia kemudian tak bergerak lagi. Semua orang ngeri melihatnya. Tubuh Tianmen yang tinggi besar, kini tampak bertambah gagah, dengan wajah berlumuran darah menyeramkan.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Tianmen membentak keras. Tubuhnya sempoyongan kemudian roboh di tanah tak bergerak lagi.

Rupanya ketika tadi ia tertangkap dan tertotok oleh si jangkung, kemudian jatuh ke dalam cengkeraman orang itu, seketika hatinya merasa sangat malu bercampur murka. Ditambah lagi dengan tamparan dua kali membuatnya merasa terhina di hadapan banyak orang. Karena rasa gusar sudah memenuhi dada, ia pun rela mengorbankan nyawa sendiri. Ia kemudian mengerahkan segenap tenaga dalam untuk menjebol saluran darah yang tersumbat sehingga dapat bergerak bebas. Kemudian dengan sisa-sisa tenaga ia pun membinasakan si jangkung, dan akhirnya nyawa sendiri ikut melayang karena urat nadinya telah terputus akibat pengerahan tenaga dalam yang dipaksakan tadi.

“Guru!” serentak murid-murid Tianmen berteriak memanggil dan memburu maju. Namun Tianmen sudah tidak bernapas lagi, jantung pun sudah berhenti. Serentak murid-muridnya hanya dapat menangis sedih di sekeliling jasad pendeta itu.

Di tengah keributan itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Ketua Zuo, kau sengaja mengundang orang macam Burung Hantu Laut Timur untuk menangani Pendeta Tianmen. Caramu ini apa tidak keterlaluan?”

Semua orang berpaling dan melihat yang berbicara itu ternyata seorang kakek buruk rupa yang dikenal bernama He Sanqi. Ia seorang pendekar tua yang sehari-hari berjualan bakmi pangsit di berbagai kota besar, antara lain pernah muncul Kota Hengshan saat Upacara Cuci Tangan Liu Zhengfeng dulu.

Tentang asal usul si jangkung yang dibinasakan Pendeta Tianmen itu tak ada seorang pun yang tahu. Hanya He Sanqi seorang yang mengenalnya sebagai Burung Hantu Laut Timur. Sementara itu para hadirin lainnya tidak ada yang tahu siapa itu Burung Hantu Laut Timur.

Menanggapi tuduhan itu Zuo Lengchan menjawab, “Kata-katamu sungguh aneh dan lucu. Baru hari ini aku bertemu dengan Saudara Ji yang gugur itu, namun mengapa kau mengatakan aku sengaja mengundang dia untuk menghadapi Pendeta Tianmen?”

He Sanqi berkata, “Ketua Zuo mungkin belum lama kenal dengan Si Burung Hantu Laut Timur. Namun kau tentu sudah lama mengenal gurunya yang berjuluk Bintang Maut Halus Polos, bukan?”

Ucapan He Sanqi itu sangat menggemparkan para hadirin yang mendengarnya. Linghu Chong langsung teringat pada saat Yue Lingshan masih kecil dan suka menangis, maka ibunya sering menakut-nakuti dengan berkata, “Sudahlah, jangan menangis! Bintang Maut Halus Polos suka menangkap dan memakan anak kecil yang suka menangis.” Waktu itu Yue Lingshan langsung berhenti menangis, sedangkan Linghu Chong bertanya, “Ibu Guru, siapa itu Bintang Maut Halus Polos?” Ning Zhongze menjawab, “Dia itu seorang yang sangat jahat, suka menculik anak kecil. Wajahnya rata dan halus tanpa memiliki hidung, hanya dua buah lubangnya saja.”

Terkenang pada kejadian di masa lalu itu, tanpa terasa Linghu Chong memandang ke arah Yue Lingshan. Dilihatnya sang adik kecil sedang memandang jauh ke arah puncak-puncak gunung di bawah Puncak Songshan seperti sedang melamun. Wajahnya tampak murung memikirkan sesuatu. Sepertinya ucapan He Sanqi tentang Bintang Maut Halus Polos tadi tidak diperhatikan olehnya, atau mungkin apa yang terjadi di masa lalu pun sudah terlupakan semua.

Melihat itu Linghu Chong menjadi heran. Ia merenung, “Adik Kecil baru saja menikah dengan Adik Lin yang dicintainya itu. Seharusnya ia merasa gembira dan bahagia, tapi entah ada urusan apa yang membuat hatinya murung? Jangan-jangan pasangan pengantin ini baru saja bertengkar?”

Ia kemudian memandang Lin Pingzhi yang berdiri di samping Yue Lingshan. Raut muka lelaki muda itu terlihat sangat aneh. Seperti tertawa, tapi bukan tertawa, seperti marah, tapi juga bukan marah. Kembali Linghu Chong terkejut, “Aneh, sikap macam apa itu? Rasa-rasanya aku seperti pernah melihat raut muka yang demikian ini. Namun, entah di mana aku pernah melihatnya?”

Sementara itu terdengar Zuo Lengchan berkata, “Pendeta Yujizi, pertama-tama aku mengucapkan selamat atas jabatanmu sebagai Ketua Perguruan Taishan yang baru. Mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung seperti yang kuuraikan tadi, entah bagaimana pendapat Pendeta?”

Melihat Zuo Lengchan mengalihkan pembicaraan dan tidak menjawab pertanyaan He Sanqi tadi, maka jelas sudah kalau ia memiliki hubungan baik dengan Bintang Maut Halus Polos, meskipun hal itu tidak diakuinya secara terang-terangan. Tokoh berjuluk Bintang Maut Halus Polos itu telah memiliki nama besar sejak tiga puluh tahun yang lalu, namun hanya sedikit saja yang pernah berjumpa atau bertarung dengannya. Tidak jelas pula ia berasal dari aliran mana. Namun jika melihat sifat dan perbuatan muridnya tadi, maka dapat diperkirakan ia berasal dari golongan hitam.

Dengan mengacungkan pedang pendek di tangannya, Yujizi berseri-seri menjawab, “Mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, kuanggap cara ini sangat bermanfaat bagi kelima perguruan kita dan sama sekali tidak ada jeleknya. Hanya manusia serakah yang mementingkan diri sendiri seperti Tianmen saja yang tidak setuju atas peleburan ini, sedangkan setiap orang yang berpandangan jauh pasti akan setuju. Ketua Zuo, sebagai Ketua Perguruan Taishan, aku menyatakan bahwa perguruan kami dengan suara bulat menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung kita menjadi Perguruan Lima Gunung. Segenap anggota Perguruan Taishan menyatakan taat di bawah kepemimpinanmu demi perkembangan dan kejayaan kita bersama. Apabila ada orang yang hendak merintangi peleburan ini, maka Perguruan Taishan adalah yang pertama-tama akan menghadapinya.”

Menyusul kemudian ratusan orang Taishan ikut bersorak menyatakan setuju. “Perguruan Taishan sepenuhnya mendukung peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Jika ada yang berusaha menentangnya, kami dari Taishan yang pertama-tama akan menghadapinya.” Serentak suara teriakan mereka pun menggelegar berkumandang sampai jauh.

Mendengar teriakan itu Linghu Chong berpikir, “Aneh, kenapa teriakan mereka satu sama lain serupa dan bersamaan? Sepertinya mereka sudah dilatih untuk ini sebelumnya. Apalagi kalau melihat cara bicara Yujizi yang begitu hormat kepada Zuo Lengchan, jelas sebelumnya mereka juga sudah bersekongkol dan yang pasti Yujizi tentu telah banyak menerima kebaikan dari Zuo Lengchan.”

Sementara itu murid-murid Pendeta Tianmen yang sedang berduka atas kematian guru mereka yang mengenaskan memilih diam tak bersuara dengan tatapan penuh kebencian. Mereka hanya bisa mengepalkan tangan, menggertakkan gigi, atau mengutuk dalam hati.

Zuo Lengchan kembali berseru, “Perguruan Hengshan dan Taishan telah menyatakan setuju atas peleburan ini. Sepertinya ini memang menjadi cita-cita banyak orang demi kebahagiaan bersama. Maka itu, Perguruan Songshan kami dengan sendirinya juga mengikuti suara orang banyak dan siap meleburkan diri.”

Dalam hati Linghu Chong mengejek, “Huh, ucapanmu sungguh manis seolah-olah tidak tahu-menahu masalah ini. Kau berpura-pura mengikuti pendapat banyak orang untuk ikut meleburkan diri. Padahal, biang keladi semua ini tidak lain adalah kau sendiri.”

Terdengar Zuo Lengchan melanjutkan, “Di antara kelima perguruan sudah ada tiga yang setuju untuk meleburkan diri. Sekarang tinggal Perguruan Henshan dan Huashan saja yang belum menyampaikan pendapat. Entah bagaimana pendapat kalian? Ketua Perguruan Henshan yang terdahulu, yaitu mendiang Biksuni Dingxian pernah beberapa kali berunding denganku mengenai peleburan ini. Waktu itu Beliau juga sangat setuju, begitu pula Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi juga setuju.”

Tiba-tiba dari tengah rombongan Perguruan Henshan berteriak seorang perempuan bersuara lembut, “Ketua Zuo, ucapanmu ini sangat tidak benar. Sebelum Guru dan kedua Bibi kami wafat, Beliau bertiga justru menentang keras masalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini. Justru Beliau bertiga meninggal dunia secara berturut-turut adalah karena sangat menentang peleburan ini. Namun mengapa kau malah memutarbalikan kenyataan?”

Semua hadirin pun serentak berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata yang berteriak itu seorang gadis cantik berwajah bulat, yang tidak lain adalah Zheng E. Ia termasuk murid Perguruan Henshan dari golongan paling muda sehingga kurang begitu dikenal oleh para hadirin di tempat itu.

Dengan suara lantang Zuo Lengchan menjawab, “Guru kalian mempunyai ilmu silat tinggi dan wawasan luas bagai samudera, pandangannya juga jauh ke depan dan perhitungannya cermat. Beliau adalah tokoh paling hebat dalam Serikat Pedang Lima Gunung kita. Seumur hidup aku sangat kagum kepada Beliau. Namun, sungguh sayang Beliau telah meninggal di Biara Shaolin tempo hari. Andai saja Beliau masih hidup, maka jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung hari ini rasanya tidak perlu diperebutkan lagi. Kita pasti sepakat untuk menyerahkannya kepada Biksuni Dingxian.”

Ketua Perguruan Songshan itu diam sejenak, lalu melanjutkan, “Dahulu sewaktu aku berunding tentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung dengan Biksuni Dingxian bertiga, secara tegas aku juga pernah menyatakan apabila peleburan Serikat Pedang Lima Gunung benar-benar terjadi, maka terhadap jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung sudah pasti akan kuminta Biksuni Dingxian yang memegangnya. Saat itu Biksuni Dingxian dengan rendah hati telah menolak usulanku. Namun setelah aku mendesak Beliau dengan sungguh-sungguh, akhirnya Biksuni Dingxian tidak menolak lagi. Tapi, aih, sungguh patut disayangkan, seorang kesatria wanita yang belum merampungkan darmabakti itu harus mendahului kita semua meninggal dunia di Biara Shaolin. Sungguh kematiannya membuatku sedih dan berduka.”

Sebanyak dua kali ia menyebut nama Biara Shaolin, seolah-olah hendak mengingatkan para hadirin bahwa kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi itu adalah perbuatan pihak Biara Shaolin. Andai saja pembunuhnya bukan orang Shaolin, tetap saja perguruan tersebut harus bertanggung jawab, karena tempat terjadinya peristiwa itu adalah tempat suci yang diagungkan di dunia persilatan namun seorang tokoh besar seperti Biksuni Dingxian bisa mati di sana.

Tiba-tiba terdengar suara serak dan kasar seseorang berteriak, “Ucapan Ketua Zuo kurang tepat. Dahulu Biksuni Dingxian pernah berkata kepadaku, bahwa Beliau justru mendukungmu menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Zuo Lengchan senang mendengarnya. Ia berpaling ke arah datangnya suara dan melihat si pembicara itu ternyata seorang tua berwajah buruk dan aneh. Kepala orang itu kecil lancip, matanya pun kecil seperti tikus. Zuo Lengchan tidak mengenal siapa orang tua aneh itu, namun dari bajunya yang berwarna hitam dapat diketahui kalau ia adalah orang Perguruan Henshan. Di sebelahnya berdiri pula lima orang yang berwajah serupa, serta penampilan mereka juga mirip. Zuo Lengchan rupanya tidak mengenal bahwa keenam orang itu adalah Enam Dewa Lembah Persik.

Meski dalam hati merasa senang, tapi Zuo Lengchan pura-pura bersikap biasa saja. Ia berkata, “Siapakah nama Saudara yang mulia ini? Memang dahulu Biksuni Dingxian pernah menyarankan demikian. Tapi kalau dibandingkan dengan Beliau, mana mungkin diriku ini bisa menyamai?”

Yang baru berbicara tadi adalah Dewa Akar Persik. Dengan berdehem satu kali, ia lalu menjawab, “Aku bernama Dewa Akar Persik, dan kelima orang ini adalah adik-adikku.”

“O, aku sudah lama mengagumi nama besar kalian!” ujar Zuo Lengchan.

“Apa yang menjadikanmu kagum kepada kami?” tanya Dewa Akar Persik. “Kagum terhadap ilmu silat kami atau kagum terhadap kecerdasan kami?”

Zuo Lengchan menggerutu dalam hati, “Sial, ternyata mereka orang-orang dungu yang telah membantai Cheng Buyou.” Mengingat pujian Dewa Akar Persik tadi ia pun menjawab sambil tersenyum, “Baik ilmu silat maupun kecerdasan kalian sudah lama aku kagumi.”

“Ilmu silat kami sebenarnya tidak seberapa,” sela Dewa Dahan Persik. “Bila kami berenam maju sekaligus memang sedikit lebih unggul daripada Ketua Zuo. Tapi kalau satu lawan satu rasanya kami masih kalah jauh.”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Namun kalau bicara soal wawasan, jelas kami jauh lebih cerdas daripada dirimu.”

“Benarkah demikian?” balas Zuo Lengchan sambil mengerutkan kening.

“Sedikit pun tidak salah,” sahut Dewa Bunga Persik. “Begitulah yang pernah dikatakan Biksuni Dingxian dahulu.”

“Ya, dahulu sewaktu Biksuni Dingxian mengobrol dengan Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, seringkali Biksuni Dingxian mengatakan bahwa orang yang paling tepat menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung adalah Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Kau percaya atau tidak atas apa yang dikatakan Biksuni Dingxian itu?”

Zuo Lengchan menjawab, “Itu karena Biksuni Dingxian terlalu memandang tinggi diriku. Namun sebenarnya aku sendiri tidak berani menerimanya,”

“Kau jangan senang dahulu,” kata Dewa Akar Persik. “Masalahnya Biksuni Dingjing berpendapat lain. Beliau mengatakan bahwa Ketua Zuo memang seorang kesatria, dan jika dibandingkan dengan para tokoh persilatan pada umumnya, juga termasuk tokoh pilihan. Akan tetapi, Beliau menganggap kau ini terlalu bernafsu, terlalu mementingkan diri sendiri, berpikiran sempit, dan kurang lapang dada. Apabila kau diangkat menjadi ketua, maka yang paling celaka tentu murid-murid Henshan yang terdiri dari kaum wanita ini.”

“Benar,” sahut Dewa Dahan Persik. “Maka itu Biksuni Dingxian lantas berkata bahwa calon ketua yang bijaksana sebenarnya sudah tersedia, yaitu enam orang kesatria sejati di dunia persilatan. Keenam kesatria ini tidak hanya tinggi dalam ilmu silat, namun juga cerdas dan berwawasan luas. Menurut Beliau, mereka ini sangat cocok untuk diangkat menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.”

“Enam kesatria?” sahut Zuo Lengchan. “Hm, di manakah keenam orang itu?”

“Aha, mereka tidak lain dan tidak bukan adalah kami enam bersaudara ini,” jawab Dewa Bunga Persik.

Maka terdengarlah suara gelak tawa banyak orang bergemuruh begitu mendengar jawaban tersebut. Sebagian besar para hadirin memang tidak mengenal siapa Enam Dewa Lembah Persik. Namun melihat wajah mereka yang aneh dan tingkah laku mereka yang lucu itu, bahkan sekarang mengaku berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi, tentu saja mereka semua merasa geli.

Dewa Ranting Persik ikut menyambung, “Dahulu ketika Biksuni Dingxian menyebut ‘keenam kesatria’, seketika Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi teringat kepada kami, enam bersaudara. Serentak mereka pun bertepuk tangan dan bersorak setuju. Eh, apa yang dikatakan Biksuni Dingyi ketika itu, apakah kau masih ingat, saudaraku?”

“Sudah tentu aku masih ingat,” sahut Dewa Buah Persik. “Di tengah sorak gembira ketiga tokoh itu, Biksuni Dingyi lantas berkata, ‘Kepandaian Enam Dewa Lembah Persik memang masih di bawah Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, juga masih lebih rendah dibanding Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Tapi jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh Serikat Pedang Lima Gunung pada umumnya boleh dikata tiada seorang pun yang mampu menandingi mereka, betul tidak?’ Biksuni Dingjing menjawab, ‘Kalau bicara tentang ilmu silat dan pengetahuan, sebenarnya Adik Dingxian masih di atas Enam Dewa Lembah Persik. Namun sayang, kita ini kaum wanita. Untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung yang memimpin beribu-ribu pahlawan dan kesatria rasanya repot juga. Maka dari itu, memang yang paling tepat adalah kita menyarankan supaya Enam Dewa Lembah Persik saja yang menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.’”

Dewa Daun Persik menambahkan, “Saat itu Biksuni Dingxian mengangguk dan berkata, ‘Apabila Serikat Pedang Lima Gunung benar-benar dilebur sementara Enam Dewa Lembah Persik tidak menjadi ketua, maka sulit rasanya Perguruan Lima Gunung bisa berkembang dan berjaya.”

Linghu Chong semakin geli mendengar ocehan keenam orang aneh itu. Ia paham kalau Enam Dewa Lembah Persik sengaja meledek Zuo Lengchan dan mengacaukan pertemuan ini. Kalau Zuo Lengchan berani mengarang ucapan orang-orang yang sudah mati, maka tiada salahnya kalau Enam Dewa Lembah Persik juga membual dan membuat Zuo Lengchan mati kutu.

Di Puncak Songshan saat itu, selain para murid Perguruan Songshan dan beberapa orang yang sudah bersekongkol dengan Zuo Lengchan, sisanya boleh dikata tidak setuju dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Tokoh-tokoh yang berpandangan jauh seperti Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu khawatir kalau kekuatan Zuo Lengchan akan bertambah besar, maka kelak tentu akan menimbulkan bencana bagi dunia persilatan. Ada pula yang sejak menyaksikan kematian Pendeta Tianmen tadi, timbul perasaan benci dan muak terhadap sikap Zuo Lengchan yang bengis. Sementara Linghu Chong dan murid-murid Perguruan Henshan yakin bahwa Zuo Lengchan adalah pembunuh ketiga biksuni sepuh, sehingga yang mereka inginkan adalah menuntut balas, dan mereka pun menjadi pihak yang paling tegas memusuhi Perguruan Songshan. Maka mendengar ocehan Enam Dewa Lembah Persik itu serentak para hadirin banyak yang tersenyum senang, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak.

Kemudian terdengar suara seorang hadirin berseru, “Enam Dewa Lembah Persik, apa yang diucapkan Biksuni Dingxian bertiga itu, siapa lagi yang mendengarkannya?” Sepertinya yang berbicara ini adalah begundal Zuo Lengchan.

Dewa Akar Persik menjawab, “Berpuluh-puluh murid Perguruan Henshan juga ikut mendengarkan. Betul tidak, Nona Zheng?”

Zheng E menahan geli dan menjawab, “Betul sekali! Ketua Zuo, kau sendiri yang berkata bahwa guruku menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Nah, siapa lagi yang mendengar ucapan Beliau ini? Wahai para kakak dan adik dari Henshan, adakah di antara kalian yang pernah mendengar ucapan demikian itu dari Guru?”

“Tidak, tidak pernah dengar,” jawab berpuluh-puluh murid Perguruan Henshan serentak. Ada pula yang berteriak, “Tentu Ketua Zuo sendiri yang mengarang cerita demikian.” Seorang lagi bahkan menyambung, “Dibandingkan Ketua Zuo, guru kami jelas lebih mendukung Enam Dewa Lembah Persik sebagai ketua. Sebagai murid Beliau mana mungkin kami tidak paham pikiran guru sendiri?”

Di tengah suara gelak tawa orang banyak itu, terdengar Dewa Ranting Persik berseru keras, “Nah, betul tidak kata-kata kami? Kami tidak berdusta, bukan? Justru Biksuni Dingxian kemudian berkata pula, ‘Setelah peleburan lima perguruan kelak, maka yang menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung hanya satu orang saja, padahal Enam Dewa Lembah Persik terdiri dari enam orang. Lantas siapa di antaranya yang harus diangkat?’ Saudaraku, apa kalian ingat apa jawaban Biksuni Dingjing waktu itu?”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Beliau mengatakan … mengatakan … oh ya, katanya, ‘Meskipun kelima perguruan dilebur menjadi satu, tapi kelima gunung yang menjadi tempat kedudukan masing-masing tidak mungkin bisa dikumpulkan menjadi satu. Lagipula Zuo Lengchan bukan malaikat dewata, mana mungkin dia mampu memindahkan kelima gunung menjadi satu? Maka dari itu, Enam Dewa Lembah Persik dapat diminta untuk membagi diri menjadi lima orang untuk masing-masing menduduki kelima pegunungan itu. Sisanya, yang seorang lagi bisa diangkat sebagai pemimpin umum.’”

Dewa Daun Persik menyahut, “Benar sekali! Biksuni Dingyi kemudian menanggapi, ‘Pendapat Kakak memang tepat. Ayah dan ibu Enam Dewa Lembah Persik ternyata berpandangan jauh ke depan dan dapat meramalkan bahwa kelak Zuo Lengchan akan melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Maka, mereka sengaja melahirkan keenam bersaudara itu. Anehnya, kenapa tidak melahirkan lima atau tujuh orang saja, tapi pas enam orang? Sungguh mengagumkan kepandaian ayah-bunda Enam Dewa Lembah Persik itu.’”

Mendengar sampai ini, suara tawa para hadirin terdengar semakin ramai.

Sebenarnya Zuo Lengchan telah mempersiapkan pertemuan ini agar dapat berlangsung secara khidmat dan tertib, sehingga disegani oleh para kesatria yang hadir. Tak disangka tiba-tiba muncul enam manusia dungu yang mengacaukan upacara agung ini. Sungguh gusar hati Zuo Lengchan tak terlukiskan. Namun sebagai tuan rumah terpaksa ia harus bersabar sedapat mungkin, meski di dalam batin ia mengutuk, “Setelah urusan mahapenting ini selesai, maka keenam manusia tolol ini akan kubinasakan. Jika tidak, maka margaku bukan Zuo lagi.”

Pendeta Tianmen mengangkat pedang pendek warisan leluhur.
Pendeta Tianmen ditangkap manusia jangkung.
Enam Dewa Lembah Persik mengoceh.