Bagian 32 - Enam Dewa Lembah Persik

Linghu Chong dan Lu Dayou meninggalkan Tebing Perenungan.

Usai berpikir demikian Linghu Chong pun keluar dari gua dan melanjutkan berlatih. Untuk sekian lama ia menusukkan pedang secara acak ke segala arah. Namun setelah satu jam, tanpa terasa ia memainkan jurus Burung Feng Datang Menyembah, ilmu perguruannya sendiri.

Sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum hambar, pemuda itu menggumam sendiri, “Salah! Ini salah!” Kembali ia memainkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Namun tak lama kemudian ketika melakukan tusukan kembali yang keluar adalah gaya Burung Feng Datang Menyembah.

“Ah, kebiasaan seseorang memang sulit diubah!” gerutu Linghu Chong pada dirinya sendiri. “Aku sudah terlalu hafal jurus pedang Perguruan Huashan sehingga pada saat melatih ilmu Sembilan Pedang Dugu, jurus-jurus tersebut tanpa sengaja terselip di dalamnya. Ini bukan lagi ilmu Pedang Sembilan Dugu.”

Tiba-tiba terlintas pikiran di benaknya, “Tunggu dulu! Kakek Guru Feng mengajarkan kepadaku supaya bermain pedang dengan bebas sesuai kehendak hati tanpa keterikatan. Jadi, apa salahnya kalau kuselingi dengan ilmu pedang Perguruan Huashan? Bahkan, bisa juga ilmu pedang Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan, atau ilmu silat Sekte Iblis? Biarlah aku berlatih sesuai kehendak hati. Jika aku memaksakan diri untuk tidak melibatkan jurus-jurus pedang tersebut, bukankah itu justru membuatku terjebak dalam keterikatan?”

Usai berpikir demikian, Linghu Chong segera mengayunkan pedangnya dan kembali berlatih. Ia mencoba menggabungkan jurus-jurus silat Serikat Pedang Lima Gunung dan diselingi dengan jurus-jurus Sekte Iblis yang terukir di dinding gua belakang. Dalam hati Linghu Chong merasa gembira memainkan jurus-jurus tersebut, namun meskipun sudah belasan kali mencoba tetap saja ia merasa kesulitan menggabungkan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung yang terdiri dari lima perguruan, apalagi ditambah dengan ilmu silat Sekte Iblis. Boleh dikata menggabungkan berbagai ilmu silat dari berbagai aliran adalah suatu hal yang mendekati mustahil.

Linghu Chong pun berhenti berlatih dan berpikir, “Huh, aku tidak mampu menggabungkan jurus-jurus ini, lalu kenapa aku harus memaksa? Memangnya ini wajib?” Berpikir demikian membuat hatinya merasa tenang dan bebas dari gelisah.

Maka untuk selanjutnya Linghu Chong hanya berlatih secara merdeka tanpa peduli lagi ilmu pedang dari perguruan mana yang ia gunakan. Yang penting ia merasa cocok maka ilmu tersebut bisa dipadukan dengan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Hanya saja, jurus yang paling banyak ia selipkan lagi-lagi Burung Feng Datang Menyembah.

Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, “Hei, andai saja Adik Kecil melihat bagaimana aku memainkan jurus Burung Feng ini, entah bagaimana pendapatnya?”

Begitu teringat pada gadis bernama Yue Lingshan itu, Linghu Chong pun tersenyum gembira. Rasa rindunya bangkit kembali setelah beberapa hari ini ia sibuk memeras otak memikirkan berbagai macam gerak perubahan dan variasi ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Namun kemudian terlintas pula dalam benaknya tentang kedekatan Yue Lingshan dengan Lin Pingzhi. “Aku yakin Adik Kecil masih mengajarkan ilmu silat kepada Adik Lin secara diam-diam. Meskipun Guru sudah melarang Adik Kecil, tapi Adik Kecil punya sifat bandel. Apalagi Ibu Guru suka memanjakannya, pasti dia kembali mengajar Adik Lin. Tapi, aih, meskipun mereka tidak lagi belajar bersama, tetap saja mereka bisa bertemu setiap hari dan bertambah akrab.”

Berpikir demikian membuat senyum lembut di bibir Linghu Chong pudar dan berubah menjadi senyum kecut. Wajahnya bahkan berubah menjadi murung, tanpa kesan gembira sama sekali. Perlahan ia pun menyarungkan kembali pedangnya dan menghentikan latihan.

Tiba-tiba terdengar suara Lu Dayou datang memanggil dengan nada khawatir, “Kakak Pertama! Kakak Pertama! Ada berita buruk!”

Linghu Chong terkejut mendengarnya. Dalam hati ia berpikir, “Gawat! Tian Boguang berkata bahwa dirinya belum menyerah dan akan mengusahakan segala cara untuk bisa membawaku turun gunung. Sekarang rupa-rupanya dia menangkap dan menculik Adik Kecil sebagai sandera untuk memaksaku mengikuti ajakannya.”

Dengan cepat ia melesat ke tepi tebing untuk menyambut kedatangan Lu Dayou yang berlari mendaki ke atas sambil menjinjing keranjang makanan.

 “Celaka… celaka ini!” teriak Lu Dayou kemudian.

“Ada apa? Ada apa dengan Adik Kecil?” desak Linghu Chong dengan nada khawatir.

Lu Dayou sudah melompat ke atas tebing dan kemudian menaruh keranjangnya di atas batu besar. “Adik Kecil? Adik Kecil baik-baik saja. Tapi, bisa jadi sebentar lagi kita semua dalam masalah besar. Sungguh celaka!”

Mendengar Yue Lingshan baik-baik saja, perasaan Linghu Chong sedikit lega. Ia pun kembali bertanya, “Apanya yang celaka? Apanya yang menjadi masalah?”

“Guru… Guru dan Ibu Guru sudah pulang,” jawab Lu Dayou dengan nafas terengah-engah.

Linghu Chong berseru, “Huh! Guru dan Ibu Guru sudah pulang kau sebut itu berita buruk? Masalah besar omong kosong!”

“Tidak, tidak, bukan itu. Kau tidak mengerti,” sahut Lu Dayou. “Baru saja Guru dan Ibu Guru pulang, bahkan belum sempat minum, tiba-tiba datang beberapa orang. Mereka orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung seperti kita. Mereka dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan.”

“Kunjungan sesama orang Serikat Pedang Lima Gunung?” tanya Linghu Chong semakin heran. “Apanya yang aneh jika orang-orang Songshan dan yang lain datang menemui Guru?”

“Tidak, tidak… kau belum tahu juga,” jawab Lu Dayou. “Begini, di antara mereka ada tiga orang yang mengaku berasal dari Perguruan Huashan. Mereka memanggil Guru dengan sebutan ‘Kakak’. Tapi anehnya, Guru tidak memanggil ‘Adik’ pada mereka.”

“Mengapa demikian? Seperti apa ketiga orang itu?” Linghu Chong kembali bertanya dengan perasaan terkejut.

“Yang pertama berwajah kekuning-kuningan, dipanggil dengan nama Feng Buping,” jawab Lu Dayou. “Yang kedua berdandan seperti pendeta Tao, sedangkan yang ketiga bertubuh pendek. Aku tidak tahu siapa nama mereka, tapi sepertinya mereka berdua juga memiliki nama ‘Bu’. Aku yakin mereka seangkatan dengan Guru.”

Linghu Chong mengangguk, “Bisa jadi mereka adalah saudara seperguruan Guru yang berkhianat dan dikeluarkan dari Perguruan Huashan.”

“Benar, dugaan Kakak Pertama benar,” sahut Lu Dayou. “Begitu Guru melihat mereka langsung tidak senang. Beliau berkata, ‘Saudara Feng, kalian bertiga sudah tidak memiliki hubungan lagi dengan Perguruan Huashan. Untuk apa kalian datang kemari?’ –  Feng Buping menjawab, ‘Kakak Yue, memangnya Gunung Huashan milikmu? Mengapa Kakak Yue melarang orang lain datang ke sini?’ – Guru mendengus dan berkata, ‘Jika kalian hanya berkunjung ke gunung ini sudah tentu boleh. Tapi Yue Buqun bukan lagi kakak seperguruanmu. Sebutan ‘kakak’ sudah pasti aku tidak berani menerimanya.’ – Feng Buping berkata, ‘Hm, dahulu gurumu telah menggunakan tipu muslihat licik sehingga bisa mengangkangi Perguruan Huashan ini. Kami datang kemari karena merasa memiliki kewajiban untuk menyelesaikan hutang lama. Setelah semuanya beres, jangankan memanggilmu ‘kakak’, memanggil namamu saja aku tidak sudi. Meskipun kau berlutut memohon-mohon kepadaku, aku sudah tidak peduli.’”

“Oh,” ujar Linghu Chong. Hatinya mulai gelisah membayangkan persoalan yang sedang dihadapi sang guru.

Lu Dayou melanjutkan cerita, “Tentu saja kami para murid merasa gusar mendengar ucapan Feng Buping itu. Adik Kecil bahkan memaki-maki karena tidak tahan. Tapi Ibu Guru yang sabar dan lembut melarang Adik Kecil untuk bertindak. Guru sendiri menanggapi dengan tenang. Beliau berkata dengan nada datar, ‘Kau ingin membuat perhitungan denganku? Perhitungan seperti apa yang kau harapkan?’ – Feng Buping menjawab dengan suara keras, ‘Kau menduduki jabatan ketua Perguruan Huashan selama dua puluh tahun lebih. Apa kau masih merasa belum puas? Bukankah sudah saatnya kau menyerahkan jabatanmu kepada orang lain?’ – Guru tersenyum dan menjawab, ‘Oh, rupanya kedatangan kalian bermaksud untuk merebut kedudukanku ini? Sebenarnya tidak perlu repot-repot seperti ini. Asalkan Saudara Feng memenuhi syarat untuk menjabat sebagai ketua perguruan, tentu aku akan menyerahkan kedudukanku ini kepadamu.’ – Feng Buping berkata, ‘Gurumu telah menggunakan tipu muslihat licik untuk merebut jabatan ketua Perguruan Huashan. Sekarang aku sudah melapor kepada Ketua Zuo. Beliau sudah mengabulkan gugatanku dan menyerahkan Panji Pancawarna kepadaku untuk mengambil alih jabatan ketua Perguruan Huashan dari tanganmu.’ Selesai berkata demikian ia pun mengeluarkan sebuah bendera kecil yang tidak lain adalah Panji Pancawarna, bendera lambang kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung.”

Linghu Chong menukas dengan kesal, “Huh, Ketua Serikat sudah bertindak melebihi batas. Ini masalah internal Perguruan Huashan. Kita tidak butuh campur tangan darinya mengenai masalah rumah tangga di sini. Memangnya dia punya wewenang memecat dan mengangkat ketua Perguruan Huashan?”

“Benar,” sahut Lu Dayou. “Ibu Guru juga berkata demikian. Tapi seorang tua bermarga Lu dari Perguruan Songshan berusaha keras membela Feng Buping. Orang itu mempunyai nama lengkap Lu Bai si Tapak Bangau, yang pernah kulihat ikut mendesak Paman Liu saat Upacara Cuci Tangan Baskom Emas dulu. Dia mengatakan bahwa Feng Buping seharusnya yang lebih pantas menjadi ketua Perguruan Huashan, dan dia juga berdebat, adu pendapat melawan Ibu Guru. Selain itu, dua orang dari Perguruan Taishan dan Hengshan juga ikut membela Feng Buping. Ketiga perguruan itu sepertinya bersatu untuk memusuhi Perguruan Huashan kita. Hanya Perguruan Henshan saja yang tidak ikut terlibat. Melihat keadaan seperti itu, aku yakin akan segera terjadi masalah besar, sehingga aku pun berlari kemari untuk memberitahukannya padamu.”

“Kesulitan perguruan menjadi tanggung jawab kita bersama. Para murid wajib membela dengan segenap jiwa dan raga. Selama aku masih bernafas, aku siap kehilangan nyawa demi membela kehormatan Guru,” ujar Linghu Chong. “Adik Keenam, mari kita berangkat!”

Lu Dayou menyahut, “Benar, apabila Guru melihat perjuanganmu, tentu Beliau tidak akan menyalahkanmu karena meninggalkan puncak gunung ini.”

Belum selesai Lu Dayou berkata, tahu-tahu Linghu Chong sudah berlari ke bawah dan berseru, “Aku tidak peduli meskipun nanti dimarahi Guru. Guru seorang budiman yang tidak suka berdebat dengan orang lain. Aku khawatir Guru akan menyerahkan jabatannya begitu saja. Bagiku, ini lebih celaka.”

Lu Dayou pun bergegas mengejar kakak pertamanya. Di tengah perjalanan Linghu Chong mendengar  suara seseorang berteriak keras dari balik tebing depan. “Linghu Chong! Linghu Chong! Di mana kau?”

“Siapa yang memanggil namaku?” balas Linghu Chong.

“Apakah kau Linghu Chong?” seru beberapa orang bersamaan.

“Benar!” jawab Linghu Chong.

Tiba-tiba muncul dua sosok bayangan manusia berkelebat dan menghadang di tengah jalan. Jalan setapak di dekat puncak tersebut sangat sempit dan di salah satu sisinya terbentang jurang yang sangat dalam. Saat kedua orang itu tiba-tiba saja muncul, Linghu Chong sedang berlari sangat kencang. Buru-buru ia menghentikan langkah sehingga nyaris bertabrakan dengan kedua orang itu. Jarak antara dirinya dan kedua orang itu kini hanya satu kaki saja. Ternyata wajah kedua orang itu dihiasi benjolan dan terlihat menyeramkan. Karena sangat terkejut Linghu Chong pun melompat muncur beberapa meter sambil berteriak, “Siapa kalian?”

Namun, kejutan lain muncul pula. Tiba-tiba saja di belakang tubuh Linghu Chong sudah menghadang pula dua orang laki-laki berwajah buruk. Ketika Linghu Chong menoleh, hampir saja hidungnya bersentuhan dengan hidung kedua orang tersebut. Maka, Linghu Chong pun mencoba menghindar ke samping. Lagi-lagi muncul dua orang berwajah menyeramkan menghadang langkah kakinya. Kedua orang itu mendesak tubuh Linghu Chong sampai merapat di dinding tebing, sedangkan mereka berdua berdiri tepat di tepi jurang dalam. Bahkan, mereka terlihat melayang di udara karena hanya satu kaki saja yang menginjak tanah.

Linghu Chong bingung bercampur heran karena tiba-tiba saja dirinya sudah dikepung rapat oleh enam orang aneh sekaligus. Sejenak ia tidak tahu harus berbuat apa. Jantung pun terdengar berdebar kencang. Tak hanya itu, dalam waktu kurang dari sedetik tahu-tahu keenam orang itu sudah maju bersama-sama sehingga tubuh Linghu Chong berada di tengah-tengah mereka dalam jarak beberapa senti saja. Linghu Chong merasakan udara hangat berhembus di sekitar wajah dan tengkuk karena keenam orang aneh itu bernafas bersama-sama. Dalam keadaan terburu-buru Linghu Chong berniat mencabut pedang. Namun baru saja jarinya meraba gagang, keenam orang itu lagi-lagi melangkah maju bersama-sama sehingga tubuh Linghu Chong terhimpit di tengah-tengah. Akibatnya, tubuh Linghu Chong tidak bisa bergerak sedikit pun.

Pada saat itulah terdengar suara Lu Dayou yang baru tiba di tempat itu, “Hei, siapa kalian? Kalian mau apa?”

Linghu Chong sendiri baru kali ini mengalami kejadian aneh seperti itu. Meskipun biasanya sangat cerdik dan banyak akal, namun hari itu ia benar-benar merasa bingung dan gelisah. Keenam orang berwajah aneh itu sekilas mirip monster; bukan hanya karena wajah mereka yang buruk rupa, namun juga karena tingkah laku mereka yang ganjil. Ia pun mencoba mendorong kedua orang di depannya namun mereka berdiri terlalu dekat sehingga sulit baginya untuk mengangkat kedua tangan, apalagi melakukan dorongan. Terlintas dalam benaknya jangan-jangan keenam orang itu adalah pengikut Feng Buping.

Linghu Chong dihadang enam orang aneh.

Keenam orang itu terus menerus mendorong Linghu Chong hingga benar-benar terdesak. Jangankan bergerak, untuk bernafas saja sulit bagi pemuda itu. Bahkan persendian Linghu Chong terdengar sampai berbunyi. Tanpa berani memandang mata kedua orang yang berdiri di depannya, Linghu Chong pun menutup mata rapat-rapat. Sejenak kemudian terdengar salah satu dari mereka berkata, “Linghu Chong, kami akan membawamu menemui Biksuni cilik.”

Mendengar itu Linghu Chong berseru dalam hati, “Oh, tidak! Ternyata mereka satu komplotan dengan Tian Boguang.”

Segera ia pun berteriak, “Hei, lepaskan aku! Kalau tidak kalian lepaskan, aku akan bunuh diri menggunakan pedang. Aku lebih baik mati daripada kalian bawa pergi.”

Baru saja ia berkata demikian tiba-tiba kedua lengannya sudah dipegang oleh masing-masing dua tangan yang berkekuatan besar. Cengkeraman tangan mereka membuat Linghu Chong merasa sangat kesakitan. Dalam keadaan seperti ini ilmu Sembilan Pedang Dugu juga tidak ada gunanya. Yang bisa ia lakukan hanya mengeluh di dalam hati.

Terdengar pula seseorang dari mereka berkata, “Biksuni cilik ingin bertemu denganmu. Kau menurut saja. Jadi anak yang baik ya?”

“Kau tidak boleh bunuh diri. Kalau kau bunuh diri akan kubuat kau mati tidak, hidup pun tidak,” ancam yang lain.

Temannya menyahut, “Jika dia sudah mati bunuh diri, bagaimana caramu membuatnya hidup tidak, mati pun tidak?”

“Aku hanya menakut-nakuti dia supaya tidak bunuh diri,” jawab yang satunya tadi.

“Kalau cuma menakut-nakuti seharusnya jangan biarkan dia mendengar. Sekarang dia sudah tahu, tentu tidak dapat ditakut-takuti lagi,” ujar temannya.

“Aku tetap ingin menakut-nakuti dia, kau mau apa?” sahut yang pertama.

“Aku bilang lebih baik dia dibujuk saja,” kata yang seorang lagi.

“Tidak bisa. Sekali aku menakut-nakuti orang, tetap akan kutakut-takuti dia,” sahut yang satunya bersikeras.

“Tapi aku lebih suka membujuknya,” sahut yang lain. Dan begitulah, orang-orang itu terus saja bertengkar sendiri.

Sambil tetap memejamkan mata, Linghu Chong mendengar pertengkaran mereka. Diam-diam ia berpikir, “Enam orang aneh ini memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi tingkah laku mereka seperti orang bodoh.” Segera ia menemukan akal dan berteriak, “Terserah kalian mau menakut-nakuti atau membujuk aku. Jika kalian tidak melepaskan aku, maka aku akan segera bunuh diri dengan cara menggigit lidah.”

Tapi mendadak secepat kilat kedua pipi Linghu Chong diremas kencang oleh salah satu dari mereka. “Bocah ini sangat bandel. Kalau lidahnya sampai putus, dia nanti tidak bisa bicara. Tentu Biksuni cilik menjadi tidak senang,” demikian sahut orang itu.

“Jika lidahnya putus tentu orangnya akan mati. Mana mungkin cuma tidak bisa bicara?” seorang lainnya bertanya.

“Belum tentu dia langsung mati,” kata yang pertama tadi. “Kalau tidak percaya kau boleh menggigit lidahmu sendiri.”

“Aku percaya kalau lidah putus pasti mati. Maka, aku tidak perlu menggigit lidahku sendiri. Kau yang tidak percaya, maka kau saja yang mencoba.”

“Hei, kenapa harus aku yang mencoba?” sahut orang tadi. “Lebih baik dia saja.”

Kemudian terdengar suara jeritan Lu Dayou, pertanda salah satu orang aneh telah menangkapnya.

Orang itu pun membentak kepada Si Monyet Keenam, “Cepat, gigit lidahmu sampai putus! Aku ingin tahu kau akan mati atau tidak. Lekas gigit!”

“Tidak, tidak, aku tidak mau! Bila lidahku tergigit sampai putus, tentu aku akan mati,” teriak Lu Dayou.

“Nah, apa kataku tadi?” kata si orang aneh di dekatnya. “Bila lidah putus tentu orangnya akan mati. Dia juga mengaku demikian.”

“Dia belum mati. Pendapatmu tidak terbukti,” sahut kawannya.

“Dia belum mati karena belum menggigit lidahnya. Tapi sekali gigit tentu dia akan mati,” ujar yang lain.

Linghu Chong semakin kesal mendengar pertengkaran yang tidak perlu itu. Ia berusaha sekuat tenaga meronta-ronta untuk membebaskan diri namun tenaga kedua orang yang mencengkeram lengannya sangat kuat. Rasa sakit yang ia rasakan seperti tembus ke sumsum tulang. Sejenak kemudian pemuda itu menemukan akal. Mendadak ia menjerit dan pura-pura pingsan.

Melihat itu, keenam orang aneh itu pun berseru terkejut. Bahkan salah satu yang mencengkeram pipi Linghu Chong segera melepaskan pegangannya.

“Celaka! Dia mati ketakutan,” sahut salah seorang.

“Tidak, tidak mungkin. Mana mungkin mati semudah itu?” sahut yang lain.

“Seandainya mati juga bukan karena ketakutan,” sahut yang lain lagi.

“Kalau begitu, karena apa?” tanya yang pertama tadi.

Lu Dayou yang tidak menyadari tipu muslihat sang kakak pertama terkejut mengira Linghu Chong benar-benar mati akibat didesak orang-orang aneh itu. Melihat itu ia pun menjerit dan menangis seketika.

Sementara itu kembali terdengar suara pertengkaran, “Aku yakin dia mati ketakutan.”

“Tidak, dia mati karena cengkeramanmu terlalu keras,” kata yang lain.

“Sebenarnya apa penyebab kematiannya?” tanya yang seorang lagi.

Tiba-tiba Linghu Chong berteriak,” Aku mati bunuh diri dengan cara menutup urat nadiku sendiri.”

Mendengar itu keenam orang aneh tertawa terbahak-bahak dan berkata bersama-sama, “Hahahaha. Ternyata kau belum mati. Kau cuma pura-pura mati.”

Linghu Chong berseru, “Aku tidak pura-pura mati. Aku tadi sudah mati tapi hidup kembali.”

“Apa benar kau bisa menutup urat nadi sendiri?” tanya salah seorang penasaran. “Wah, ini kepandaian yang sulit dipelajari. Kau ajarkan kepadaku saja.”

Yang lain menyahut, “Ilmu Menutup Urat Nadi itu sangat sulit. Bocah ini tentu berdusta.”

Linghu Chong berkata, “Kau bilang aku berdusta? Kalau aku berdusta mengapa tadi aku bisa mati dengan menutup urat nadi sendiri?”

Orang aneh itu menggaruk-garuk kepala dan berkata, “Benar juga. Ini memang agak aneh.”

Linghu Chong semakin memanfaatkan kebodohan mereka berenam itu, “Jika kalian tidak segera melepaskanku, maka aku akan menutup urat nadiku lagi. Kali ini aku akan mati untuk selamanya, tidak akan hidup kembali.”

Kedua orang yang memegangi lengannya segera melepaskan cengkeraman masing-masing. “Tidak boleh! Kau tidak boleh mati. Kalau kau mati urusan menjadi runyam,” seru mereka.

Linghu Chong berkata, “Kalau aku tidak boleh mati, lekas kalian menyingkir. Ada urusan penting yang harus kuselesaikan.”

“Tidak boleh, tidak boleh!” seru dua orang yang berdiri di depannya sambil menggeleng bersamaan. “Kau harus ikut kami menemui si biksuni cilik.”

Sekuat tenaga Linghu Chong melompat dengan maksud melampaui kedua orang tersebut. Namun keduanya ikut melompat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Begitu membentur tubuh mereka, Linghu Chong merasa seperti menabrak tembok.

Dalam keadaan masih melayang di udara Linghu Chong mencoba mencabut pedang dari sarungnya. Namun, baru saja meraba gagang pedang tahu-tahu dua orang aneh yang tadi dibelakangnya dengan cepat mencengkeram bahu pemuda itu, masing-masing kiri dan kanan. Pedang itu baru keluar dari sarungnya sebanyak sepertiga bagian namun sudah berhenti begitu saja, akibat cengkeraman kuat kedua orang aneh yang membuat Linghu Chong merasa seperti ditimpa beban ratusan kilo. Rencana untuk mengerahkan ilmu Pedang Sembilan Dugu gagal begitu saja.

Kedua orang tadi menekan bahu Linghu Chong sampai ke bawah. Jangankan melawan, mencoba berdiri tegak saja pemuda itu merasa kesulitan, apalagi mengeluarkan senjata. Kedua orang aneh yang memegangi bahunya berteriak, “Angkat saja dia!” Maka, kedua orang aneh lainnya serentak mengangkat kedua kaki pemuda itu.

“Hei, apa-apaan kalian ini?” seru Lu Dayou berteriak-teriak.

“Orang ini terlalu banyak bicara. Kita bunuh saja dia!” sahut salah seorang yang kemudian mendekat dan berniat memukul kepala Lu Dayou.

Dengan cepat Linghu Chong mencegah, “Jangan dibunuh! Jangan dibunuh!”

“Baik, aku menurut padamu. Aku tidak membunuhnya, hanya kubuat bisu saja,” sahut orang aneh tadi sambil jarinya menotok ke belakang –ke arah Lu Dayou– tanpa menoleh sedikit pun. Tahu-tahu Si Monyet Keenam sudah kehilangan suaranya. Meskipun ia berteriak namun suaranya sama sekali tidak keluar.

Linghu Chong terperanjat menyaksikan kehebatan orang tadi dalam mengerahkan tenaga dalam dan menotok secara jitu dari jarak jauh tepat mengenai titik bisu Lu Dayou. Tanpa terasa ia bersorak memuji, “Hebat sekali! Ilmu silat yang hebat!”

Orang aneh itu terlihat senang menerima pujian Linghu Chong. Ia pun tertawa dan berkata, “Ini belum seberapa. Aku masih mempunyai banyak kepandaian lain yang lebih hebat. Akan kuperlihatkan kepadamu.”

Biasanya Linghu Chong sangat senang menambah pengalaman. Namun kali ini ia sangat mengkhawatirkan keselamatan sang guru. Maka dengan cepat ia menjawab, “Tidak, aku tidak ingin melihatnya.”

Orang aneh itu tampak tersinggung dan bertanya, “Mengapa tidak ingin melihatnya? Padahal aku justru ingin menunjukkannya.” Usai berkata demikian orang itu pun meloncat ke atas dan tahu-tahu sudah melayang di atas kepala keempat temannya yang mengusung tubuh Linghu Chong. Tubuhnya melayang dalam keadaan mendatar seperti seekor burung walet yang terbang dengan indahnya.

Seumur hidup baru kali ini Linghu Chong menyaksikan ilmu meringankan tubuh sehebat itu. Tanpa terasa ia kembali memuji, “Hebat sekali!”

Orang aneh itu mendarat di atas tanah dengan lembut tanpa menerbangkan debu sedikit pun. Ketika menoleh ke arah Linghu Chong, wajahnya yang lonjong seperti kepala kuda tampak berseri-seri. Ia berkata dengan gembira, “Ini belum seberapa. Masih ada lagi yang lebih hebat.”

Linghu Chong heran melihat orang itu sebenarnya sudah tua. Usianya kira-kira di atas enam puluh tahun, namun kelakuannya seperti anak kecil. Semakin dipuji semakin menjadi-jadi. Kehebatan ilmu silat dan tingkah laku mereka yang polos sungguh bertolak belakang.

Salah satu orang tua aneh memamerkan kesaktian.

Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran di benak Linghu Chong, “Orang-orang ini berilmu tinggi tapi kekanak-kanakan. Guru dan Ibu Guru sedang dikepung orang-orang dari Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Hei, kenapa aku tidak memanfaatkan kesaktian enam orang ini?”

Usai berpikir demikian Linghu Chong berkata, “Kepandaianmu yang hanya sedikit ini tidak ada gunanya dipamerkan di Gunung Huashan sini.”

“Kepandaian sedikit bagaimana?” tanya orang bermuka lonjong itu tidak terima. “Buktinya, kau tidak bisa berkutik ketika kami tangkap?”

“Aku ini hanya kaum keroco di dalam Perguruan Huashan, sudah tentu mudah sekali kalian tangkap,” jawab Linghu Chong. “Sekarang di gunung ini sedang berkumpul para jago silat dari Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan tentu saja Huashan. Mana mungkin kalian berani menghadapi mereka?”

“Kenapa tidak berani?” teriak orang itu. “Di mana mereka?”

Salah satu orang aneh menyahut, “Kita menang taruhan melawan si biksuni cilik, sehingga kita bisa disuruh kemari untuk membawa Linghu Chong ke hadapan si biksuni cilik. Kita tidak disuruh untuk mencari gara-gara dengan Perguruan Songshan dan yang lain. Cukup satu perbuatan untuk satu kemenangan, tidak perlu kemenangan yang lain. Mari kita berangkat saja!”

Mendengar itu Linghu Chong pun berpikir, “Keenam orang aneh ini sudah jelas adalah suruhan Yilin, dan bukan musuh Perguruan Huashan. Sepertinya mereka kalah bertaruh dan sebagai hukuman harus membawaku kepada Yilin. Tapi sungguh lucu, mereka tidak mau mengakui kekalahan dan mengatakan bahwa pihak mereka yang menang taruhan.”

Linghu Chong kemudian tertawa dan berkata. “Pantas saja jago-jago dari Perguruan Songshan mengatakan bahwa mereka memandang rendah terhadap kalian semua, orang-orang aneh, tua bangka berwajah lonjong seperti kuda, berkulit kasap dan keriput. Kalau bertemu pasti kalian semua akan dipitas seperti semut. Tapi sungguh sayang, mereka juga berkata kalian sudah lari terbirit-birit begitu mendengar suara mereka.”

Mendengar itu keenam kakek aneh tersebut langsung berjingkrak marah. Empat orang yang memegangi lengan dan kaki Linghu Chong langsung meletakkan pemuda itu di tanah. Mereka lantas berteriak-teriak, “Di mana orang-orang itu berada? Bawa kami ke sana secepatnya! Lekas!”

“Kami adalah Enam Dewa Lembah Persik. Sudah bosan hidup rupanya orang-orang Songshan itu. Enak saja mau memitas kami seperti semut. Kurang ajar!” lanjut mereka.

Linghu Chong semakin memanas-manasi mereka, “Eh, kalian mengaku sebagai Enam Dewa Lembah Persik, tapi orang-orang Songshan dan kawan-kawannya justru menyebut kalian Enam Setan Lembah Persik, atau bahkan Enam Bocah Lembah Persik. Saranku, sebaiknya kalian menghindari mereka saja. Ilmu silat mereka sangat tinggi. Kalian sudah pasti bukan tandingan mereka. Kenapa kalian tidak segera lari saja sebelum terlambat?”

“Tidak mungkin! Biar sekarang juga kita labrak mereka,” seru si kakek bermuka merah.

Tapi kakek yang bermuka benjol menyela, “Tapi, bila orang-orang Songshan itu berani bermulut besar, pasti mereka juga mempunyai kepandaian luar biasa. Jangan-jangan kita memang bukan tandingan mereka.”

Si muka panjang menyahut, “Adik Keenam memang pengecut. Kita belum berangkat, juga belum bertarung lawan mereka. Bagaimana kau sudah mengaku kalah?”

Si penakut balas bertanya, “Bagaimana kalau ternyata mereka benar-benar bisa memitas kita seperti semut? Bukankah ini sangat buruk? Lalu, kalau kita dipitas sampai mati, bagaimana kita akan melarikan diri?”

“Benar sekali!” seru Linghu Chong dengan perasaan sangat geli. “Jika ingin lari, sebaiknya sekarang saja. Aku takut kalian nanti terlambat sehingga jago-jago dari Songshan itu bisa menemukan kalian.”

Mendengar itu si muka benjol semakin ketakutan. Tubuhnya langsung melesat, dan dalam waktu sekejap sudah menghilang entah ke mana.

Linghu Chong semakin terperanjat melihatnya. Dalam hati ia berpikir, “Luar biasa! Ilmu meringankan tubuh orang itu benar-benar hebat seperti siluman.”

Salah satu orang aneh kembali berkata, “Adik Keenam memang penakut. Biar saja dia lari. Kita berlima yang akan berangkat melabrak orang-orang Perguruan Songshan itu.”

“Ya, benar! Kita berangkat menghajar mereka! Enam Dewa Lembah Persik tak terkalahkan!” seru keempat kawan yang lainnya.

Si aneh pertama tadi menepuk bahu Linghu Chong perlahan sambil berkata, “Cepat kau tunjukkan di mana tempatnya. Bawa kami ke sana! Aku ingin tahu bagaimana orang-orang itu memitas kami seperti semut.”

Linghu Chong menjawab, “Aku tidak keberatan membawa kalian ke sana. Tapi aku, Linghu Chong adalah laki-laki sejati yang pantang menyerah karena dipaksa atau diancam pihak lain. Aku bersedia membawa kalian ke sana karena aku ikut kesal mendengar kesombongan orang-orang Perguruan Songshan yang meremehkan kehebatan kalian. Juga karena aku mengagumi kehebatan ilmu silat kalian sehingga aku rela mengantarkan kalian menemui orang-orang itu, biar dunia persilatan tahu siapa yang omong kosong. Tapi, jika kalian berani memaksa diriku untuk melakukan ini itu dengan mengandalkan jumlah kalian yang benayak, maka Linghu Chong lebih baik mati saja.”

Serentak kelima kakek aneh itu bertepuk tangan dan memuji, “Bagus sekali! Kau memang laki-laki sejati. Kau juga memiliki penglihatan yang tajam sehingga bisa mengenali kehebatan ilmu silat kami.”

Linghu Chong berkata, “Kalau demikian kalian nanti tidak boleh sembarangan bicara di hadapan mereka. Jangan sampai di dunia persilatan ada yang menertawakan Enam Dewa Lembah Persik adalah kumpulan orang bodoh, kekanak-kanakan, yang tidak tahu seluk beluk kehidupan. Maka, kalian harus menurut kepadaku. Dengarkan semua perintahku. Jika tidak, maka kalian bisa membuatku malu dan kita semua akan terlihat bodoh.”

Tidak disangka, ucapan Linghu Chong yang hanya coba-coba ternyata ditanggapi serius oleh kelima orang aneh tersebut. “Benar. Ucapanmu benar. Tidak ada yang boleh merendahkan Enam Dewa Lembah Persik sebagai orang bodoh dan kekanak-kanakan,” kata mereka bersama-sama.

Rupanya ucapan Linghu Chong tadi benar-benar membuat penasaran dan menyinggung perasaan kelima orang aneh tersebut. Semangat mereka bangkit karena sebutan yang mereka anggap memalukan tersebut.

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Baiklah, kalau begitu kalian bisa ikut denganku.” Usai berkata demikian pemuda itu langsung melesat pergi menyusuri jalan setapak. Kelima kakek aneh pun mengikuti sambil membawa tubuh Lu Dayou.

Setelah melewati dua li, rombongan tersebut bertemu si orang aneh penakut yang melarikan diri tadi. Si penakut itu tampak bersembunyi di balik batu cadas besar, sambil sesekali menampakkan wajahnya untuk melihat keadaan.

Linghu Chong pun berseru memanggil untuk membangkitkan keberaniannya, “Hei, kepandaian orang-orang Songshan itu masih selisih jauh darimu. Jangan takut pada mereka! Kita akan pergi beramai-ramai menghajar mereka.”

Si penakut terlihat senang. Ia pun menjawab, “Baik, aku ikut! Tapi... kau tadi bilang ilmuku dengan mereka masih selisih jauh. Maksudmu, aku lebih hebat atau mereka yang lebih hebat?” Ternyata orang itu meskipun bodoh tapi juga sangat hati-hati.

“Tentu saja kau yang lebih unggul,” jawab Linghu Chong dengan tertawa. “Caramu berlari tadi menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhmu. Betapa pun hebatnya mereka tetap tidak akan mampu menyusul dirimu.”

Orang aneh penakut itu terlihat semakin senang. Ia berjalan mendekati Linghu Chong namun masih dengan wajah sedikit ragu. “Tapi kalau mereka bisa mengejarku, bagaimana?” ucapnya.

“Tenang saja! Jika mereka berani macam-macam denganmu, maka... ini!” sahut Linghu Chong sambil mencabut pedang dari sarungnya sampai setengah bagian, kemudian memasukkannya dengan gerakan mantap. “Sekali tebas akan kubunuh mereka.”

“Bagus, bagus!” seru si penakut senang. “Apa yang kau katakan harus kau tepati. Kalau begitu, mari kita pergi!”

Dalam hati Linghu Chong tertawa terbahak-bahak mengamati kelakuan keenam orang tua itu. Mereka berilmu tinggi namun terlihat polos dan sepertinya bukan orang jahat. Tidak ada salahnya kalau menggunakan tenaga mereka sebagai bala bantuan.

Maka pemuda itu pun berkata, “Sudah lama aku mendengar nama besar kalian yang termasyhur. Hari ini bisa bertemu langsung tentu menjadi kehormatan bagiku. Namun kalau boleh aku tahu, siapa saja nama kalian ini?”

Ucapan Linghu Chong terdengar unik dan tidak masuk akal. Namun karena mengandung pujian untuk keenam orang aneh itu, membuat mereka langsung gembira dan tidak mau berpikir panjang. Si muka keriput yang pertama kali bersuara, “Aku yang tertua, namaku Dewa Akar Persik.”

“Aku yang kedua, namaku Dewa Dahan Persik,” sahut yang lain.

“Kalau aku, entah yang nomor tiga atau empat, namaku Dewa Ranting Persik,” sahut salah satu di antara mereka. Ia kemudian menunjuk rekan yang lain sambil berkata, “Dia juga tidak jelas yang ketiga atau keempat. Namanya Dewa Daun Persik.”

Linghu Chong heran dan bertanya, “Mengapa kalian berdua tidak jelas siapa yang nomor tiga, siapa yang nomor empat?”

“Jangankan kami, ayah dan ibu kami juga lupa urutan kami,” sahut Dewa Ranting Persik.

Dewa Daun Persik menukas, “Saat ayah dan ibumu melahirkanmu, jika mereka lupa bahwa mereka pernah melahirkanmu, sebagai anak kecil apa kau tahu bagaimana dirimu ada di dunia?”

Benar juga, benar juga! Untungnya kedua orang tuaku ingat bagaimana mereka melahirkan aku,” ujar Linghu Chong sambil kemudian bergelak tawa.

“Nah, itu dia!” sahut Dewa Daun Persik.

“Jadi, kedua orang tua kalian lupa?” lanjut Linghu Chong.

Dewa Daun Persik berkata, “Sewaktu Ayah dan Ibu melahirkan kami berdua, mereka masih ingat siapa yang lebih tua, siapa yang lebih muda. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian mereka lupa siapa di antara kami yang lebih tua. Itulah sebabnya kami juga tidak mengetahui siapa yang menjadi kakak, siapa yang menjadi adik.” Bicara sampai di sini tangannya lalu menunjuk ke arah Dewa Ranting Persik. “Dia bersikeras meminta aku memanggil ‘kakak ketiga’ kepadanya. Jika tidak, dia akan memukulku. Apa boleh buat? Aku terpaksa menuruti permintaannya.”

Linghu Chong tersenyum menanggapi, “Jadi, kalian ini dua bersaudara kandung?”

“Benar, kami semua adalah enam bersaudara,” sahut Dewa Ranting Persik.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Hm, orang tua mereka bodoh dan pelupa, tidak heran jika memiliki enam anak yang bodoh pula.”

“Lalu, siapa nama kalian berdua?” lanjut Linghu Chong kepada kedua orang aneh selanjutnya.

“Biar aku yang menjawab,” sahut si penakut. “Aku adalah adik keenam, namaku Dewa Buah Persik. Sedangkan kakak kelima ini bernama Dewa Bunga Persik.”

Linghu Chong tertawa geli mendengarnya. Dalam hati ia berkata, “Dewa Bunga Persik berwajah buruk, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bunga persik yang sebenarnya.”

Melihat raut muka Linghu Chong yang tersenyum simpul, Dewa Bunga Persik salah paham dan berkata dengan gembira, “Di antara kami berenam, namaku yang paling bagus dan enak didengar.”

“Benar, namamu memang sangat indah,” sahut Linghu Chong. “Tapi nama-nama yang lain juga bagus. Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, Dewa Buah Persik, andai saja aku punya nama sebagus kalian, tentu aku akan merasa sangat senang.”

Enam Dewa Lembah Persik yang kekanak-kanakan itu bergembira mendengar pujian Linghu Chong. Mereka sama-sama menganggap pemuda itu adalah manusia paling baik di dunia.

“Sekarang mari kita berangkat!” sahut Linghu Chong sambil kemudian menunjuk ke arah Lu Dayou, “tapi sebelumnya, tolong buka totokan pada adikku itu. Ilmu totokan kalian sangat hebat. Jelas-jelas aku tidak akan mampu membukanya dengan tanganku sendiri.”

Mendengar pujian itu, Enam Dewa Lembah Persik pun berlomba-lomba mendatangi Lu Dayou. Yang paling cepat di antara mereka segera membuka totokan pada tubuh pemuda itu tanpa kesulitan.

Jarak antara Tebing Perenungan dengan Gedung Kebajikan sekitar tiga atau empat li. Selain Lu Dayou, ketujuh orang tersebut memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat bagus, sehingga tidak membutuhkan waktu lama, Linghu Chong beserta Enam Dewa Lembah Persik sudah mencapai gedung utama Perguruan Huashan tersebut. Di sana mereka melihat Lao Denuo, Liang Fa, Shi Daizi, Gao Genming, Yue Lingshan, Lin Pingzhi, dan belasan murid lainnya berdiri di luar gedung sambil menintip dengan wajah gelisah. Menyaksikan sang kakak pertama datang, mereka terlihat sedikit lega.
Linghu Chong tiba di Gedung Kebajikan.

(Bersambung)