Bagian 84 - Berduka di Gunung Shaoshi

Wasiat terakhir Biksuni Dingxian.

 “Menurut kabar yang kudengar, memang begitulah adanya,” kata si kakek sambil manggut-manggut. “Ada satu hal lagi yang ingin kukatakan, tapi jangan-jangan sukar untuk dilakukan Pendekar Muda. Namun seorang kesatria harus berani melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain. Perguruan Shaolin memiliki semacam ilmu unggulan bernama Kitab Pengubah Urat. Mungkin Pendekar Muda pernah mendengarnya.”

Linghu Chong menjawab, “Benar. Konon kabarnya ilmu ini adalah puncak dari segala ilmu tenaga dalam di dunia persilatan. Bahkan, para biksu agung angkatan sepuh dalam Perguruan Shaolin juga belum tentu boleh mempelajarinya.”

Orang tua itu melanjutkan, “Hari ini Pendekar Muda memimpin ribuan orang menuju Biara Shaolin. Aku khawatir persoalan ini tidak mudah diselesaikan dan kemungkinan besar akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Tak peduli siapa yang menang siapa yang kalah, tetap saja akan jatuh banyak korban di kedua pihak. Hal ini sesungguhnya merupakan malapetaka bagi dunia persilatan. Walaupun sudah tua bangka dan tidak becus, tapi aku bersedia menjadi penengah kalian. Aku akan memohon pada Ketua Biara Shaolin yang welas asih itu supaya bersedia mengajarkan ilmu dalam Kitab Pengubah Urat kepada Pendekar Muda. Sebaliknya, Pendekar Muda hendaklah memberi penjelasan kepada rombonganmu supaya membubarkan diri sampai di sini saja. Dengan demikian, bencana besar dan pertumpahan darah ini dapat dihindari. Entah bagaimana pendapat Pendekar Muda atas usulku ini?”

“Lalu bagaimana dengan Nona Ren yang masih ditahan di Biara Shaolin itu?” tanya Linghu Chong.

“Nona Ren telah membunuh empat murid Perguruan Shaolin, juga banyak menimbulkan huru-hara di dunia persilatan. Kalau Mahabiksu Fangzheng mengurungnya kukira bukan karena ingin membalas dendam, tapi timbul dari sifatnya yang welas asih demi keselamatan sesama kaum persilatan,” jawab si kakek. “Pendekar Muda memiliki watak bagus dan ilmu silat tinggi, mengapa harus khawatir tidak mendapatkan jodoh yang seimbang dari keluarga baik-baik? Untuk apa kau harus terikat dan tidak mau meninggalkan perempuan siluman dari Sekte Iblis itu sehingga merusak nama baikmu dan menghancurkan masa depanmu?”

Linghu Chong segera bangkit dan menjawab lantang, “Linghu Chong sudah menerima budi baik orang dan sudah pasti akan membalasnya. Mengenai maksud baik Sesepuh, mohon maaf, terpaksa aku tidak bisa menerimanya.”

Si kakek menghela napas, dan berkata lagi, “Orang muda tenggelam oleh kecantikan, terjebak oleh wajah ayu. Rasanya memang sukar menghindarkan diri.”

“Saya mohon diri dulu,” kata Linghu Chong sambil memberi hormat dan membungkukkan tubuh.

“Tunggu dulu!” seru si kakek. “Meski aku jarang berhubungan dengan Perguruan Huashan, tapi sedikit banyak aku yakin Tuan Yue masih memberi muka kepadaku. Jika kau mau menerima nasihatku tadi, aku dan Ketua Biara Shaolin berani memberi jaminan akan membuatmu kembali diterima Perguruan Huashan. Apakah kau percaya kepadaku?”

Mau tidak mau hati Linghu Chong tergerak mendengar tawaran menarik itu. Diterima kembali ke dalam Perguruan Huashan sudah menjadi cita-cita yang paling didambakannya. Kakek ini memiliki ilmu silat sedemikian tinggi, nada bicaranya juga meyakinkan, tentu ia seorang tokoh terkemuka dari Perguruan Wudang. Ditambah lagi dengan janjinya untuk mengajak Mahabiksu Fangzheng memberikan jaminan kepadanya, tentu ini bukanlah main-main. Selama ini Sang Guru senantiasa menjaga hubungan baik dengan sesama kaum aliran lurus, lebih-lebih terhadap Biara Shaolin dan Perguruan Wudang yang merupakan dua perguruan utama dalam dunia persilatan. Kalau dua orang tokoh terkemuka dari kedua perguruan tersebut tampil memberikan jaminan kepadanya, tentu Sang Guru tidak mungkin menolak untuk menerimanya kembali.

Selama ini hubungan Sang Guru dengannya sudah seperti ayah dan anak. Jika dulu gurunya telah menyebarkan surat pengumuman ke segenap penjuru dunia persilatan, itu karena terdorong oleh rasa malu memiliki murid pertama yang bergaul dengan orang-orang aliran sesat. Namun kalau kedua tokoh sepuh dari Biara Shaolin dan Perguruan Wudang sudah turun tangan membantu, tentu Sang Guru akan membatalkan pemecatannya. Apalagi setelah kembali ke Perguruan Huashan, tentu setiap hari ia akan bertemu dengan adik kecilnya yang jelita. Namun bagaimana dengan Yingying yang tetap terkurung di gua belakang Biara Shaolin yang dingin dan sunyi itu?

Berpikir sampai di sini, seketika darah bergolak di rongga dadanya. Ia pun berkata, “Percuma menjadi manusia kalau saya tidak dapat membebaskan Nona Ren dari Biara Shaolin. Tak peduli apakah usaha ini akan berhasil atau tidak, asalkan masih bernapas, saya pasti akan berkunjung ke Gunung Wudang untuk menyaksikan ilmu silat sejati. Saya akan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Sesepuh, serta menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Pendeta Chongxu.”

Kembali si kakek menghela napas, lalu berkata, “Kau tidak mementingkan jiwamu, tidak mementingkan perguruanmu, juga tidak mementingkan nama baik dan masa depanmu. Kau sungguh keras kepala, lebih suka bertindak demi membela seorang perempuan dari aliran sesat. Kelak kalau dia ternyata tidak setia dan berbalik mencelakaimu, apakah kau tidak menyesal?”

“Jiwaku ini pernah diselamatkan Nona Ren. Kalau ternyata aku harus mati karena dia, untuk apa merasa sayang dan menyesal?” jawab Linghu Chong.

“Baiklah, kau boleh pergi,” kata si kakek mengangguk.

Linghu Chong memberi hormat, lalu berputar kembali ke tempat kawan-kawannya. Kepada Lao Touzi dan yang lain ia berkata. “Mari berangkat!”

Dewa Buah Persik berkata, “Tua bangka tadi bertanding pedang denganmu, tapi belum jelas siapa yang menang siapa yang kalah. Kenapa sudah diakhiri begitu saja?”

Dalam pertandingan tadi memang belum ditentukan pihak mana yang menang. Namun begitu Linghu Chong berhasil menembus titik kelemahan ilmu pedang si kakek, orang tua itu merasa tidak perlu lagi melanjutkan pertandingan dan langsung menyerah begitu saja. Namun para penonton tidak mengetahui sebab-musababnya.

Linghu Chong menjawab, “Ilmu pedang sesepuh itu sangat tinggi. Kalau pertandingan tadi diteruskan rasanya aku pun belum tentu bisa mengalahkannya. Maka lebih baik dihentikan saja.”

“Kau ini sungguh bodoh,” ujar Dewa Buah Persik. “Karena belum ditentukan siapa yang kalah, siapa yang menang, maka kalau diteruskan akhirnya kau pasti menang.”

“Haha, belum tentu juga,” sahut Linghu Chong tertawa.

“Kenapa belum tentu?” Dewa Buah Persik bersikeras, “Umur si tua bangka itu jauh lebih tua darimu. Maka tenaganya juga jauh lebih lemah darimu. Jika pertandingan tadi dilanjutkan, lama-lama pasti kau akan berada di atas angin.”

Dalam hati Linghu Chong mengakui kebenaran ucapan Dewa Buah Persik itu. Namun ia tidak menanggapinya karena Dewa Buah Persik memang yang paling muda di antara Enam Dewa Lembah Persik, dan jika ia mengiakan pernyataan itu, maka Dewa Akar Persik yang sulung akan tersinggung.

Dewa Dahan Persik pun menyahut, “Apa kalau usianya lebih tua lantas tenaganya pasti lebih lemah? Berarti bocah umur tiga tahun tenaganya paling kuat?”

Dewa Bunga Persik menukas, “Tidak benar, tidak benar! Kata ‘paling’ tidak tepat digunakan di sini. Bocah umur dua tahun tentunya lebih kuat daripada yang berumur tiga tahun.”

“Bocah berumur satu tahun sedikit lebih kuat daripada yang dua tahun,” balas Dewa Dahan Persik.

“Salah semua! Janin yang masih dalam kandungan tentunya lebih kuat daripada semuanya,” kata Dewa Daun Persik ikut bicara. Dalam sekejap mereka kembali terlibat perdebatan tak berarti.

Rombongan besar itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara dan akhirnya sampai di wilayah Henan. Dari timur dan barat datang pula dua rombongan besar yang bergabung dengan mereka sehingga jumlah pendekar yang bergerak menuju Biara Shaolin itu saat ini sudah lebih dari lima ribu orang.

Sudah tentu semakin besar rombongan semakin sukar pula cara menangani mereka. Kalau soal tempat tidur tidaklah sukar. Tak peduli di tanah pegunungan atau semak belukar mereka dapat merebah dan tidur sesukanya di sembarang tempat. Namun masalah makan dan minum benar-benar merepotkan. Selama beberapa hari ini mereka telah menyapu bersih segala makanan dan minuman di setiap kedai dan rumah makan yang mereka lalui, bahkan tidak sedikit yang porak-poranda diobrak-abrik mereka.

Maklum saja, para pendekar ini kebanyakan adalah kaum aliran sesat yang suka berbuat onar dan bersikap kasar. Begitu mereka makan tidak kenyang, minum tidak puas, kontan amarah pun meledak dan yang bernasib sial adalah kedai-kedai makan yang mereka hancurkan.

Linghu Chong menyadari dan prihatin melihat tingkah laku kawan-kawannya yang kasar dan angkuh sehingga banyak menimbulkan kerugian penduduk di sepanjang jalan tersebut. Tapi ia juga melihat bahwa mereka adalah kaum kesatria yang jujur terbuka dan memiliki rasa setia kawan tinggi. Jika Biara Shaolin bersikeras tidak mau membebaskan Ren Yingying, maka pertempuran sengit pasti sukar dihindari dan apa yang akan terjadi tentu sangat mengerikan.

Selama beberapa hari ini Linghu Chong selalu menunggu-nunggu datangnya berita dari Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi. Ia berharap dengan memandang muka kedua biksuni sepuh itu, Mahabiksu Fangzheng bersedia membebaskan Ren Yingying, sehingga bencana banjir darah dapat dihindari.

Jika dihitung-hitung, tanggal lima belas bulan dua belas hanya tinggal tiga hari lagi, dan jarak menuju Biara Shaolin juga tinggal sekitar seratus kilo saja. Namun sampai sekarang berita yang diharap-harapkan dari kedua biksuni sepuh ternyata tidak juga kunjung datang.

Perjalanan mereka untuk menyerbu Biara Shaolin kali ini dilakukan secara terbuka dan besar-besaran, sehingga beritanya pasti sudah diketahui secara luas di dunia persilatan. Akan tetapi, pihak lawan ternyata tenang-tenang saja tanpa melakukan suatu tindakan, seakan-akan mereka sudah siap siaga dan tidak gentar sedikit pun. Membicarakan hal ini, membuat Linghu Chong, Ji Wushi, Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan beberapa lainnya merasa khawatir.

Malam itu rombongan besar tersebut beristirahat di lapangan terbuka. Di beberapa penjuru ditempatkan kelompok-kelompok kecil yang bertugas meronda demi menjaga kemungkinan pihak musuh secara tiba-tiba melakukan serangan dalam kegelapan. Hawa malam itu sangat dingin, angin bertiup kencang serasa menembus tulang, awan hitam pun menggantung di angkasa seperti akan turun hujan salju. Untuk menghangatkan badan, dinyalakanlah beberapa gundukan api unggun di sekitar tanah lapang tersebut.

Pada dasarnya mereka adalah kaum persilatan yang tidak mengindahkan ketertiban. Maklum, rombongan besar ini adalah gabungan dari berbagai aliran dan perkumpulan yang terjadi secara mendadak dan kebetulan, sehingga di mana mereka berada suasana pun menjadi gaduh. Ada yang menyanyi dan berteriak-teriak mengguncang belantara, ada yang bertengkar, ada yang mengasah senjata, dan ada yang bertanding gulat segala. Sungguh ribut bukan kepalang.

Melihat ulah mereka, Linghu Chong pun berpikir, “Mungkin sebaiknya orang-orang ini tidak perlu ikut pergi ke Biara Shaolin. Kenapa aku tidak berangkat sendiri saja untuk mendahului pergi memohon kepada Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng agar sudi membebaskan Yingying? Jika hal ini bisa terlaksana, bukankah jauh lebih menggembirakan daripada harus menggunakan keributan?”

Berpikir sampai di sini membuat tubuhnya terasa hangat. Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Tunggu dulu, kalau biksu-biksu Shaolin itu ternyata tidak mengabulkan permintaanku, lantas bagaimana? Bisa jadi aku malah ditawan atau mungkin dibunuh pula. Kematianku tidak menjadi masalah, tapi kawan-kawan ini akan kehilangan pimpinan dan pasti terjadi kekacauan. Di samping Yingying tidak berhasil diselamatkan, bisa jadi ribuan kawan-kawan gagah ini binasa pula di Gunung Shaoshi. Hm, apa gunanya aku bertindak menuruti hawa nafsu sesaat tapi justru menyusahkan orang banyak?”

Ia pun bangkit berdiri. Dilihatnya bara api unggun berkobar-kobar dikelilingi oleh berpuluh-puluh orang di setiap gundukan. “Mereka setia kepada Yingying, maka aku juga harus setia kepada mereka,” pikirnya kemudian.

Dua hari berikutnya, sampailah barisan besar itu di luar Biara Shaolin yang terletak di atas Gunung Shaoshi. Jumlah mereka sekarang paling tidak mencapai enam atau tujuh ribu orang karena kembali bergabung sejumlah rombongan dari berbagai daerah. Tokoh-tokoh yang dulu pernah berkumpul di Lembah Lima Tiran, seperti Huang Boliu, Sima Da, Lan Fenghuang, dan lain-lain juga berdatangan. Hadir pula Ketua Shi dari Partai Naga Putih yang membawa serta Sepasang Ikan Terbang Sungai Yangtze. Ternyata banyak juga jago-jago aliran sesat tersebut yang belum dikenal oleh Linghu Chong. Beribu-ribu genderang dibunyikan bertalu-talu secara bersamaan, suaranya sungguh menggetarkan bumi.

Meskipun mereka memukul genderang sudah cukup lama, tapi tidak seorang pun biksu yang terlihat keluar dari biara. Maka, Linghu Chong pun berteriak memberikan perintah, “Hentikan genderang!” Secara berturut-turut perintah itu diteruskan. Suara genderang menjadi makin berkurang dan akhirnya berhenti semuanya.

Linghu Chong menghirup napas, lalu berseru lantang, “Linghu Chong bersama kawan-kawan persilatan datang kemari untuk memuja Sang Buddha, memuja para Boddisatwa, serta memberikan penghormatan kepada Kepala Biara dan para biksu agung Perguruan Shaolin. Mohon untuk diizinkan menghadap.”

Suara Linghu Chong ini dikumandangkan dengan tenaga dalam yang sangat dahsyat, sehingga terdengar sampai beberapa kilo jauhnya. Bila Mahabiksu Fangzheng berada di dalam biara seharusnya ia pun bisa mendengar.

Namun biara agung itu tetap saja sunyi senyap tanpa jawaban sedikit pun. Linghu Chong mengulangi teriakannya sekali lagi dan tetap tiada jawaban apa-apa.

“Mohon bantuan Saudara Zu untuk menyampaikan kartu kunjungan,” kata Linghu Chong.

“Baik!” jawab Zu Qianqiu yang kemudian melangkah pergi dengan membawa kotak berisi kartu nama Linghu Chong beserta para pemuka rombongan, termasuk dirinya. Sampai di depan pintu gerbang, Zu Qianqiu mengetuk pelan beberapa kali dan mendengarkan dengan seksama, namun keadaan tetap sunyi sepi. Tangannya lantas mendorong pintu, ternyata tidak dikunci sehingga terus saja terbuka dengan mudah.

Zu Qianqiu memandang ke dalam biara, ternyata kosong melompong. Ia tidak berani sembarangan masuk, segera kembali kepada Linghu Chong untuk memberikan laporan.

Meskipun memiliki ilmu silat tinggi, namun pengalaman Linghu Chong masih dangkal, apalagi dalam hal memimpin orang sebanyak ini. Seketika ia menjadi bingung dan termangu-mangu menghadapi keadaan yang sama sekali di luar dugaan itu.

Dewa Akar Persik segera menanggapi, “Biksu-biksu di dalam biara ini sudah lari semua. Ayo kita segera menyerbu ke dalam. Setiap bertemu kepala gundul langsung kita bunuh saja.”

“Kau bilang biksu-biksu itu sudah lari semua, lalu mana ada kepala gundul yang bisa kau bunuh?” tanya Dewa Dahan Persik.

“Biksuni juga berkepala gundul, bukan?” sahut Dewa Akar Persik.

“Di biara ini hanya ada kaum biksu. Mana ada biksuni?” tukas Dewa Bunga Persik.

Dewa Akar Persik mengamati sekitar lalu menunjuk ke arah seorang pendekar, “Orang itu bukan biksu, juga bukan biksuni, tapi kepalanya gundul.”

“Mengapa kau ingin membunuhnya?” sahut Dewa Dahan Persik.

Ji Wushi si Burung Hantu Malam segera berkata, “Mari kita melihat-lihat ke dalam.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. “Mohon bantuan Saudara Ji, Saudara Lao, Saudara Zu, dan Ketua Huang untuk menemaniku masuk ke dalam. Tolong yang lain sampaikan perintah agar mengawasi anak buah masing-masing. Tanpa perintahku siapa pun dilarang bertindak gegabah, juga tidak boleh berbuat kasar terhadap para biksu Biara Shaolin. Apa pun yang berada di Gunung Shaoshi ini tidak boleh diganggu, termasuk mencabut rumput atau mematahkan ranting pohon.”

“Apakah mencabut sehelai rumput saja tidak boleh?” tanya Dewa Ranting Persik.

Linghu Chong tidak menghiraukannya. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Ren Yingying dan dengan langkah lebar bergegas menuju ke dalam biara, diikuti keempat kawan yang diajaknya tadi.

Sesudah memasuki pintu gerbang dan menaiki undak-undakan batu, serta melewati aula depan, sampailah mereka di Ruang Agung Pahlawan Besar. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah patung Buddha Rulai yang tampak agung, sementara pada lantai dan meja terlihat dipenuhi lapisan debu.

“Apakah semua biksu di sini benar-benar telah lari terbirit-birit?” kata Zu Qianqiu.

“Mohon Saudara Zu jangan menggunakan kata ‘lari terbirit-birit’,” ujar Linghu Chong.

Mereka berhenti dan berlutut memberikan penghormatan di hadapan patung Buddha Rulai, kemudian menahan napas untuk mendengarkan dengan seksama. Namun yang terdengar hanya suara riuh ramai di luar sana. Di dalam kuil keadaan benar-benar sunyi senyap tiada terdengar suara sedikit pun.

Ji Wushi berbisik, “Kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya perangkap yang dipasang para biksu Biara Shaolin ini.”

Linghu Chong tidak menjawab, hanya berpikir, “Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng adalah kaum biarawan yang saleh dan welas asih, mana mungkin memasang perangkap licik seperti itu? Tapi orang-orang yang kupimpin menyerbu kemari adalah kaum aliran sesat yang banyak berbuat onar. Kalau para biksu Shaolin memilih adu siasat dan bukan adu kekuatan untuk mengatasi kami dan terpaksa memasang perangkap rasanya juga bukan sesuatu yang aneh.”

Menyadari bahwa Biara Shaolin yang sebesar itu ternyata sekarang kosong tanpa penghuni, membuat Linghu Chong merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Ia membayangkan entah apa yang terjadi pada Ren Yingying saat ini.

Dengan penuh waspada mereka berlima terus mengamati dan memeriksa ke segala penjuru. Perlahan-lahan mereka melangkah ke dalam, menyusuri pekarangan tengah, hingga sampai di ruangan belakang. Tiba-tiba Linghu Chong dan Ji Wushi berhenti dan memberi isyarat. Serentak Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan Huang Boliu juga ikut berhenti. Tangan Linghu Chong lalu menunjuk ke sebuah kamar di sebelah barat laut, lalu mendekatinya dengan perlahan-lahan. Lao Touzi dan yang lain ikut berjalan ke sana. Sayup-sayup terdengarlah suara rintihan yang amat lirih.

Lebih dulu Linghu Chong menyiapkan pedang di tangan. Ia lalu mendorong pintu kamar itu dan segera bergeser ke samping untuk berjaga-jaga terhadap senjata rahasia yang mungkin dilemparkan pihak lawan dari dalam. Terdengar suara pintu yang terbuka itu berderit, kemudian dari dalam kamar kembali terdengar suara orang merintih perlahan.

Linghu Chong melongok ke dalam dan seketika ia terkejut menyaksikan dua orang biksuni sedang terkapar di lantai. Salah seorang di antaranya menghadap ke luar dan dikenalinya sebagai Biksuni Dingyi. Wajah biksuni sepuh itu tampak pucat pasi, dengan kedua mata terpejam rapat. Sepertinya ia sudah tidak bernyawa lagi.

Linghu Chong bergegas masuk ke dalam kamar dengan langkah lebar untuk memeriksa keadaan kedua biksuni itu.

“Ketua Linghu, hati-hati!” seru Zu Qianqiu sambil kemudian ikut masuk pula bersama yang lain.

Linghu Chong mengitari tubuh Biksuni Dingyi yang sudah tidak bergerak sama sekali. Ketika memeriksa biksuni yang satu lagi ternyata ia adalah Biksuni Dingxian, Ketua Perguruan Henshan yang merintih perlahan tadi.

Linghu Chong segera membungkuk dan berseru, “Biksuni! Biksuni!”

Biksuni Dingxian membuka mata perlahan-lahan. Mula-mula pandangannya tampak kosong, kemudian berubah memancarkan seberkas sorot gembira. Bibirnya tampak bergerak-gerak, namun tidak mampu berkata sesuatu.

Linghu Chong kembali berseru, “Bibi Biksuni, ini aku, Linghu Chong!”

Bibir Biksuni Dingxian kembali bergerak-gerak, dan kali ini mengeluarkan suara lirih, “Kau … kau … kau ….”

Linghu Chong melihat keadaannya begitu parah. Untuk sesaat ia tidak tahu harus berbuat apa.

Biksuni Dingxian menghirup napas panjang, lalu berkata, “Kau … kau berjanjilah kepadaku ….”

Linghu Chong buru-buru menjawab, “Baik. Apa pun perintah Biksuni, meskipun tubuhku hancur lebur juga pasti kulaksanakan.” Ia berpikir jangan-jangan sebentar lagi Biksuni Dingxian akan meninggal, dan ini terjadi demi dirinya. Linghu Chong pun merasa sangat berduka dan air matanya pun bercucuran di pipi.

Biksuni Dingxian menegas, “Kau … kau sanggup berjanji … padaku?”

Linghu Chong menjawab, “Aku pasti menyanggupinya.”

Biksuni Dingxian memandang dengan sorot mata berkilat-kilat senang. Ia lalu berkata, “Aku mohon … kau berjanji untuk … menjadi Ketua Perguruan Henshan.” Sampai di sini napasnya tersengal-sengal dan semakin lemah.

Linghu Chong terkejut setengah mati. Ia pun menjawab, “Aku seorang laki-laki, tidak mungkin bisa menjadi Ketua Perguruan Henshan yang mulia. Tapi aku siap membantu segala kesulitan yang dihadapi Perguruan Henshan dengan segenap pikiran dan tenaga. Masalah Perguruan Henshan akan menjadi masalahku juga.”

“Tidak … tidak ….” tukas Biksuni Dingxian. “Aku mengangkat … Linghu Chong menjadi … Ketua Perguruan Henshan. Kalau kau … kau tidak menyanggupinya, aku tidak akan … menutup mata dengan tenang.”

Zu Qianqiu dan tiga lainnya berdiri di belakang Linghu Chong menyaksikan itu semua. Mereka hanya bisa saling pandang dan sama-sama merasa wasiat Biksuni Dingxian ini terdengar sangat aneh.

Pikiran Linghu Chong berkecamuk. Ia merasa permintaan ini sangat berat, namun melihat nyawa Biksuni Dingxian sudah di ujung tenggorokan membuat semangatnya pun bergolak. Maka ia lantas menjawab, “Baiklah, aku bersedia menyanggupi permintaan Bibi Biksuni.”

Samar-samar bibir Biksuni Dingxian tampak tersenyum tipis. Ia lalu berkata lirih, “Terima kasih banyak, Pendekar … Linghu. Mulai saat ini … aku akan merepotkanmu untuk … mengurus ratusan … murid Perguruan Henshan.”

Perasaan Linghu Chong sangat berduka sekaligus marah. Ia bertanya, “Mengapa tanpa sebab yang jelas para biksu Biara Shaolin telah memperlakukan Biksuni berdua secara keji ….”

Belum selesai ucapannya, ia melihat Biksuni Dingxian memiringkan kepalanya ke samping, kemudian menutup kedua matanya. Linghu Chong pun memeriksa pernapasannya, ternyata sudah putus. Ia lalu memegang tangan Biksuni Dingyi, ternyata sudah dingin seperti es, jelas kalau sudah meninggal agak lama. Hatinya bertambah sedih dan tak kuasa menahan rasa gusar.

Lao Touzi berkata, “Ketua Linghu, kita harus membalaskan sakit hati kedua biksuni. Keledai-keledai gundul dari Shaolin telah lari semua. Mari kita bakar saja biara ini supaya rata dengan tanah!”

Linghu Chong menjawab dengan perasaan gusar bercampur duka sambil menepuk paha, “Benar! Bakar saja biara ini menjadi arang!”

Ji Wushi buru-buru mencegah, “Jangan! Kita belum menemukan Gadis Suci. Jika Beliau masih terkurung di dalam biara ini, bisa-bisa ikut terbakar hidup-hidup.”

Seketika Linghu Chong sadar atas kekeliruannya. Keringat dingin mengalir di punggungnya dan ia pun berkata, “Benar juga, aku memang bodoh dan gegabah. Kalau saja tidak diperingatkan Saudara Ji, tentu urusan ini bisa runyam. Lantas bagaimana baiknya ini?”

Ji Wushi menjawab, “Lingkungan Biara Shaolin ini sangat luas, terdiri dari ratusan gedung dan ruangan. Kalau hanya kita berlima saja yang mencari tentu akan sulit untuk menelusurinya secara merata. Maka itu, mohon Ketua memberi perintah untuk memanggil dua ratus kawan yang lain supaya ikut masuk ke sini membantu menggeledah.”

“Baiklah. Mohon bantuan Saudara Ji untuk menyampaikan perintahku ini,” ujar Linghu Chong.

“Baik!” jawab Ji Wushi yang kemudian melangkah keluar.

Zu Qianqiu sempat berseru kepadanya, “Jangan sekali-kali membiarkan Enam Dewa Lembah Persik ikut masuk kemari!”

Sementara itu Linghu Chong telah mengangkat jenazah kedua biksuni dan menempatkannya di atas dipan samadi. Ia berlutut dan bersujud beberapa kali sambil berdoa dalam hati, “Saya akan berusaha sekuat tenaga membalaskan sakit hati kedua Biksuni dan menjaga Perguruan Henshan dengan sebaik-baiknya. Beristirahatlah dengan tenang di alam sana.”

Ia lalu bangkit dan memeriksa jenazah kedua biksuni itu, namun tidak menemukan suatu luka apa pun pada tubuh mereka. Noda darah juga tidak terdapat sama sekali. Namun ia tidak berani membuka pakaian mereka berdua dan hanya menyimpulkan bahwa keduanya pasti terkena pukulan dahsyat dari seorang jago Biara Shaolin dan meninggal akibat menderita luka dalam yang sangat parah.

Sementara itu terdengar suara ramai derap kaki dua ratus orang yang telah dibawa Ji Wushi masuk ke dalam biara untuk ikut mencari keberadaan Ren Yingying. Tiba-tiba terdengar pula suara seseorang berseru di luar, “Linghu Chong melarang kita masuk, tapi kita tetap akan masuk. Huh, coba lihat dia bisa apa?” Orang itu tidak lain adalah Dewa Ranting Persik. Linghu Chong hanya mengerutkan dahi, pura-pura tidak mendengar.

Terdengar kemudian Dewa Dahan Persik berkata, “Kita semua datang ke Biara Shaolin yang termasyhur di seluruh dunia ini, bukan sekadar untuk jalan-jalan. Kalau kita tidak boleh masuk ke dalam biara, bukankah ini sia-sia?”

Dewa Daun Persik menyahut, “Dan kalau sudah masuk biara tapi tidak bertemu biksu-biksu Shaolin, tentu namanya sangat sia-sia.”

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Dan kalau sudah bertemu biksu-biksu Shaolin, tapi tidak mencoba ilmu silat mereka yang tersohor di kolong langit, tentu jauh lebih sia-sia lagi.”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Tapi kita tidak bertemu seorang biksu sama sekali di biara ini. Sungguh aneh.”

Dewa Buah Persik menjawab, “Tidak ada biksu seorang pun di sini, bagiku tidak terlalu aneh. Coba lihat, di sini ada dua orang biksuni! Ini jauh lebih aneh.”

Dewa Akar Persik ikut bicara, “Ada dua orang biksuni di dalam biara ini rasanya tidak terlalu aneh. Yang jauh lebih aneh, kedua biksuni itu ternyata sudah tua dan sudah mati pula.”

Begitulah, keenam orang dungu itu terus saja mengoceh tidak jelas, sambil bergerak menuju ke ruang belakang.

Linghu Chong bersama Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Huang Boliu berjalan keluar dari kamar tersebut. Tidak lupa pintu kamar pun mereka rapatkan. Terlihat para pendekar berkeliaran menggeledah segenap sudut biara. Tidak lama kemudian susul-menyusul orang-orang itu datang melapor bahwa mereka tidak menemukan seorang biksu pun, bahkan tukang kebun, tukang kayu, tukang masak, dan sebagainya juga tidak ditemukan. Lalu ada pula yang menyampaikan laporan bahwa segala isi dalam biara, baik itu kitab-kitab maupun perabotan juga sudah tidak ada semua. Bahkan, mangkuk dan piring juga tidak tersisa sama sekali. Menyusul kemudian ada yang melaporkan, bahwa di dalam biara juga tidak terdapat sebutir beras sama sekali, atau setetes minyak pun tidak ada. Semuanya kosong melompong, sampai-sampai sayuran di kebun juga sudah dibabat habis.

Setiap kali mendapat laporan, perasaan Linghu Chong semakin bertambah cemas dan putus asa. Ia merenung, “Sedemikian rapi para biksu Shaolin mengatur tempat ini, sampai-sampai sayuran juga tidak mereka sisakan barang setangkai pun. Jelas mereka telah lama mengetahui bahwa kami akan menyerbu besar-besaran. Tentunya Yingying juga telah dipindahkan ke tempat lain. Dunia seluas ini, ke mana lagi aku harus mencarinya?”

Hampir dua jam kemudian, kedua ratus orang itu telah memeriksa semua penjuru biara, bahkan alas patung dan papan nama juga mereka periksa. Namun tetap saja tidak ditemukan suatu benda apa pun. Di antara mereka ada juga yang merasa senang dan berkata bangga, “Perguruan Shaolin nomor satu di dunia persilatan. Tapi begitu mendengar kedatangan kita, mereka lantas lari terbirit-birit dan menghilang tak tentu arah. Ini benar-benar peristiwa yang belum pernah terjadi selama ratusan tahun sejarah mereka.”

Yang lain menanggapi, “Kekuatan kita begini hebat, sampai-sampai Perguruan Shaolin pun ketakutan. Sejak hari ini orang-orang persilatan mana pun tidak berani lagi memandang rendah kepada kita.”

Namun akhirnya ada juga yang berkata, “Kita memang berhasil membuat para biksu Shaolin lari tunggang langgang. Tapi, bagaimana dengan nasib Gadis Suci? Di mana Beliau sekarang? Ingat, kedatangan kita ini kemari adalah untuk menjemput Gadis Suci, bukan untuk menakut-nakuti para biksu.”

Mendengar ucapan terakhir ini, semuanya menjadi lesu. Serentak mereka memandang ke arah Linghu Chong untuk menantikan perintah selanjutnya.

Linghu Chong berkata, “Hal ini benar-benar di luar dugaan kita. Siapa pun tidak akan menyangka kalau para biksu Shaolin di sini ternyata rela meninggalkan biara. Sesungguhnya aku pun tidak mempersiapkan rencana cadangan untuk mengatasi masalah seperti ini. Pikiran satu orang terbatas, pikiran dua orang lebih panjang. Maka itu, aku mengharapkan usulan dan pendapat dari kalian semua.”

Huang Boliu berkata, “Menurut pendapat saya, menemukan Gadis Suci memang sulit, tetapi menemukan biksu-biksu Shaolin lebih mudah. Jumlah mereka lebih dari seribu orang. Biksu-biksu sebanyak itu sudah pasti tidak dapat bersembunyi selamanya dan suatu saat tentu akan muncul di muka umum. Asalkan kita dapat menemukan biksu-biksu itu tentu kita dapat pula memaksa mereka mengatakan di mana Gadis Suci berada.”

Zu Qianqiu menyahut, “Pendapat Ketua Huang benar. Lebih baik kita duduki saja Biara Shaolin ini. Mereka tidak mungkin rela jika biara yang sudah bersejarah ratusan tahun ini jatuh ke tangan kita. Nanti apabila biksu-biksu itu kembali ke sini untuk merebut biara dari tangan kita, maka kita bisa menyergap mereka dan menanyai di mana keberadaan Gadis Suci.”

“Menanyai di mana keberadaan Gadis Suci kepada mereka?” ujar seseorang. “Mana mungkin mereka mau mengatakannya kepada kita?”

Lao Touzi membela saudaranya, “Menanyai mereka itu hanya istilah halus saja. Perkataan yang lebih kasar adalah kita paksa mereka untuk mengaku. Maka, bila kita bertemu biksu Shaolin, kita harus menangkapnya hidup-hidup dan jangan sampai membunuhnya. Jika kita dapat menangkap delapan atau sepuluh orang biksu, apakah mereka masih berani untuk tetap bungkam?”

“Tapi kalau biksu-biksu itu benar-benar keras kepala dan tidak mau mengaku, bagaimana?” tanya seorang lagi.

Lao Touzi menjawab, “Mudah saja. Kita bisa minta tolong Ketua Lan untuk melepaskan beberapa ekor naga sakti dan makhluk hebat lainnya di atas tubuh mereka. Coba lihat, mereka bisa tahan atau tidak?”

Semua orang mengangguk setuju. Mereka paham istilah “naga sakti dan makhluk hebat lainnya” adalah ular berbisa dan serangga-serangga beracun piaraan Lan Fenghuang, Ketua Partai Lima Dewi. Begitu makhluk-makhluk berbisa itu menggerogoti daging lawan, rasanya jauh lebih menyakitkan daripada disiksa menggunakan alat hukuman jenis apa pun juga.

Lan Fenghuang yang juga ada di situ hanya tersenyum, lalu berkata, “Biksu-biksu Perguruan Shaolin sudah banyak membaca kitab dan menjalani latihan berat. Mungkin saja naga sakti piaraanku tidak mempan di kulit mereka.”

Dalam hati Linghu Chong menganggap tidak perlu melakukan penyiksaan keji seperti itu. Asalkan dapat menangkap biksu Shaolin sampai seratus orang sebagai tawanan, rasanya bisa ditukar dengan kebebasan satu orang. Tentu mereka akan bersedia melepaskan Ren Yingying.

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang dengan suara nyaring, “Wah, sudah hampir seharian tidak makan dan minum, aku jadi lapar setengah mati. Celakanya, di dalam biara ini tidak ada biksu seekor pun. Kalau saja ada, hm, aku akan menangkap seekor biksu yang gemuk dan putih untuk dipanggang, pasti enak rasanya.” Suara tersebut berasal dari seorang laki-laki berbadan tinggi besar, yaitu si Beruang Putih, salah satu dari Sepasang Beruang Gurun Utara.

Setiap orang mengetahui kalau pasangan tersebut gemar makan daging manusia. Meskipun ucapan tadi terdengar menjijikkan, tapi mereka dapat memaklumi karena masing-masing juga merasa lapar akibat tidak bertemu makanan atau minuman selama seharian ini.

Huang Boliu berkata, “Rupanya pihak Shaolin menggunakan siasat ‘memperkuat segalanya, membersihkan semuanya’. Mereka sengaja membuat kita tidak betah tinggal lama-lama di sini.”

Zu Qianqiu membetulkan ucapannya, “Maksudmu, ‘memperkuat pertahanan, membersihkan semuanya’?”

Huang Boliu menjawab, “Benar. Mereka sengaja membuat kita kelaparan sehingga turun gunung dan meninggalkan biara ini dengan sukarela. Huh, mereka pikir di dunia ini memangnya ada persoalan semudah itu?”

Linghu Chong bertanya, “Apakah Ketua Huang memiliki suatu rencana?”

Huang Boliu menjawab, “Kita bisa mengirim saudara-saudara kita ke bawah untuk mencari berita ke mana perginya biksu-biksu Shaolin ini. Di samping itu kita juga mengirim orang untuk berbelanja bahan makanan. Kawan-kawan yang lain tetap berjaga di sini untuk menunggu … menunggu kelinci masuk jaring yang dilemparkan kawanan biksu itu. Bulus bercangkang lunak atau … apalah.” Tokoh yang satu ini memang suka menggunakan peribahasa namun sering tidak tepat.

“Usulan bagus,” ujar Linghu Chong. “Sekarang juga silakan Ketua Huang menyampaikan perintah untuk mengirim lima ratus saudara kita yang cerdik dan berpengalaman. Sebarkan ke seluruh dunia persilatan untuk mencari jejak biksu-biksu Shaolin itu. Mengenai persediaan bahan makanan dan lainnya juga kuserahkan kepada Ketua Huang untuk mengaturnya.”

“Baik!” jawab Huang Boliu yang kemudian hendak melangkah ke luar.

“Semoga Ketua Huang bisa bekerja dengan cepat. Kalau tidak, Beruang Putih dan Beruang Hitam ini akan semakin lapar dan melahap apa saja yang mereka lihat,” kata Lan Fenghuang dengan tertawa.

“Jangan khawatir, si tua ini tahu apa yang harus dilakukan,” sahut Huang Boliu sambil tertawa pula. “Meskipun perut Sepasang Beruang Gurun Utara sudah keroncongan juga tidak mungkin berani menggigit ujung jari Ketua Lan.”

Zu Qianqiu berkata pada yang lain, “Semua biksu sudah meninggalkan biara luas ini. Mohon Saudara-saudara sudi membuang sedikit keringat lagi, untuk melanjutkan pemeriksaan ke segala sudut. Coba lihat, mungkin masih tersembunyi hal-hal aneh yang bisa menjadi petunjuk berguna.”

Kedua ratus orang itu serentak mengiakan dan beramai-ramai pergi ke segala penjuru biara.

Linghu Chong duduk bersimpuh di atas sebuah bantal samadi di tengah Ruang Agung Pahlawan Besar yang megah itu. Dipandanginya dengan seksama patung Buddha Rulai yang berwajah agung tapi menampilkan wajah penuh welas asih. Ia pun berpikir, “Mahabiksu Fangzheng seorang biarawan saleh. Ia mengetahui kedatangan kami secara besar-besaran, tapi lebih suka mengorbankan nama baik Perguruan Shaolin dan tidak mau menyambut kami dengan pertempuran. Dengan begini, bencana pertumpahan darah besar-besaran dapat dihindari. Akan tetapi, mengapa mereka membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi? Kemungkinan besar yang membunuh kedua biksuni sepuh itu adalah biksu jahat dari Shaolin, tanpa sepengetahuan Mahabiksu Fangzheng. Benar, aku harus tetap menghormati maksud baik Mahabiksu Fangzheng dan tidak mengerahkan orang banyak untuk pergi menangkap biksu-biksu Shaolin dan menjadikan mereka tawanan. Tapi bagaimanapun juga aku harus tetap berusaha –entah bagaimana caranya– untuk bisa menyelamatkan Yingying.”

Tiba-tiba angin kencang bertiup masuk melalui pintu sehingga debu dupa ikut bertebaran. Linghu Chong melangkah ke depan menuju pintu masuk ruangan. Dilihatnya awan tebal hitam pekat menggantung di langit, angin utara pun bertiup kencang. Ia merasa sebentar lagi tentu akan turun hujan salju lebat.

Benar juga, di udara sudah mulai terlihat bunga salju turun mengambang. Ia berpikir, “Hawa begini dingin, apakah Yingying memakai baju tebal atau tidak? Perguruan Shaolin mempunyai banyak jago silat berkekuatan besar. Pengaturan mereka juga sangat rapi. Sebaliknya, rombonganku hanyalah kumpulan orang yang mengandalkan keberanian saja. Untuk bisa membebaskan Yingying rasanya teramat sukar.”

Dengan meletakkan kedua tangan di belakang, Linghu Chong berjalan mondar-madir di serambi depan. Butiran salju yang bertebaran di atas kepala, muka, dan tangannya dengan cepat langsung mencair. Ia kembali merenung, “Sebelum menghembuskan napas terakhir, luka Biksuni Dingxian sangat parah, tapi sepertinya masih dapat berpikir jernih. Sedikit pun Beliau tidak terlihat kurang sadar. Tapi mengapa Beliau memintaku menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan? Padahal murid-murid perguruan ini sejak dulu hanya terdiri dari kaum wanita tanpa seorang pun laki-laki. Setiap ketua yang menjabat juga dari kaum biksuni. Seorang laki-laki seperti aku mana boleh menjadi Ketua Perguruan Henshan? Kalau hal ini sampai tersiar, bisa-bisa dunia persilatan akan menertawaiku. Tapi, ah, aku sudah menyanggupinya, mana boleh ingkar janji? Asalkan aku berbuat menurut aturan yang lurus, peduli apa dengan tertawa orang lain?” Berpikir sampai di sini, seketika semangat kepahlawanan pun menggelora di dadanya.

Tiba-tiba dari arah lereng gunung sayup-sayup terdengar suara orang menjerit-jerit. Tidak lama kemudian orang-orang yang berada di luar biara ikut berteriak-teriak ribut. Linghu Chong terkesiap dan segera berlari keluar. Dilihatnya Huang Boliu berlari menuju biara dengan badan berlumuran darah. Di pundaknya tampak menancap sebatang anak panah. Ia berteriak, “Ketua … Ketua, musuh telah menutup jalan di kaki gunung. Kali ini kita … kita benar-benar masuk jaring sendiri.”

“Apakah mereka para biksu Shaolin?” tanya Linghu Chong gelisah.

“Bukan biksu. Mereka dari kaum pendekar biasa,” jawab Huang Boliu. “Neneknya, belum ada enam kilo kami turun sudah disambut dengan hujan panah. Ada belasan saudara kita yang tewas, dan yang terluka mencapai lebih dari tujuh puluh orang. Mereka akan membasmi kita semua.”

Si kakek tua merayu Linghu Chong supaya menghentikan penyerbuan.

Rombongan besar sampai di Biara Shaolin
 
Huang Boliu terkena panah.

(Bersambung)