Bagian 128 - Menyusun Siasat

Linghu Chong memberi hormat sebelum menerima pelajaran.

Mahabiksu Fangzheng melanjutkan, “Ketua Linghu, sebagai pengikut Sang Buddha kami wajib memiliki watak welas asih. Sesungguhnya kami juga bukan orang yang suka main kekerasan, dan kami pun berharap urusan ini dapat diselesaikan dengan damai. Namun, kalau kita mengalah selangkah, maka Ketua Ren akan maju satu langkah, sehingga persoalan ini tidak akan menemukan titik terang. Ketua Ren sudah berniat membasmi kita secara habis-habisan, dan itu pasti akan dilakukannya, kecuali kalau kita mau menyembah kepadanya dengan menyanjung puji, ‘Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan, Amitabha!’”

Linghu Chong merasa geli mendengar ucapan Fangzheng yang bercampur aduk antara semboyan kaum Sekte Iblis dengan pujian Agama Buddha itu. Ia lantas menjawab dengan tertawa, “Benar sekali. Hanya mendengar sebutan ‘Ketua Suci merajai dunia persilatan’ saja sudah membuat sekujur tubuh ini merinding. Saya kuat minum arak tiga puluh mangkuk tanpa berhenti. Tapi, begitu mendengar sanjung puji tersebut seketika saya menjadi mabuk kepayang dan mata berkunang-kunang.”

“Sanjung puji anggota Sekte Iblis memang berlebihan dan sangat muluk-muluk,” ujar Fangzheng. Setelah terdiam sejenak ia lantas melanjutkan, “Diam-diam Sesepuh Feng telah melihat bagaimana Ketua Linghu menahan sakit luar biasa di bagian perut saat di Puncak Menyongsong Matahari kala itu. Beliau lantas menyuruh Enam Dewa Lembah Persik menyampaikan semacam rumus ilmu tenaga dalam mahatinggi kepada saya, untuk kemudian disampaikan kepada Ketua Linghu. Sungguh aneh, Enam Dewa Lembah Persik yang biasanya bertele-tele, ternyata bisa menyampaikan rumus tenaga dalam tersebut dengan sangat baik. Saya tidak bisa membayangkan entah bagaimana caranya Sesepuh Feng memaksa mereka menghafalkan itu semua. Maka itu, mohon Ketua Linghu masuk ke dalam agar saya dapat menyampaikan rumus ilmu tenaga dalam tersebut.”

Dengan penuh rasa hormat Linghu Chong lantas membawa Mahabiksu Fangzheng ke dalam sebuah kamar yang sunyi. Kini hanya mereka berdua yang berada dalam ruangan tersebut. Linghu Chong sendiri merasa seperti sedang berhadapan dengan Feng Qingyang secara langsung. Maka, dengan berlutut ia pun menyembah sambil berkata, “Budi baik Kakek Guru Feng kepada saya sungguh tak terukur besarnya.”

Fangzheng tidak menolak penghormatan itu. Ia menjawab, “Sesepuh Feng menaruh harapan besar terhadap Ketua Linghu. Maka, hendaknya kau dapat melatih ilmu tenaga dalam ini dengan baik sesuai rumus yang saya sampaikan ini.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. “Saya berjanji akan mempelajari ilmu ini dengan sungguh-sungguh.”

Fangzheng pun mulai menguraikan kalimat-kalimat rumus ilmu tenaga dalam tersebut kepada Linghu Chong. Ternyata rumusan ini tidak terlalu panjang, yaitu tidak sampai melewati seribu kata. Setelah selesai menguraikannya, Fangzheng meminta Linghu Chong menghafalkannya. Ia pun mengulangi uraiannya itu sampai lima kali, sehingga Linghu Chong benar-benar hafal di luar kepala.

Mahabiksu Fangzheng lantas berkata, “Ketua Linghu telah menghafal semuanya dengan baik. Meskipun rumus ini tidak panjang, namun memiliki makna yang teramat luas dan mendalam, lain daripada yang lain. Kita adalah sahabat, maka itu jangan tersinggung jika saya berkata bahwa ilmu pedang Ketua Linghu memang sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu tenaga dalam sepertinya kurang sempurna.”

“Saya hanya paham sedikit saja mengenai ilmu tenaga dalam,” jawab Linghu Chong. “Saya tidak tersinggung, justru ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari Kepala Biara.”

Fangzheng berkata. “Meskipun intisari ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng ini agak berbeda dengan ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin, namun semua ilmu silat di dunia ini pada dasarnya berbeda-beda tapi tetap satu juga. Maka itu, apabila Ketua Linghu memang tidak keberatan, saya akan memberikan penjelasan seperlunya mengenai intisari ajaran Sesepuh Feng ini sesuai dengan pemahaman saya.”

Linghu Chong menyadari kalau Mahabiksu Fangzheng adalah tokoh papan atas di dunia persilatan. Mendapat petunjuk darinya sama saja seperti mendapatkan pelajaran langsung dari Feng Qingyang. Dalam hal ini Linghu Chong pun berpikir, “Kakek Guru Feng meminta Mahabiksu Fangzheng mewakilinya, tentu karena biksu agung ini memang memiliki tenaga dalam yang mahatinggi.” Berpikir demikian membuat dirinya tanpa ragu-ragu lantas menerima dengan baik tawaran Fangzheng itu seraya berkata, “Saya akan mendengarkan dengan penuh khidmat segala petunjuk dari Kepala Biara.”

“Ah, jangan terlalu mengolok-olok seperti itu,” ujar Fangzheng. Ia lantas menyampaikan penjelasan terhadap rumus ilmu tenaga dalam itu secara terperinci, kalimat demi kalimat. Ia juga memberikan tambahan pelajaran mengenai ilmu pernapasan dan ilmu memindahkan tenaga, serta tata cara samadi yang baik.

Semula Linghu Chong hanya menghafalkan rumus ilmu tenaga dalam tadi di luar kepala secara mati tanpa memahami maksudnya. Namun, setelah mendapat penjelasan secara terperinci dari Fangzheng barulah ia menyadari bahwa setiap kalimat dalam rumus tersebut mengandung bermacam-macam filsafat yang sangat luas. Ia sendiri seorang pemuda cerdas dan berbakat. Namun, intisari ilmu tenaga dalam itu ternyata cukup membuatnya memeras otak selama setengah hari. Untunglah Mahabiksu Fangzheng dengan sabar senantiasa mendampingi dan memberikan penjelasan secara terperinci sehingga membuat pemuda itu mendapatkan suatu tingkatan ilmu silat yang belum pernah ia capai sebelumnya.

Sambil menghela napas panjang Linghu Chong berkata, “Kepala Biara, selama bertahun-tahun saya malang melintang di dunia persilatan dengan gegabah, karena tidak menyadari kebodohan diri sendiri. Saya merasa sungguh malu saat memikirkan hal itu. Meskipun hidup saya tidak akan lama lagi karena serangan Ketua Ren, namun saya tetap bersyukur karena mendapatkan pelajaran berharga dari Kakek Guru Feng melalui Kepala Biara ini. Pepatah mengatakan: lebih baik menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari daripada hidup selamanya dalam kegelapan.”

“Menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari tentu tidak akan menyesal,” sahut Fangzheng membetulkan.

“Benar sekali, maksud saya adalah seperti itu,” ujar Linghu Chong. “Saya meniru pepatah tadi dari mendiang Guru. Mendengarkan penjelasan dari Kepala Biara hari ini benar-benar membuat saya bagaikan seorang buta melihat cahaya. Meskipun tidak ada waktu lagi untuk melatihnya, saya tetap bersyukur.”

Fangzheng berkata, “Bermacam-macam perguruan aliran lurus telah berkumpul di kaki Gunung Henshan ini. Apabila Sekte Matahari dan Bulan benar-benar menyerbu kemari, maka kita beramai-ramai menghadapinya dengan segenap tenaga. Rasanya belum tentu kita akan kalah. Maka dari itu, janganlah Ketua Linghu patah semangat. Ilmu tenaga dalam ini akan sempurna dalam beberapa tahun. Namun, Ketua Linghu harap melatihnya dengan tekun secara teratur sehari demi sehari. Sedikit demi sedikit tentu membawa kemajuan bagi Ketua Linghu. Dalam waktu singkat ini kita tidak mengalami suatu urusan, maka itu silakan Ketua Linghu mulai berlatih saja. Selagi saya datang mengusik tempatmu yang terhormat ini, marilah kita saling bertukar pikiran.”

“Saya sungguh berterima kasih atas budi kebaikan Kepala Biara,” kata Linghu Chong.

“Saat ini mungkin Saudara Chongxu juga sudah datang,” ujar Fangzheng. “Marilah kita keluar untuk melihatnya!”

“Hah, ternyata Pendeta Chongxu juga datang secara pribadi?” sahut Linghu Chong sambil lekas-lekas berdiri. Keduanya lantas keluar kembali ke ruang utama tadi. Ternyata di ruang tersebut sudah menyala beberapa api lilin, jelas hari sudah mulai gelap. Tak disangka, sudah enam jam lamanya mereka berdua berada di dalam kamar samadi untuk mempelajari ilmu tenaga dalam tersebut.

Tampak di ruangan utama itu duduk tiga orang pendeta Agama Tao sedang berbicara dengan Biksu Fangsheng. Salah seorang di antaranya tidak lain adalah Pendeta Chongxu sendiri.

Melihat Fangzheng dan Linghu Chong keluar dari kamar samadi, dengan cepat Chongxu dan kedua rekannya bangkit memberi hormat.

Linghu Chong langsung berlutut membalas hormat sambil berkata, “Jauh-jauh Pendeta Chongxu sudi datang membantu kesulitan yang dihadapi Perguruan Henshan. Saya dan segenap murid-murid Henshan sungguh sangat berterima kasih dan entah bagaimana bisa membalas budi baik Pendeta ini?”

Lekas-lekas Chongxu membangunkan Linghu Chong dan berkata sambil tertawa, “Sudah cukup lama kami berada di sini. Begitu mengetahui Kepala Biara sedang mengajarkan ilmu tenaga dalam kepada Adik Linghu di kamar samadi, maka kami tidak berani mengganggu sama sekali. Ilmu tenaga dalam mahasakti yang Adik Linghu pelajari itu tentu bisa untuk membuat Ren Woxing terkejut setengah mati.”

“Ilmu tenaga dalam ini terlalu luas dan mendalam. Dalam waktu singkat mana mungkin saya mampu memahaminya dengan baik?” jawab Linghu Chong. “Saya dengar para tokoh terkemuka dari Perguruan Emei, Kunlun, dan Kongtong juga hadir. Saya hendak turun gunung untuk menyambut mereka. Para sesepuh itu perlu diundang kemari untuk berunding bagaimana cara untuk menghadapi musuh. Bagaimana pendapat Pendeta atas hal ini?”

Chongxu menjawab, “Mereka memang sudah datang, tapi sengaja bersembunyi di tempat rahasia agar tidak diketahui oleh mata-mata si iblis tua bermarga Ren itu. Kalau mereka beramai-ramai diundang kemari, mungkin keberadaan mereka akan diketahui musuh. Sewaktu datang ke sini pun kami bertiga juga dalam penyamaran. Bahkan, murid-murid Wudang juga tidak tahu tentang keberangkatan kami ini.”

Linghu Chong langsung teringat pada pertemuan pertamanya dengan Pendeta Chongxu. Waktu itu sang pendeta menyamar sebagai kakek tua penunggang keledai, yang didampingi dua orang petani membawa sayur dan kayu bakar. Padahal, ketiganya adalah ahli pedang papan atas dalam Perguruan Wudang namun menyamar sebagai rakyat jelata. Kali ini Linghu Chong mengamati dengan seksama kedua pendeta yang mengiringi Chongxu. Ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang dulu menyamar sebagai pendamping ketua Perguruan Wudang itu pula.

Segera Linghu Chong memberi hormat dan menyapa, “Pendeta berdua sungguh mahir dalam menyamar. Kalau saja Pendeta Chongxu tidak menyinggungnya, tentu saya tetap tidak mengenali Pendeta berdua.”

Dahulu kedua pendeta itu menyamar sebagai petani gunung. Yang lebih tua membawa kayu bakar, sedangkan yang lebih muda membawa sayur-mayur. Saat itu mereka terlihat kumal dan sakit-sakitan, namun kini tampak sehat dan bersih. Hanya sinar mata mereka saja yang masih dikenali oleh Linghu Chong.

Chongxu lantas memperkenalkan kedua pendeta pendampingnya itu, “Yang lebih tua ini adalah adik seperguruanku, namanya Adik Qingxu, sedangkan yang lebih muda ini adalah muridnya, bernama Keponakan Chenggao.”

Linghu Chong dan ketiga pendeta Wudang tersebut lantas bergelak tawa teringat kejadian di jalanan Hubei waktu itu. “Ilmu pedang Ketua Linghu sungguh mahasakti!” ujar Qingxu dan Chenggao memuji.

Chongxu berkata, “Ilmu pedang adik dan keponakanku ini biasa-biasa saja, tapi mereka pernah merantau selama belasan tahun di benua barat. Di sana mereka berhasil memperoleh kepandaian istimewa. Yang satu mahir memasang pesawat rahasia, dan yang satunya ahli dalam membuat bahan peledak.”

“Wah, ini benar-benar kepandaian yang jarang ada di dunia,” ujar Linghu Chong.

“Adik Linghu,” kata Chongxu kemudian. “Aku sengaja membawa mereka kemari sebenarnya untuk maksud dan tujuan tertentu. Aku berharap mereka berdua bisa membantu kita mengerjakan suatu tugas penting.”

Linghu Chong tidak paham dan menegas, “Mengerjakan suatu urusan penting?”

“Benar. Secara lancang aku telah membawa sesuatu kemari. Silakan Adik Linghu memeriksanya,” ujar Chongxu sambil tangannya merogoh ke dalam saku baju.

Dengan penuh tanda tanya Linghu Chong berdebar-debar ingin mengetahui barang apa sebenarnya yang akan dikeluarkan dari saku baju pendeta tua itu. Namun, Chongxu lantas berkata dengan tertawa, “Barang yang aku bawa sebenarnya bukan benda kecil sehingga tidak muat di dalam saku bajuku. Nah, Adik Qingxu, silakan kau suruh mereka membawanya masuk kemari.”

Berbeda dengan Mahabiksu Fangzheng yang tunduk pada adat dan menjaga tata krama, Pendeta Chongxu ini lebih terbuka dan sesekali bercanda. Begitu menerima perintah, Qingxu segera berjalan keluar. Tidak lama kemudia ia masuk kembali dengan membawa empat orang yang berdandan sebagai petani desa. Keempatnya berkaki telanjang dan masing-masing membawa satu pikulan sayur.

Qingxu lantas memperkenalkan Linghu Chong dan Mahabiksu Fangzheng pada keempat orang itu. Mereka pun membungkuk menyampaikan salam hormat. Sebaliknya, Linghu Chong dan Fangzheng juga membalas hormat. Linghu Chong sadar keempat orang ini pasti jago-jago pilihan dari Perguruan Wudang, sehingga dengan rendah hati ia membungkuk pula di hadapan mereka.

“Keluarkan dan rakitlah!” ujar Qingxu memberi perintah.

Keempat orang itu segera membongkar sayuran dalam pikulan mereka. Di bawah tumpukan sayu-mayur tersebut rupanya ada beberapa bungkusan. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata berisi benda-benda kecil sebangsa paku, mur, baut, pegas, dan potongan-potongan kayu. Mereka berempat lantas bekerja dengan sangat cekatan. Benda-benda kecil tersebut lantas dirakit dan dihubungkan satu sama lain. Dalam waktu singkat terciptalah sebuah kursi megah dari benda-benda kecil itu.

Linghu Chong terheran-heran dan berpikir, “Untuk apa kursi megah ini dirakit di sini? Di dalamnya terpasang bermacam-macam pesawat pegas, apakah mungkin digunakan untuk berlatih tenaga dalam?”

Selesai kursi selesai dirakit, keempat orang itu lantas mengeluarkan dari dalam bungkusan yang lain sebuah bantal dan sarung kursi, untuk kemudian dipasang pada sandaran kursi megah tersebut. Seketika suasana ruang biara itu menjadi gilang-gemilang oleh cahaya yang menyilaukan mata. Ternyata sarung kursi ini terbuat dari sutra kuning yang halus dan bersulamkan gambar sembilan ekor naga emas. Gambar sembilan naga yang melingkar-lingkar itu tampak sedang menyongsong terbitnya bola matahari berwarna merah membara di garis samudera. Di kedua tepi sarung kursi tersulam pula tulisan kaligrafi yang bernada sanjung puji semboyan Sekte Matahari dan Bulan, antara lain: “Kejayaan untuk Ketua Suci, sang pelindung rakyat jelata” juga “Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan”.

Gambar sembilan naga emas itu tersulam dengan bagus sekali seolah benar-benar hidup. Tulisan-tulisan di tepinya juga sangat indah, bahkan dihiasi pula dengan bermacam-macam mutiara dan batu permata berwarna-warni. Ruangan biara yang biasanya sunyi senyap dan sangat sederhana itu, kini tiba-tiba cemerlang oleh kilauan cahaya benda-benda berharga tersebut.

Linghu Chong bersorak memuji. Teringat olehnya bahwa Qingxu pernah mempelajari ilmu tentang pesawat rahasia di benua barat, seketika ia pun paham maksud dan kegunaan dari kursi indah tersebut. “Ini adalah kursi perangkap,” ujarnya mencoba menebak. “Begitu melihat kursi kebesaran ini, Ketua Ren pasti langsung tertarik dan segera mendudukinya. Maka, sekali pesawat pegas dalam kursi ini bekerja, tentu jiwanya akan melayang seketika.”

Perlahan Chongxu menjawab, “Tapi Ren Woxing sangat pintar dan cerdik. Tindakannya juga sangat cepat. Sedikit saja dia merasa tempat duduknya kurang enak pasti akan curiga dan segera melompat bangun. Maka itu, sukar juga untuk membinasakannya. Yang penting di kaki kursi ini terpasang pula sumbu obat yang terhubung dengan bahan peledak berkekuatan besar di suatu tempat rahasia.”

Mendengar itu, serentak raut muka Linghu Chong dan para biksu Shaolin berubah. Fangzheng lantas menyebut, “Amitabha!”

Chongxu berkata, “Keistimewaan pesawat rahasia di dalam kursi ini adalah tidak seketika langsung bekerja. Apabila diduduki begitu saja juga tidak akan terjadi apa-apa. Namun, setelah diduduki kira-kira seminuman teh barulah pesawat itu bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Ren Woxing seorang yang sangat cerdik dan mudah curiga. Jika mendadak ia melihat ada sebuah kursi bagus di sini tentu tidak akan langsung duduk di atasnya. Pasti dia menyuruh anak buahnya untuk mencoba lebih dahulu. Jika memang tidak terjadi apa-apa, barulah ia berani duduk. Di atas kursi ini tersulam gambar sembilan naga menyongsong matahari, serta tertulis semboyan-semboyan yang memuja ketua, tentu anak buahnya itu tidak berani duduk lama-lama. Sementara itu, Ren Woxing begitu duduk tentu akan merasa nyaman dan enggan pula meninggalkan kursi kebesaran ini.”

“Pemikiran Pendeta sungguh sangat rapih,” puji Linghu Chong.

“Selain itu Adik Qingxu juga telah mengatur perangkap lain,” kata Chongxu. “Kalau Ren Woxing ternyata curiga dan tidak mau duduk di atas kursi ini, tentu ia akan menyuruh anak buahnya untuk membongkar paksa. Nah, begitu salah satu baut pada kursi ini dilepas, seketika sebuah pesawat rahasia lain akan langsung bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Kali ini Keponakan Chenggao membawa sepuluh ribu kilo bahan peledak. Jika benar-benar diledakkan, jangan-jangan pemandangan indah di pegunungan kalian yang permai ini terpaksa ikut hancur pula.”

Linghu Chong menjadi ngeri membayangkan hal itu. Ia berpikir, “Bahan peledak sebanyak sepuluh ribu kilo, sekali meledak tentu segalanya akan hancur lebur. Yang jelas Ketua Ren pasti akan binasa. Akan tetapi, Yingying dan Kakak Xiang juga sulit terhindar dari maut.”

Melihat raut muka Linghu Chong agak pucat, Chongxu paham dan berkata, “Sekte Iblis telah menyatakan dengan tegas hendak membasmi Perguruan Henshan habis-habisan. Setelah itu mereka tentu akan menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang kami. Korban yang lebih besar pasti akan jatuh dan bencana tentu sukar dihindari. Kalau sekarang kita menggunakan siasat ini untuk menghadapi Ren Woxing, meskipun agak keji, namun tujuan kita adalah untuk membinasakan iblis sesat itu demi menyelamatkan jiwa puluhan ribu kaum persilatan pada umumnya.”

“Amitabha!” ujar Mahabiksu Fangzheng bersabda. “Memang begitulah jalan hidup welas asih. Terpaksa mengorbankan satu orang demi menolong ratusan ribu lainnya.” Kesembilan biksu pengiringnya ikut menguncupkan tangan dan berkata, “Amitabha, Kepala Biara benar.”

Linghu Chong merasa ucapan Fangzheng cukup masuk akal. Sekte Matahari dan Bulan sudah menyatakan hendak membunuh habis segenap penghuni Gunung Henshan, termasuk ayam dan burung sekalipun. Jika sekarang pihak golongan putih menggunakan perangkap keji meledakkan musuh, hal ini rasanya masih pantas dan tidak seorang pun dapat menyangkalnya. Hanya saja, kalau Ren Woxing harus dibunuh, dalam hati Linghu Chong merasa enggan. Apalagi mengingat Xiang Wentian harus tewas pula, baginya lebih baik ia yang mati lebih dulu. Justru hidup-mati Ren Yingying yang tidak menjadi beban pikirannya, karena mereka berdua telah bertekad untuk sehidup semati selamanya.

Begitu melihat sorot mata semua orang memandang kepadanya, ia pun berpikir sejenak, kemudian berkata, “Urusan sudah seperti ini. Sekte Matahari dan Bulan telah mendesak kita hingga menghadapi jalan buntu. Saya merasa siasat yang diatur Pendeta Chongxu ini adalah cara yang paling sedikit menjatuhkan korban.”

“Ucapan Adik Linghu memang tidak salah,” kata Chongxu. “Jatuh korban sedikit adalah hal yang paling kita harapkan.”

“Saya masih muda dan berpengalaman dangkal. Urusan ini biarlah dipimpin langsung oleh Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Yang pasti saya akan memimpin murid-murid Perguruan Henshan untuk bersama-sama menghadapi musuh.”

“Ah, mana boleh seperti itu?” sahut Chongxu tertawa. “Adik Linghu adalah tuan rumah, sementara Kepala Biara dan aku hanyalah tamu. Mana boleh tamu menggeser tempat tuan rumah?”

“Dalam hal ini saya bukan sengaja merendahkan diri, namun benar-benar memohon kedua sesepuh agar sudi memimpin semuanya,” kata Linghu Chong dengan wajah sungguh-sungguh.

“Jika tekad Ketua Linghu sudah bulat, maka Saudara Pendeta juga tidak perlu segan dan menolak lagi,” ujar Fangzheng. “Biarlah urusan besar ini diputuskan oleh kita bertiga bersama-sama, namun Saudara Pendeta yang akan memimpin perintah pelaksanaannya.”

Setelah mengucapkan kata-kata rendah hati, Chongxu akhirnya menerima usul tersebut. Ia kemudian berkata, “Jalan menuju ke Puncak Henshan ini sudah kita beri penjagaan. Kapan pun pihak Sekte Iblis datang menyerbu, tentu sebelumnya kita akan mendapat kabar. Dulu sewaktu Adik Linghu memimpin banyak orang menyerbu Biara Shaolin, saat itu kami tunduk di bawah perintah Zuo Lengchan yang menggunakan ‘Siasat Kota Kosong’….”

“Waktu itu saya benar-benar ceroboh, mohon dimaafkan,” sela Linghu Chong menukas.

Siasat Kota Kosong adalah taktik perang melegenda ciptaan Zhuge Liang pada zaman tiga negara, lebih dari seribu tahun yang lalu. Siasat ini lantas ditiru oleh Zuo Lengchan untuk menjebak Linghu Chong dan kawan-kawan saat menyerbu Biara Shaolin demi membebaskan Ren Yingying kala itu.

“Sungguh tidak disangka, yang dulu musuh kini menjadi kawan,” kata Chongxu dengan tertawa. “Kalau saat ini kita memakai Siasat Kota Kosong lagi tentu tidak akan berhasil. Apabila Gunung Henshan tiba-tiba sepi sudah pasti menimbulkan kecurigaan Ren Woxing. Maka menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Perguruan Henshan bertahan di atas gunung ini. Pihak Shaolin dan Wudang masing-masing akan mengirim beberapa orang untuk ikut membantu. Masalahnya kalau Shaolin dan Wudang tidak memberi bantuan, hal ini pasti akan menimbulkan kecurigaan Ren Woxing pula.”

“Benar sekali,” ujar Fangzheng dan Linghu Chong bersama-sama.

Chongxu melanjutkan, “Kawan-kawan dari Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong bisa bersembunyi di dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Begitu pasukan Sekte Iblis datang menyerbu, orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan melawannya dengan sekuat tenaga. Cara bertempur kita juga harus sungguh-sungguh, serta melibatkan jago-jago papan atas dari perguruan masing-masing. Semakin banyak kita membunuh musuh akan semakin baik, sementara dalam pihak kita sedapat mungkin jangan sampai jatuh korban.”

Fangzheng menghela napas dan berkata, “Jago-jago di pihak Sekte Matahari dan Bulan tidak terhitung banyaknya. Kedatangan mereka kali ini tentu telah direncanakan dengan sangat matang. Dalam pertempuran nanti tentu tidak bisa dihindari akan banyak jatuh korban di kedua pihak.”

Chongxu menjelaskan, “Kita bisa mencari jurang yang terjal dan memasang tali panjang di sana. Apabila dalam pertempuran nanti pihak kita mulai terdesak, maka satu per satu dari kita segera turun ke bawah menggunakan tali tersebut sehingga musuh tidak dapat mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar tentu Ren Woxing akan bergembira dan lupa daratan. Begitu melihat kursi kebesaran ini, dia akan langsung duduk di atasnya dan beberapa saat kemudian pesawat rahasia bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Sekalipun iblis bermarga Ren itu memiliki kepandaian setinggi langit, tidak mungkin ia dapat meloloskan diri dari ledakan tersebut. Menyusul kemudian kita ledakkan pula tiga puluh dua titik pada delapan jalur yang menuju ke puncak Henshan ini sehingga orang-orang Sekte Iblis itu terkurung semua di atas gunung.”

“Semua jalan menuju ke atas sini juga diledakkan?” sahut Linghu Chong menegas.

“Benar,” jawab Chongxu. “Mulai besok pagi Keponakan Chenggao akan menanam sejumlah bahan peledak pada ketiga puluh dua titik tersebut. Begitu semua meledak, seketika jalan-jalan menuju puncak akan terputus. Berapa pun banyaknya anggota Sekte Iblis yang menyerbu kemari tentu semua akan mati kelaparan di sini. Yang kita tiru adalah siasat Zuo Lengchan dahulu. Hanya saja, kali ini musuh pasti tidak berkesempatan meloloskan diri melalui lorong bawah tanah.”

“Waktu itu saya sangat beruntung karena secara kebetulan menemukan lorong rahasia sehingga bisa lolos dari Biara Shaolin,” ujar Linghu Chong. “Akan tetapi ….” tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Apakah Adik Linghu merasa siasat yang kita atur ini masih kurang sempurna?” tanya Chongxu.

Linghu Chong menjawab, “Saya berpikir jika nanti Ketua Ren datang kemari dan melihat kursi kebesaran ini, tentu ia akan merasa senang. Namun, di sisi lain ia juga akan terheran-heran mengapa Perguruan Henshan tiba-tiba membuat kursi yang penuh dengan sanjung puji seperti itu? Bila hal ini tidak dijelaskan, rasanya Ketua Ren juga tidak mau tertipu dan duduk di sini.”

“Persoalan ini memang sudah kupikirkan pula,” jawab Chongxu. “Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas kursi ini atau tidak juga bukan masalah penting bagi kita. Sebab, kita sudah mempersiapkan rencana kedua yaitu memasang sumbu lainnya di tempat rahasia. Begitu ia merayakan kemenangan sambil menikmati sanjung puji dari anak buahnya, maka saat itulah kita ledakkan gunung ini melalui sumbu rahasia tersebut. Tentu keesokan harinya hal ini akan menjadi berita hangat yang dibicarakan semua penghuni dunia persilatan.”

“Paman Guru,” tiba-tiba Chenggao menyela. “Saya memiliki suatu usulan, entah dapat dijalankan atau tidak?”

“Coba katakan, biar kita bisa meminta pertimbangan Kepala Biara dan Ketua Linghu,” sahut Chongxu sambil tersenyum.

“Saya mendengar Ketua Linghu mempunyai ikatan perjodohan dengan putri tunggal Ketua Ren. Berhubung golongan putih dan golongan hitam tidak bisa bersatu, maka lantas timbul suatu halangan,” kata Chenggao. “Ketua Linghu dapat mengutus dua murid Henshan untuk menemui Ketua Ren dan menyampaikan berita bahwa demi mengingat diri Nona Ren, maka Ketua Linghu sengaja mengundang seorang ahli untuk membuatkan sebuah kursi kebesaran. Kursi ini khusus dipersembahkan kepada Ketua Ren dengan harapan kedua pihak dapat terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan demikian, apakah Ketua Ren mau menerima persembahan Ketua Linghu ini atau tidak bukan masalah lagi. Yang pasti, begitu datang kemari dan melihat kursi ini tentu ia tidak akan curiga lagi.”

“Sungguh akal yang bagus,” seru Chongxu bertepuk tangan. “Dengan demikian ….”

“Tidak bisa!” sahut Linghu Chong menukas sambil menggeleng kepala.

Chongxu tercengang kemudian bertanya, “Apakah Adik Linghu ada pendapat yang lebih baik?”

Linghu Chong menjawab, “Bahwasanya Ketua Ren ingin membunuh segenap anggota Perguruan Henshan, maka saya akan menghadapinya dengan sepenuh tenaga, entah menggunakan siasat ataupun kekuatan.  Kalau dia benar-benar datang hendak membunuh kita semua, maka kita pun harus meledakkan dia. Akan tetapi, sama sekali saya tidak mau membohonginya.”

“Bagus sekali!” ujar Chongxu memuji. “Adik Linghu benar-benar seorang laki-laki sejati. Selalu mengutamakan kejujuran, sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula. Terserah apakah iblis bermarga Ren itu akan curiga atau tidak, yang pasti bila dia datang kemari untuk mencelakai kita, maka dia pun akan kita buat menderita.”

Begitulah, mereka lantas berunding membahas tentang bagaimana harus menghadapi musuh, bagaimana harus melakukan perlawanan, bagaimana melindungi anak-buah masing-masing supaya tidak jatuh banyak korban, termasuk bagaimana cara mengundurkan diri ke belakang gunung nanti, serta bagaimana cara menyulut sumbu bahan peledak.

Chongxu benar-benar seorang yang sangat cermat. Ia khawatir siasatnya yang rapih itu justru membuat mereka lengah dan memandang remeh pihak lawan. Maka itu, ia pun mengirim pasukan cadangan untuk menyalakan sumbu peledak karena jangan-jangan para petugas yang ditunjuk justru terbunuh oleh musuh.

Keesokan paginya Linghu Chong mengajak mereka semua untuk melihat keadaan lembah pegunungan guna menjalankan siasat. Qingxu dan Chenggao segera memilih tempat-tempat penting untuk menanam bahan peledak serta memasang sumbunya pula. Para penjaga bahan peledak itu pun ditempatkan secara tersembunyi. Chongxu dan Linghu Chong juga memilih empat jurang yang curam sebagai jalan meloloskan diri jika musuh datang menyerbu secara besar-besaran. Keempat jurang itu masing-masing akan dijaga langsung oleh Fangzheng, Chongxu, Fangsheng, dan Linghu Chong sendiri. Bagaimanapun juga mereka harus menahan musuh supaya tidak dapat mendekati jurang itu, sampai semua orang di pihak mereka sudah turun ke bawah. Setelah semuanya habis, barulah mereka berempat turun ke bawah dan memotong tali panjang tersebut supaya musuh tidak dapat mengejar lebih lanjut.

Sore harinya sebanyak sepuluh orang Perguruan Wudang naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai petani dan pengusung kayu bakar. Di bawah pimpinan Qingxu dan Chenggao, mereka pun menanam bahan peledak di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Murid-murid Henshan telah menjaga semua jalur masuk menuju puncak. Siapa pun orangnya yang tidak berkepentingan dilarang lewat di jalanan pegunungan. Satu sama lain juga tidak boleh sembarangan bicara untuk menjaga diri dari mata-mata Sekte Matahari dan Bulan yang ingin mengetahui rahasia siasat mereka.

Setelah tiga hari berturut-turut kesibukan mereka pun berakhir. Segala persiapan telah diatur dengan rapih, tinggal menunggu datangnya serbuan Sekte Matahari dan Bulan saja. Sementara itu, pertemuan dengan Ren Woxing di Gunung Huashan juga telah berlalu hampir sebulan yang silam. Ini berarti kedatangan pihak Sekte Matahari dan Bulan akan terjadi dalam waktu dekat saja.

Dalam beberapa hari itu Chongxu dan kawan-kawannya semakin sibuk, semenatara Linghu Chong justru lebih banyak menganggur. Setiap hari ia menggunakan kesempatan untuk menghafal rumus ilmu tenaga dalam yang diajarkan Mahabiksu Fangzheng, serta melatihnya dengan tekun. Apabila terdapat bagian-bagian yang tidak dipahaminya segera ia meminta petunjuk kepada Fangzheng.

Sore harinya, Linghu Chong mengawasi Yihe, Yiqing, Yilin, Zheng E, Qin Juan, dan yang lainnya berlatih ilmu pedang. Meskipun berusia paling muda, namun daya tangkap Qin Juan terhadap intisari ilmu pedang yang diajarkan Linghu Chong ternyata paling bagus dan cepat tangkap pula.

“Adik Qin sungguh pintar,” ujar Linghu Chong memuji. “Kau sudah mendapat banyak kemajuan dalam jurus ini. Untuk selanjutnya ….” Sampai di sini ia langsung berhenti. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Seketika langit terasa runtuh dan bumi berputar cepat. Tanpa ampun ia pun jatuh terduduk di atas tanah.

Yihe dan yang lain sangat terkejut. Beramai-ramai mereka memburu maju dan membangunkan sang ketua. Serentak mereka bertanya, “Ada apa sebenarnya?”

Linghu Chong sadar penyakitnya sedang kambuh kembali. Bermacam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali bergolak. Mulut terasa sukar dibuka, sehingga sulit pula menjawab pertanyaan tersebut.

Selagi murid-murid Henshan itu gelisah, tiba-tiba terasa hembusan angin menerpa mereka. Rupanya dua ekor merpati pos telah masuk ke dalam ruang latihan melalui jendela.

“Ah!” seru Yihe dan yang lain bersamaan.

Perguruan Henshan memang memelihara banyak merpati pos. Dulu sewaktu Biksuni Dingjing berada di Fujian, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terkurung di Lembah Tempa Pedang, mereka saling berhubungan menggunakan merpati-merpati tersebut.

Kedua merpati yang baru datang ini telah dikirim oleh murid-murid Henshan yang berjaga di kaki gunung. Punggung merpati-merpati itu sengaja dicat warna merah, sebagai pertanda bahwa pihak musuh telah datang menyerbu.

Sejak kedatangan orang-orang Shaolin dan Wudang, para murid Henshan masing-masing merasa lega karena mendapatkan bala bantuan yang kuat. Tak disangka pada saat genting seperti ini penyakit sang ketua mendadak kambuh. Segera Yiqing mengambil tindakan. Ia berseru, “Adik Yiwen, Adik Yizhi, serta yang lainnya segeralah melapor kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.”

Yiwen dan yang lain pun berangkat dengan cepat. Yiqing lantas berkata lagi, “Kakak Yihe, tolong kau bunyikan genta.”

Yihe mengangguk beberapa kali dan langsung berlari keluar menuju ke menara genta. Tidak lama kemudian terdengarlah suara genta bertalu-talu menggema di angkasa. Menyusul kemudian genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah, antara lain Lembah Tongyuan, Kuil Gantung, Celah Naga Hitam, dan Celah Tungku Porselen berbunyi pula.

Rupanya Mahabiksu Fangzheng telah berpesan bahwa bunyi genta yang bertalu-talu ditetapkan sebagai tanda bahaya datangnya musuh. Perintah yang sebenarnya ialah membunyikan genta secara panjang tiga kali, dan pendek dua kali secara berturut-tutut dan perlahan-lahan. Akan tetapi, karena sedang ketakutan Yihe malah membunyikannya secara kasar dan tidak berirama. Meskipun kata “he” bermakna “damai”, namun Yihe bersifat sangat berangasan dan mudah marah.

Orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang dengan cepat bergerak sesuai rencana yang ditetapkan. Masing-masing meninggalkan pos-pos penjagaan untuk menuju ke atas puncak. Memang demi mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting mulai kaki gunung sampai Puncak Jianxing sengaja dikosongkan, sama sekali tidak diberi penjagaan. Dengan demikian pasukan Sekte Matahari dan Bulan sengaja diberi kelonggaran agar dapat menyerbu ke atas dengan lancar. Begitu pihak musuh tiba di puncak barulah mereka muncul untuk melabrak.

Setelah bunyi genta berhenti, suasana Gunung Henshan serentak berubah sunyi senyap. Bahkan burung-burung ikut berhenti berkicau, sehingga menambah tegangnya suasana.

Para jago silat yang dikirim Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong juga sudah bersiaga di tempat persembunyian masing-masing. Dengan hati berdebar-debar mereka menunggu orang-orang Sekte Matahari dan Bulan menyerbu ke atas. Begitu mendapatkan perintah, serentak mereka pun menyerbu keluar untuk memotong jalan sehingga pihak musuh tidak dapat bergerak mundur. Demi keberhasilan rencana, Chongxu sengaja tidak memberitahu orang-orang ketiga perguruan itu tentang sejumlah bahan peledak yang telah ditanam oleh pihak Wudang. Rupanya ia memperkirakan kemungkinan di antara murid-murid Kunlun dan yang lain terdapat mata-mata Sekte Iblis.

Begitu mendengar bunyi genta yang bertalu-talu tadi, Linghu Chong sadar bahwa pasukan Sekte Matahari dan Bulan telah datang menyerbu. Namun, perutnya terasa sangat sakit seperti disayat-sayat oleh ribuan pisau tajam. Karena terlalu sakit sampai-sampai ia mendekap perutnya itu dan berguling-guling di atas tanah.

Yilin dan Qin Juan khawatir sehingga muka mereka menjadi pucat. Keduanya kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Yiqing lantas berkata, “Sebaiknya kita bawa Kakak Ketua ke dalam Biara Wuse, kemudian kita meminta nasihat Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu bagaimana harus bertindak.”

Yu Sao dan seorang biksuni setengah baya segera membantu Linghu Chong berdiri. Dengan setengah memapah dan setengah menyeret mereka membawa sang ketua ke dalam Biara Wuse, biara induk di Gunung Henshan. Baru saja sampai di pintu biara, mereka mendengar suara petasan disusul dengan bunyi terompet dan tambur. Jelas secara terang-terangan pihak Sekte Matahari dan Bulan sudah menyerbu ke atas gunung.

Fangzheng dan Chongxu telah menerima laporan tentang kambuhnya penyakit Linghu Chong. Mereka pun secepatnya berlari keluar dari biara itu.

“Adik Linghu jangan khawatir,” kata Chongxu. “Adik Qingxu telah kusuruh mewakili diriku untuk memimpin orang-orang Wudang, sedangkan aku mewakili dirimu memimpin pihak Henshan.”

Linghu Chong hanya bisa mengangguk terima kasih sambil menyeringai menahan sakit.

Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, segeralah meloloskan diri lebih dulu.”

“Tidak … tidak, sama ... sekali tidak boleh!” sahut Linghu Chong terputus-putus. “Ambilkan … ambilkan pedangku!”

Chongxu juga menasihatinya agar mengikuti saran Fangzheng, namun Linghu Chong tetap menolak. Sementara itu, suara terompet dan tambur tiba-tiba berhenti, kemudian terdengar sorak-sorai orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, “Hidup Ketua Suci! Semoga panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!” Dari gemuruh suara itu dapat diperkirakan paling tidak ada empat atau lima ribu orang jumlah mereka.

Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong saling pandang dengan tersenyum. Mereka yakin rencana dan perangkap yang mereka atur sebentar lagi pasti akan berhasil menghancurkan musuh.

Qin Juan telah menyodorkan pedang yang diminta Linghu Chong. Begitu Linghu Chong hendak menerima pedang itu, ternyata tangannya gemetar hebat dan sulit memegang dengan erat. Maka, Qin Juan pun menggantungkan pedang tersebut di pinggang Linghu Chong.

Tiba-tiba terdengar kembali suara tetabuhan bergema. Kali ini lagu yang dimainkan terasa sangat menarik, dan sama sekali bukan lagu perang. Tidak lama kemudian beberapa orang berseru serentak, “Ketua Suci Sekte Matahari dan Bulan hendak naik ke Puncak Jianxing guna bertemu dengan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”

Mendengar ini Fangzheng berkata, “Rupanya Sekte Matahari dan Bulan memakai cara halus sebelum menggunakan kekerasan. Kita sendiri jangan sampai dipandang rendah. Ketua Linghu, bagaimana kalau kita biarkan mereka naik ke sini?”

Linghu Chong mengangguk setuju. Pada saat itu perutnya kembali terasa sakit seperti disayat-sayat. Melihat wajah pemuda itu pucat pasi dan mengucurkan keringat dingin, Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, penyakitmu kambuh lagi. Segeralah kau terapkan ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng. Kau bisa melihat bagaimana hasilnya nanti.”

Rumus ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang kemarin adalah mengantar hawa murni di dalam tubuh agar masuk ke perut. Padahal, waktu itu di dalam perutnya sedang bergolak bermacam-macam hawa murni yang saling desak dan saling terjang tak beraturan. Maka, dengan mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk manyalurkan hawa murninya itu, ini sama artinya dengan bunuh diri. Sudah pasti rasa sakitnya makin bertambah parah.

Namun, pada dasarnya Linghu Chong sudah nekad. Ia merasa sakitnya sudah mencapai titik puncak. Jika ditambah lagi paling-paling ia akan mati kesakitan saja. Maka, tanpa pikir lagi ia pun mengerahkan tenaga dalam yang baru dipelajarinya itu secara teratur agar tersalurkan di jalan yang tepat.

Ternyata dugaannya benar. Pergolakan dan pertarungan bermacam-macam hawa murni di dalam perutnya bertambah hebat dan menyakitkan. Namun, setelah berputar-putar lagi, berbagai hawa murni itu kemudian dapat diantar ke jalan yang benar, samar-samar seperti memasuki jalurnya sendiri dan mulai berputar dengan lancar. Meski rasanya masih tetap sakit, namun sudah tidak saling terjang lagi.

Kursi jebakan dari Perguruan Wudang.
Berbagi tugas.
Penyakit Linghu Chong kambuh di sdaat genting.

(Bersambung)


bagian 127 ; halaman muka ; bagian 129